Catatan Popular

Sabtu, 22 September 2012

TOKOH SUFI MUHAMMAD BIN WAASI' (1) : GURU ORANG-ORANG ZUHUD DI ZAMANNYA

"Setiap penguasa memiliki juru penerang, setiap orang kaya memiliki jurupenerang sedangkan Muhammad bin Waasi' adalah juru penerang Allah  (Malik Bin Dinar)

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Waasi' bin Jabir bin Al-Akhnas bin A'id bin Kharijah bin Ziyad bin Syamsu Al-Azdi, Abu Bakar Al-Bashri, disebut Abu Abdillah Al-Bashri.

Al-Ijli berkata, "Dia seorang Abid, Tsiqah dan laki-laki shalih."

Ibn Sa'ad berkata, "Dia wafat sepuluh tahun setelah Hasan.

Musa bin Harun berkata, “Beliau seorang ahli ibadah, wara, mulia, tsiqah, alim dan banyak kebaikannya.”

Sekarang kita berada di masa khilafah Sulaiman bin Abdul Malik. Saat dimana Yazid bin Muhallab bin Abi Sufrah, salah satu pedang islam yang terhunus dan wali daerah Khurasan yang kuat, bergerak cepat bersama pasukannya yang berjumlah seratus ribu orang, ditambah para suka relawan dari mereka yang ingin mencari syahadah dan pahala.

Target serangan tersebut adalah merebut daerah Jurjan dan Thabaristan. Di barisan depan tampak seorang tabi'in utama yang bernama Muhammad bin Waasi' dari Bashrah yang terkenal dengan sebutan "Zainul Fuqaha" (hiasan para ahli fiqh), sering dipanggil Abid Basrah dan merupakan murid .
rsahabat utama Anas bin Malik Al-Anshari, pembantu Rasulullah

Panglima perang Ibn Muhallab beserta pasukannya bermarkas di Dhihistan yang didiami oleh orang –orang turki yang kuat dan perkasa. Benteng-benteng mereka kokoh dan setiap hari menyerang kaum muslimin. Bila kepayahan atau merasa terdesak dalam pertempuran, mereka mundur ke lembah-lembah di daerah bergung-gunung, lalu berlindung di balik bentengnya yang kokoh.

Meski kurus tubuhnya dan lanjut usianya, Muhammad bin Waasi' memegang posisi yang cukup penting dalam pasukan islam. Pasukan merasa terhibur oleh cahaya iman yang terpancar dari wajahnya yang cerah dan semakin bersemangat bila mendengar nasihat-nasihat yang keluar dari lidahnya yang lembut serta menjadi tenang karena do'a-do'anya yang mustajab dalam kesulitan. Bila panglima memerintahkan untuk menyerbu, dia berseru: "Wahai pasukan Allah, majulah!" sebanyak tiga kali. Begitu mendengar suaranya, segenap prajurit siap menghadapi musuh bagaikan macan kumbang yang ganas. Mereka bergerak maju dengan semangat yang tinggi layaknya orang yang kehausan yang menyongsong air yang dingin di bawah terik matahari yang menyengat.

Suatu ketika terjadi pertempuran yang dahsyat, majulah seorang jagoan dari barisan musuh untuk perang tanding satu lawan satu.
Belum pernah orang-orang melihat badan tinggi kekar seperti dia. Belum lagi ketangkasan, kekuatan dan keberaniannya. Dia bertempur dalam barisan hingga berhasil mendesak barisan pasukan kaum muslimin dan menimbulkan rasa gentar di hati mereka. Kemudian dia menantang duel dengan congkak dan sombongnya. Hingga Muhammad bin Waasi' tak tahan lagi ingin mengahadapinya. Saat itulah semangat kaum muslimin kembali bangkit. Seorang pemuda mencegah syaikh tua itu melayani tantangan musuh dan meminta agar dirinya diijinkan untuk menghadapi tantangan musuh itu. Syaikh itu menuruti permintaannya lalu mendo'akan kemenangan baginya.

Dua orang prajurit berdiri berhadapan, masing-masing ingin membunuh lawannya dengan segala cara. Kemudian mereka berduel seperti dua ekor singa yang kalap. Mata dan hati kedua belah pihak pasukan terpusat pada keduanya.

Kedua belah pedang berkelebat, masing-masing mengayunkan ke arah kepala lawannya secara berbarengan, ternyata pedang prajurit Turki mengenai topi baja tentara muslim, sedang pedang prajurit muslim mendarat tepat di jidat prajurit Turki hingga terbelah menjadi dua.

Prajurit muslim itu kembali ke barisan kaum muslimin dengan membawa kemenangan. Sebuah pemandangan yang belum pernah dilihat oleh mereka, sedang pedangnya berlumuran darah dan sebilah pedang kecil yang masih tersarung.
Pasukan kaum muslimin sangat terharu melihat peristiwa yang tiada bandingnya itu. Lalu memyambutnya dengan kegembiraan takbir, tahlil dan tahmid.

Yazid bin Muhallab takjub melihat kilatan pedang dan senjata di tangan orang itu lalu bertanya: "Alangkah hebatnya, siapakah dia?" orang-orang menjawab: "dia adalah orang yang mendapat berkat do'a dari Muhammad bin Waasi'.

Perbandingan kekuatan mulai terbalik setelah tewasnya prajurit Turki yang tinggi besar tersebut. Rasa gentar menjalar dalam hati kaum musyrikin bagaikan api yang menjalar di atas rumput kering. Sebaliknya, semangat juang kaum
Imuslimin menyala seketika, lalu mereka menggempur musuh-musuh Allah  laksana aliran air, mengepung dengan ketat seperti lingkaran kalung yang melilit di leher. Mereka mampu memblokir jalur air dan logistik musuh.

Maka tak ada pilihan lain bagi raja musyrikin itu melainkan berdamai. Oleh karena itu, mereka menawarkan perdamaian kepada kaum muslimin dan akan menyerahkan kekayaan negerinya asalkan harta dan keluarganya aman.

Tawaran itu disetujui oleh Yazid. Mereka diharuskan membayar sebesar 700.000 dirham secara bertahap. Pertama kali harus membayar 400.000 dirham, kemudian menyerahkan 400 ekor unta bermuatan za'faran dan 400 orang setiap yang setiap orangnya membawa satu gelas perak, memakai topi dan sutera dan beludru dan mengenakan mantel seperti yang dikenakan oleh istri-istri prajurit mereka.

Perang pun usai, Yazid bin Muhallab berkata kepada bendaharanya: "Sisihkan sebagian ghanimah itu untuk kita. Berikan sebagai imbalan jasa kepada yang berhak. "Bendahara dan orang-orang yang bersamanya berusaha mencoba menghitung namun tak mampu, lalu ghanimah tersebut dibagi-bagi atas dasar kerelaan.

Di antara ghanimah tersebut, ditemukan pula oleh kaum muslimin sebuah mahkota terbuat dari emas murni bertahtakan intan permata yang beraneka warna dalam ukiran yang indah dipandang mata. Yazid mengacungkannya tinggi-tinggi agar semua bisa melihat, lalu berkata, "Adakah kalian melihat orang yang tidak menginginkan benda ini?" Mereka berkata, "Seomga Allah memperbagus keadaan Amir, siapa pula yang akan menolak barang itu?"

Yazid
rberkata: "Kalian akan melihat bahwa di antara umat Muhammad  senantiasa ada yang tidak menginginkan harta ini ataupun yang semacam dengan ini yang ada di atas muka bumi." Kemudian beliau memanggil pembantunya dan berkata, "Carilah Muhammad bin Waasi'!"

Utusan itu mendapatkan syaikh tua di suatu tempat yang sunyi, sedang beristighfar, bersyukur dan berdo'a. utusan itu berkata, "Amir Yazid memanggil anda sekarang juga." Beliau berdiri dan mengikuti utusan tersebut menghadap amir Yazid, beliau memberri salam, lalu duduk di dekatnya. Amir menjawab salam dengan yang lebih baik, lalu mengambil mahkota tadi dan berkata,

Yazid: "Wahai Abu Abdillah, pasukan kaum muslimin telah menemukan mahkota yang sangat berharga ini. Aku melihat andalah yang layak untuknya, sehingga kujadikan ia sebagai bagianmu dan orang-orang telah setuju."

Muhammad: "Anda menjadikan ini sebagai bagianku wahai Amir?"

Yazid : "Benar ini bagianmu."

Muhammad: "Aku tidak memerlukannya. Semoga Allah membalas kebaikan anda dan mereka."

Yazid: "Aku telah bersumpah bahwa engkaulah yang harus mengambil ini."

Dengan terpaksa Muhammad bin Wasi menerima dikarenakan sumpah amirnya.

Setelah itu beliau memohon diri sambil membawa mahkota tersebut. Orang-orang tak mengenalnya berkata sinis: "Nyatanya dia bawa juga harta tersebut."

Sementara itu Yazid memerintahkan seseorang menguntit syaikh itu dengan diam-diam untuk melihat apa yang hendak dilakukannya terhadap benda itu, lalu memberitahukan kabar tentangnya. Maka pergilah seseorang mengikuti beliau tanpa sepengetahuannya.

Muhammad bin Waasi' berjalan dengan menenteng harta tersebut di tangannya. Di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang asing yang kusut masai dan compang-camping meminta-minta kalau-kalau ada bantuan dari harta Allah . Syaikh itu segera menoleh ke kanan ke kiri dan ke belakang dan
I setelah syaikh itu yakin tidak ada yang melihat, diberikannya mahkota itu kepada orang tersebut. Orang itu pergi dengan suka cita, seakan beban yang dipikulnya telah diangkat dari punggungnya.

Utusan Yazid bin Muhallab memegang tangannya dan mengajaknya menghadap amir untuk menceritakan kejadian itu. Mahkota itu kemudian diambil lagi oleh amir dan diganti dengan harta sebanyak yang dimintanya.

Yazid berkata kepada pasukannya: "Bukankah telah aku katakan kepada kalian  senantiasa ada orang yang tidak
rbahwa di antara umat Nabi Muhammad  membutuhkan mahkota ini atau yang semisalnya."

Dengan tekun, Muhammmad bin Wasi berjihad melawan kaum musyrikin di bawah panji Yazid bin Muhallab sampai tiba musim haji. Setelah dekat waktunya, beliau minta ijin kepada amir untuk melakukan ibadah rutin itu.

Yazid berkata: "Izinku ada di tanganmu wahai Abu Abdillah, kapan saja anda kehendaki. Dan aku sudah menyiapkan kebutuhan untukmu selama dalam perjalanan." Muhammmad bin Wasi bertanya, "Apakah perbekalan itu anda berian juga kepada setiap prajurit yang hendak bepergian seperti bepergianku ini wahai amir?" Beliau berkata: "Tidak," Muhammmad berkata, "Kalau demikian, tak usahlah mengistimewakan untukku bila itu tidak diberikan kepada anggota pasukan yang lain." Setelah itu beliau mohon diri dan berangkat.

Meski telah diijinkan, keberangkatan muhammad bin Wasi menyedihkan hati Yazid bin Muhallab dan para prajurit yang pernah berrjuang bersamanya. Mereka menyesal tak minta dido'akan dan berharap beliau cepat kembali setelah menuanaikan ibadahnyua.

Bukanlah hal yang aneh bila semua prajurit muslimin yang ada di manapun merindukan agar abid Basrah ini berada di tengah mereka. Rasa optimis muncul dengan adanya beliau di tengah mereka karena banyak kebaikan yang  melalui
Imenyertainya. Mereka juga mengharapkan kemenagan dari Allah  do'anya yang baik dan besaranya barakah untuknya. Betapa mulia jiwanya Imesti ia sendiri memandang dirinya kerdil, padahal agung di sisi Allah  dan umat Islam.

Alangkah indahnya suatu umat yang memiliki sejarah orang-orang yang berjiwa luhur seperti beliau.

Qutaibah bin Muslim berkata tentangnya, "Sesungguhnya jari (do'a) Muhammmad bin Waasi' Al-Azdi lebih aku sukai dari pada seribu pedang pilihan yang dibawa oleh seribu pemuda jagoan."

Kita berada di tahun 87 H. ketika pahlawan Islam dan panglima besar Qutaibah bin Muslim Al-Bakhili memimpin pasukannya yang tangguh dari kota Marwa menuju Bukhara, hendak menguasai sisa negeri yang ada di seberang sungai. Beliau juga hendak berperang di pinggiran Cina dan menarik jizyah dari mereka.

Belum lagi pasukan Qutaibah bin Muslim yang menyeberangi sungai Seihun, tiba-tiba penduduk Bukhara melihat pasukan Muslimin. Mereka memukul genderang perang di seluruh penjuru dan meminta bantuan negeri tetangga seperti Suged, Turki, Cina dan sebagainya. Maka berduyun-duyunlah kelompok-kelompok prajurit yang bermacam-macam warna kulit, bahasa dan agama hingga jumlah mereka berlipat ganda dibandingkan pasukan muslimin.

Setelah itu, mereka segera memblokir semua jalan pasukan muslimin dan mengepung seluruh celah yang bisa ditutup. Sampai-sampai Qutaibah bin Muslim tak bisa menyelundupkan pasukan khusus untuk meyelidiki dan mencari berita tentang keadaan musuh, tidak pula bisa menyelundupkan mata-mata ke kubu lawan.

Mata Qutaibah bersama pasukannya terjepit di kota Bikand, tak bisa bergerak maju maupun mundur. Sementara musuh selalu bergerilya dengan kelompok-kelompok kecil pasukannya, lalu mereka bertempur sepanjang siang. Bila senja turun, mereka menghilang ke markas dan benteng-bentengnya yang kokoh. Kondisi tersebut berlangsung selama dua bulan berturut-turut. Qutaibah menjadi bingung untuk mengambil sikap, apakah akan berhenti atau terus maju.

Tak berselang lama, berita ini akhirnya menyebar di seluruh wilayah kaum muslimin. Mereka mencemaskan nasib pasukan tangguh yang belum pernah terkalahkan beserta panglimanya yang belum pernah ditundukkan itu. Para gubernur di daerah-daerah diperintahkan untuk menyerukan agar rakyat turut mendo'akan keselamatan pasukan yang sedang berjuang di negeri seberang sungai itu. Kini, setiap masjid penuh dengan do'a untuk mereka.  dan paraIDi menara-menaranya terdengar seruan permohonan kepada Allah  imam membaca do'a qunut disetiap shalat. Akhirnya terbentuklah satu pasukan pembantu yaitu pasukan tangguh yang terdiri dari para sukarelawan dari seluruh negeri. Gerakan itu dipelopori oleh syeikh tabi'in yang tersohor, Muhammad bin Waasi' Al-Azdi.

Dikisahkan bahwa Qutaibah bin Muslim memeiliki seorang mata-mata non Arab yang dikenal cerdik siasat dan keahliannya yang benama Taidar. Musuh berhasil membujuk mata-mata ini dengan iming-iming harta yang besar agar ia mau mempengaruhi kaum muslimin itu. Siasat yang dijalankan adalah dengan memberikan gambaran bahwa keadaan kaum muslimin sangat lemah dibandingkan dengan pasukan musuhnya yang berkekuatan besar.
Dan mengusahakan agar pasukan islam hengkang dari negeri itu tanpa peperangan.

Taidzar masuk menemui Qutaibah bin Muslim yang tengah berbincang-bincang dengan para perwira utama dan tokoh-tokoh militer lainnya. Dia mendekat di sisi Qutaibah, lalu berbisik: "Wahai amir kosongkanlah ruangan ini bila anda menghendaki."

Sejurus kemudian, Qutaibah mengisyaratkan semua yang hadir untuk keluar kecuali Dzirar bin Hushain yang diminta untuk tetap ditempatnya. Setelah itu Taidzar berkata, "Saya  membawa berita untuk anda wahai amir." Qutaibah berkata, "Katakanlah, "Taidzar berkata: "Sesungguhnya amirul mukminin di Damaskus telah memecat hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi dan beberapa perwira pengikutnya, sedangkan anda adalah salah satu anak buahnya. Beliau juga telah mengganti pemimpin-pemimpin yang baru dalam angkatan bersenjatanya. Mereka saat ini sudah banyak yang dikirim ke pos-pos baru masing-masing dan bisa jadi pengganti anda akan datang setiap saat, siang ataupun malam. Menurut hemat saya, lebih baik pasukan anda kembali ke Marwa untuk memikirkan kembali siasat yang jauh dari medan perang.

Belum lagi Taidzar menghentikan ocehannya, Qutaibah memanggil pengawalnya bernama Syiah lalu beliau katakan: "Wahai Siyah, penggal leher penghianat ini!" selanjutnya Siyah memenggal leher Taidzar, lalu kembali ke tempatnya semula.

Qutaibah menoleh kepada Dzirar bin Hushain dan berkata, "Di bumi ini tidak ada orang lain yang mendengar berita
Itentang baru kecuali engkau dan aku. Aku bersumpah dengan nama Allah  yang Maha tinggi dan Maha Agung, bila berita ini sampai ke telinga orang lain sebelum perang selesai akan aku susulkan engkau kepada pengkhianat murahan ini. Oelh sebab itu, jika engkau masih sayang kepada dirimu, jagalah dirimu, jagalah lidahmu. Ketahuilah bahwa berita ini akan tersebar kepada pasukan kita, maka akan menjatuhkan mental juang mereka.

Orang-orang dipanggil kembali. Tatkala mereka melihat Taidzar tergeletak berlumuran darah, mereka terkesiap keheranan. Qutaibah berkata: "Apa yan gmengejutkan kalian dari kematian seeorang pengkhianat dan pendusta ini?" mereka berkata: "Kami sangka dia pembela Islam." Qutaibah berkata:  membalas
I"Bahkan dia adalah pengkhianat kaum muslimin, maka Allah  pengkhianatannya itu." Lalu beliau berteriak lantang: "Sekarang berangkatlah kalian untuk menghancurkan musuh-musuh kalian. Hadapilah mereka dengan hati dan tekad yang baru.

Dengan patuh pasukan itu melaksanakan perintah panglimanya, Qutaibah bin Muslim. Mereka bersiap menghadapi musuh di tapal batas. Hanya saja, ketika dua kubu telah berhadapan, pasukan Islam melihat banyaknya musuh dan lenghkapya persenjataan mereka, maka ketakutan mulai menjalar. Qutaibah bisa merasakan apa yang berkecamuk dalam hati prajuritnya. Maka beliau segera berkeliling dari satu kompi ke kompi yang lain untuk membangkitkan semangat mereka. Kemudian di memandang ke kiri dan ke kanan seraya bertanya: "Dimana Muhammad bin Waasi' Al-Azdi?" mereka menjawab, "Beliau di barisan sebelah kanan, wahai amir."

Qutaibah berkata: "Apa yang tengah dilakukannya?" mereka berkata, "Bersandar pada tombaknya, menatap ke depan sambil megarahkan telunjuknya ke langit untuk berdo'a. apakah anda menginginkan agar kami memanggil beliau?"

Qutaibah: "Tidak perlu, biarkanlah ia. Demi Allah telunjuknya itu (Do'a beliau) lebih aku sukai dari pada seribu pedang pilihan yang dibawa oleh seribu pemuda jagoan, Maka biarkanlah ia berdo'a, kita mengetahui bahwa do'anya mustajab."

Perang pun berkecamuk, dua pasukan besar saling menerjang laksana singa yang hendak menerkam mangsanya. Kedua pasukan bertemu laksana dua gelombang  menurunkan ketenangan dalam
Iair bah yang sling bertabrakan. Lalu Allah  jiwa pasukan islam dan membantu dengan ruh kekuatan dari-Nya.

Prajurit Islam terus menerus menyerbu musuh sepanjang hari, hingga manakala  menggoyahkan telapak kaki musuh dan rasa gentar
Iberanjak malam, Allah  menyelimuti mereka hingga akhirnya menyerah. Para mujahidin dapat melumpuhkan mereka dengan mudah, sebagian berantakan dan kocar-kacir, sebagian lainnya berhasil di tawan. Begitulah, mereka menyerah  kalah dan minta berdamai kepada Qutaibah dengan mengajukan tebusan.

Di antara tawanan itu ada orang yang jahat dan hobi memprovokasi kaumnya untuk memusuhi Islam. Dia berkata, “Aku ingin menebus diriku wahai amir!” Qutaibah berkata, “Berapa harga tebusannya?” Tawanan itu menjawab, “Lima ribu helai kain sutera cina seharga satu juta.”

Mendengar jawaban itu, Qutaibah menoleh kepada para sahabatnya: “Bagaimana menurut kalian?” Mereka berkata, “Menurut kami harta tersebut akan menambah ghanimah bagi kaum muslimin. Sementara itu kita tidak menghawatirkan sepak terjangnya dan yang semacamnya setelah kemenagan besar yang kita raih ini.

Qutaibah menoleh kepada Muhammad bin Waasi’ Al-Azdi dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab: “Wahai Amir, tujuan kaum muslimin berjihad ini bukan untuk mengumpulkan ghanimah atau , menegakkan agama
Imenumpuk harta, melainkan keluar demi ridha Allah  Allah di atas muka bumi dan menghancurkan musuh-musuh-Nya.” Qutaibah berkata, “Jazakallahu Khairan, semoga Allah membalas kebaikan anda wahai Abu Abdillah, demi Allah aku tidak akan membiarkan orang-orang semacam ini menakut-nakuti wanita muslimah setelah ini. Walaupun ia hendak menebus dirinya dengan harta sebesar dunia ini.” Kemudian dia perintahkan agar tawanan itu dibunuh.

Hubungan Muhammad bin Waasi' dengan para pemimpin Bani Umayah bukan terbatas dengan Yazid bin Muhallab dan Qutaibah bin Muslim Al-Bakhili saja, melainkan meluas kepada para wali dan amir lainnya.
Termasuk di antaranya adalah wali Bashrah, Bilal bin Abi Burdah. Banyak peristiwa mengesankan bersama Gubernur yang satu ini.

Pernah suatu hari Muhammad bin Waasi' datang kepada amir ini dengan mengenakan jubah dari kain kasar.
Beliau ditanya: "Mengapa anda mengenkan kain sekasar ini, wahai Abu Abdillah?" Beliau pura-pura tidak mendengar dan tak berkomentar sepatah kata pun sehingga wali Bashrah itu kembali bertanya:

ilal: "Mengapa anda tidak menjawab pertanyaan saya wahai Abu Abdillah?"
Muhammad: "Aku tidak suka mengatakan bahwa inilah zuhud, karena berarti aku membanggakan diri. Dan aku benci mengatakannya sebagai kefakiran, karena , padahal
Iitu menunjukkan bahwa aku tidak mensyurkuri karunia Allah  sesungguhnya aku telah ridha."

Bilal: "Apakah anda membutuhkan sesuatu wahai Abu Abdillah?"

Muhammad: "Aku tidak memiliki hajat sehingga meminta kepada orang lain, tapi aku  mengizinkan, niscaya
Idatang untuk hajat saudara muslim. Bila Allah  anda akan memberinyadan engkau terpuji karenanya. Bila Dia tidak mengizinkan, niscaya anda tidak memberikannya dan anda memiliki alasan.

Bilal: . (kemudian dia menoleh kepada
I"Akan saya penuhi dengan izin Allah  Muhammad bin Waasi' dan bertanya) bagaiman pendapatmu tentang qadha dan qadar wahai Abu Abdillah?

Muhammad:  tidak akan menanyai hamba tentang qadha dan qadar
I"Wahai amir, Allah  pada hari kiamat nanti. Namun Dia akan bertanya tentang amal mereka."
Maka terdiamlah wali Bashrah ini karena malu.

Muhammad bin Waasi' masih berada di sisi gubernur ketika waktu makan siang tiba. Wali Bashrah itu mengajak beliu untuk makan bersama, tetapi beliau menolaknya dengan berbagai dalih. Hingga Bilal menjadi tersinggung dan berkata, "Apakah anda tidak suka makan makanan kami, wahai Abu Abdillah." Beliau berkata, "Jangan berkata begitu wahai amir. Demi Allah bahwa yang baik-baik dari kalian para amir lebih kami cintai dari pada anak-anak dan keluarga kami sendiri."

Berkali-kali Muhammad bin Waasi' diminta untuk menjadi qadhi, namun beliau selalu menolak dengan tegas dan terkadang membuat dirinya menghadapi resiko karenanya.
Beliau pernah dipanggil oleh kepala polisi Bashrah, yaitu Muhammad bin Mundzir.

Dia berkata: "Gubernur Irak memerintahkan aku untuk menyerahkan jabatan qadhi kepada anda." Beliau menjawab, "Jauhkan aku dari jabatan itu, semoga Allah memberimu kesejahteraan." Peermintaan tersebut diulang dua atau tiga kali namun beliau tetap menolaknya.

Karena ditolak, kepala polisi itu marah dan berkata sambil mengancam: "Anda terima jabatan itu atau aku akan mencambuk anda sebanyak 300 kali tanpa ampun!" Beliau berkata, "Jika anda melakukan itu maka berarti anda melakukan perbuatan semena-mena. Ketahuilah bahwa siksa di dunia lebih baik dari pada harus disiksa di akhirat."

Kepala polisi itu menjadi malu, lalu mengizinkan Muhammad bin Waasi' untuk pulang dengan penuh hormat.

Majelis Muhammad bin Waasi' di masjid Bashrah menjadi tujuan utama para penuntut ilmu, pencari hikmah dan kehidupan hati. Sejarah banyak mencatat  tentang berita-berita di majelis itu. Sebagai contoh ketika ada seseorang yang berkata kepada beliau, "Wahai Abu Abdillah, berilah wasiat kepadaku!" Beliau berkata, "Aku wasiatkan kepadamu agar menjadi raja di dunia dan di akhirat." Penanya terkejut dan berkata, "Bagaimana aku bisa mewujudkannya?" Beliau berkata, "Jangan sekali-kali tamak terhadap isi dunia, niscaya engkau menjadi raja di dunia, sedangkan di akhirat menjadi raja dengan kemenangan atas pahala-pahala yang ada di .
Isisi Allah

Contoh lain, ketika ada yang berkata, "Wahai Abu Abdillah, aku mencntaimu."  mencintaimu karena kecintaanmu itu."
IBeliau berkata, "Semoga Allah  Lalu beliau pergi sambil bergumam: "Ya Allah aku berlindung kepada-Mu bila aku dicintai karena Engkau, padahal Engkau murka kepadaku."

Setiap kali beliau mendengar pujian dan sanjungan orang terhadap beliau karena ketaqwaan dan ibadahnya, beliau berkata, "Anda saja perbuatan dosa itu mengelurakan bau busuk, niscaya tak ada seorang pun di antara kalian yang sudi mendekatiku."
Muhammad bin Wasi selalu mengingatkan murid-muridnya agar selalu berpegang teguh kepada kitabullah dan hidup di bawah naungan Al-Qur'an. Beliau berkata: "Al-Qur'an adalah taman bagi setiap mukmin, setiap kali dia menunaikan satu bagian darinya berarti ia telah singgah di tamannya."

Beliau mengingatkan pula agar orang-orang mengurangi porsi makannya, karena barangsiapa yang mengurangi porsi makan niscaya akan tajam pikiran dan pemahamannya, menjadi lembut dan bersih hatinya. Adapun terlalu kenyang dalam makan akan memberatkan seseorang untuk menginginkan keinginannya.

Derajat taqwa yang dimiliki Muhammad bin Waasi' mencapai puncak yang tinggi. Sebuah kisah menyebutkan bahwa beliau pernah terlihat di pasar untuk menjual keledainya. Orang yang hendak membelinya bertanya: "Apakah anda telah rela menjualnya kepadaku, wahai syaikh?" Beliau menjawab: "Kalau saja aku rela untuk diriku pastilah aku tidak menjualnya."

Sepanjang hidup, beliau senantiasa merasa takut akan dosa-dosanya, takut akan diperiksa Rabbnya. Karena itulah, setiap kali beliau ditanya: "Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Abdillah?" Beliau manjawab: "Semakin dekat dengan ajalku namun menjauh dari cita-citaku. Alangkah buruknya yang aku perbuat." Ketika beliau melihat penanya keheranan, beliau berkata, "Bagaimana pendapatmu tentang seorang yang setiap hari berjalan menuju akhirat?"

Di saat Muhammad bin Waasi' menderita sakit yang tampaknya akan menyebabkan kematiannya, orang-orang datang berbondong-bondong menjenguknya sehingga rumahnya penuh sesak dengan orang yang keluar masuk, yang duduk dan berdiri. Ketika melihatnya, Muhammad bin Waasi' mengeluh kepada orang yang berjaga di sisinya: "Apalah faidah hadirnya mereka bagiku, bila aku kelak dituntut dari ubun-ubun hingga telapak kaki. Apa gunanya pula mereka bagiku bila kelak aku dimasukkan kedalam api neraka."

Setelah itu beliau berkata,"Ya Allah, aku memohon ampunan-Mu atas segala kondisi dan kejahatan yang aku kerjakan, di tempat yang mana aku berbuat dosa di sana, di pintu kejahatan yang aku masuki dan dari kejahatan yang aku keluar dari padanya dan setiap amal buruk yang aku kerjakan, dari perkataan-perkataan buruk yang aku ucapkan dan bicarakan. Ya Allah, aku memohon ampunan-Mu atas semua itu.

Ampunilah aku, aku bertaubat kepada-Mu, maka berilah ampunan untukku, sehingga aku dapat menjumpai-Mu dengan selamat sebelum dihisab.


Tiada ulasan: