Catatan Popular

Selasa, 18 September 2012

PENGERTIAN TAUHID


Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- memaparkan bahwa kata tauhid secara bahasa adalah kata benda yang berasal dari perubahan kata kerja wahhada - yuwahhidu yang bermakna menunggalkan sesuatu.
Sedangkan dalam kacamata syari’at, tauhid bermakna mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa shifat

Syaikh Hamad bin ‘Atiq menerangkan bahwa agama Islam disebut sebagai agama tauhid disebabkan agama ini dibangun di atas dasar pengakuan bahwa Allah adalah Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, baik dalam hal kekuasaan maupun tindakan-tindakan. Allah Maha Esa dalam hal Dzat dan sifat-sifat-Nya, tiada sesuatu pun yang menyerupai diri-Nya.
Allah Maha Esa dalam urusan peribadatan, tidak ada yang berhak dijadikan sekutu dan tandingan bagi-Nya.
Tauhid yang diserukan oleh para Nabi dan Rasul telah mencakup ketiga macam tauhid ini (rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa shifat). Setiap jenis tauhid adalah bahagian yang tidak boleh dilepaskan dari jenis tauhid yang lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mewujudkan salah satu jenis tauhid sahaja tanpa disertai dengan jenis tauhid lainnya maka hal itu tidak mungkin terjadi kecuali disebabkan dia tidak melaksanakan tauhid dengan sempurna sebagaimana yang dituntut oleh agama

Syaikh Muhammad bin Abdullah Al Habdan menjelaskan bahwa tauhid itu hanya akan terwujud dengan memadukan antara kedua pilar ajaran tauhid iaitu penolakan (nafi) dan penetapan (itsbat).
‘La ilaha’ adalah penafian/penolakan, maksudnya kita menolak segala sesembahan selain Allah. Sedangkan ‘illallah’ adalah itsbat/penetapan, maksudnya kita menetapkan bahwa Allah saja yang berhak disembah


Tauhid dan Iman Kepada Allah

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan –hafizhahullah- menjelaskan bahwa hakikat iman kepada Allah adalah tauhid itu sendiri. Sehingga iman kepada Allah itu mencakup ketiga macam tauhi yaitu tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Di samping itu, keimanan seseorang kepada Allah tidak akan dianggap benar kalau hanya terkait dengan tauhid rububiyah sahaja dan tidak menyertakan tauhid uluhiyah. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada kaum musyrikin dahulu yang juga mengakui tauhid rububiyah. Meskipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi dan mengajak mereka untuk bertauhid. Hal itu dikarenakan mereka tidak mahu melaksanakan tauhid uluhiyah.


Keperluan Tauhid Bagi Setiap Insan

Kepentingan manusia untuk bertauhid sungguh jauh berada di atas kepentingan mereka terhadap makanan, minuman atau tempat tinggal. Kalau seseorang tidak makan atau minum, akibat terburuk yang dialami hanyalah sekedar kematian.
Namun, kalau seseorang tidak bertauhid barang sekejap sahaja dan pada saat itu dia meninggal dalam keadaan musyrik, maka siksaan yang kekal di neraka sudah siap menantinya.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّه ُمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah (dalam beribadah) maka sungguh Allah telah mengharamkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka…”
(QS. al-Ma’idah [5]: 72)

Bahkan amalnya yang bertumpuk-tumpuk selama hidup pun akan menjadi sia-sia apabila di akhir hidupnya dia telah berbuat syirik kepada Rabb-nya dan belum bertaubat darinya. Allah ta’ala berfirman,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sungguh, jika kamu berbuat syirik, akan lenyaplah semua amalmu, dan kamu pasti akan tergolong orang yang merugi
.”
(QS. az-Zumar [39]: 65)

Dan, kalaulah kita mau merenungkan untuk apa kita diciptakan di alam dunia ini niscaya kita akan memahami betapa agung kedudukan tauhid dalam hidup ini. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. adz-Dzariyat [51]: 56).

Makna beribadah kepada Allah di sini adalah mentauhidkan Allah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- mengatakan, “Apabila engkau telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan dirimu untuk beribadah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya ibadah tidak akan disebut sebagai ibadah (yang hakiki) apabila tanpa disertai
tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sebagai sholat jika tidak disertai dengan thaharah (bersuci). Maka apabila syirik merasuk ke dalam suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi batal. Sebagaimana hadats jika terjadi pada (orang yang sudah melakukan) thaharah…”

Terkait dengan pentingnya tauhid ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya kebutuhan hamba untuk senantiasa beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya merupakan kebutuhan yang tak tertandingi oleh apapun yang bisa dianalogikan dengannya.
Akan tetapi, dari sebahagian sisi ia boleh diserupakan dengan kebutuhan tubuh terhadap makanan dan minuman. Di antara keduanya sebenarnya terdapat banyak sekali perbezaan.
Karena sesungguhnya jati diri seorang hamba adalah pada hati dan ruhnya. Padahal, tidak ada kebaikan hati dan ruh kecuali dengan (pertolongan) Rabbnya, yang tiada ilah (sesembahan) yang benar untuk disembah selain Dia. Sehingga ia tidak akan dapat merasakan ketenangan kecuali dengan mengingat-Nya. Seandainya seorang hamba dapat memperoleh kelezatan dan kesenangan dengan selain Allah maka hal itu tidak akan terus menerus terasa. Akan tetapi, ia akan berpindah dari satu jenis ke jenis yang lain, dari satu individu ke individu yang lain. Adapun Rabbnya, maka dia pasti membutuhkan-Nya dalam setiap keadaan dan di setiap waktu. Di mana pun dia berada maka Dia (Allah) senantiasa menyertainya.”

Siapa yang merasa tauhidnya sudah hebat?!
Allah ta’ala mengisahkan do’a yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam di dalam ayat-Nya
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada arca-arca.” (QS. Ibrahim
[14]: 35)

Ibrahim At Taimi mengatakan, “Lalu siapakah yang lebih merasa aman dari bencana kesyirikan selain Ibrahim[?]”

Syaikh Abdurrahman bin Hasan –rahimahullah- mengatakan, “Tidak ada lagi yang merasa aman dari terjatuh dalam kesyirikan selain orang yang bodoh terhadap syirik dan juga tidak memahami sebab-sebab yang bisa menyelamatkan diri darinya; yaitu ilmu tentang Allah, ilmu tentang ajaran Rasul-Nya yaitu mentauhidkan-Nya serta larangan dari perbuatan syirik terhadapnya.”

Demikianlah sekilas mengenai pentingnya tauhid dalam kehidupan kita.
Semoga kita tergolong hamba-hamba yang mentauhidkan Allah dengan sebenar-benarnya. Kalau orang semulia Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja masih takut terjerumus syirik, lalu bagaimana lagi dengan orang seperti kita.

Tiada ulasan: