Catatan Popular

Sabtu, 8 September 2012

RAHSIA HATI KITA : KEDUDUKAN HATI DALAM JASAD

Hati bagaikan raja dalam jasad manusia, dan anggota badan yang lainnya adalah bagaikan tentara-tentara hati, yang selalu patuh dan taat pada perintah hati. Apapun yang diperintahkan oleh sang raja, senantiasa akan ditaati oleh para tentaranya. Hati-lah yang mengatur seluruh gerak anggota badan. (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hanbali ).
Amalan yang muncul dari diri seseorang merupakan pencerminan dari apa yang terpatri di dalam hatinya. Baik dan buruknya jasad dan amalan dhohir manusia bergantung dengan keadaan hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah sesungguhnya dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, jika baik segumpal daging tersebut, maka akan baik pula seluruh jasadnya, dan jika rusak segumpal daging tersebut, maka akan rusak pula seluruh jasad tersebut. Ketahuilah segumpal daging tersebut adalah Al Qalbu (jantung)” (Muttafaqun’alahi)
Hati memiliki peranan yang sangat utama dalam hidup dan kehidupan manusia. Bahkan hati merupakan salah satu unsur dari tiga unsur syarat sah keimanan. Keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah meyakini bahwa iman adalah keyakinan dan pembenaran di dalam hati, ucapan dengan lisan dan amalan dengan anggota badan. Ini merupakan kesepakatan ahli ilmu sejak zaman dahulu, dan tidaklah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) ini melainkan orang yang menyimpang dan orang yang sesat.
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullahu :
“…dan telah menjadi kesepakatan di kalangan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, bahwa yang dimaksud dengan iman adalah perkataan, amal perbuatan, dan niat (keyakinan di dalam hati), dan tidaklah seseorang diberi balasan pahala melainkan dengan berkumpulnya ketiga hal tersebut
Maka orang yang meniadakan peranan hati dari definisi iman, sungguh dia adalah orang yang tersesat dengan kesesatan yang nyata. Sebagaimana yang terjadi pada orang-orang munafik. Orang munafik, secara dhohir menampakkan bahwa dirinya adalah bagian dari kaum muslimin. Amalan badannya sama dengan apa yang dilakukan Abu Bakar As Shidq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib dan para shahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum. Orang-orang munafik pun juga melakukan sholat berdzikir kepada Allah dan amalan-amalan ibadah lainnya.
Namun apabila kita menilik lebih dalam kepada hatinya, hakikatnya mereka adalah orang yang menyembunyikan permusuhan kepada Islam dan kaum muslimin. Sehingga Allah ta’ala mengancam mereka dengan ancaman yang sangat keras, Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang munafik berada di kerak neraka yang paling dalam, dan tidak akan pernah engkau jumpai penolong bagi mereka” (An Nisa : 142)
Hal ini disebabkan mereka tidak memiliki satu unsur yang sangat asasi dalam pengakuan iman mereka, yaitu keyakinan di dalam hati.
Seorang mukmin tentu akan berusaha memperbaiki amalan-amalannya. Dimulai dari yang paling asasi, yaitu pembenaran hati dan diikuti dengan pelurusan amalan-amalan badan dan lisan. Inilah keimanan yang hakiki, terpatri kokoh di dalam hati seorang mukmin, terpancar dari lisannya dan tercermin dari tingkah laku dan perbuatannya. Terkumpul pada dirinya tiga hal, keyakinan, pengakuan dan pengamalan, satu dengan lainnya tidak terpisahkan.

Bersihkan Hati Secara Islami, Jangan Terlena Ketenangan Hati Yang Semu
 
Di tengah karut-marut kehidupan dunia, ketenangan jiwa menjadi oase yang didamba banyak orang. Pelbagai macam metode “pencerahan” jiwa yang tersuguh di hadapan masyarakat kita, tak pelak menjadi sesuatu yang ditunggu, laris manis. Bujet besar yang dikeluarkan bukan halangan, asal bisa ikut pelatihan ini atau training itu, yang penting “ketenangan” jiwa bisa diraih dalam sekejap.
ESQ, pelatihan motivasi, dan aktivasi otak kanan adalah contohnya. Walaupun seringnya diakui sebagai training manajemen bukan training agama, namun praktiknya sering menggunakan istilah agama, mengutip ayat atau hadits. Parahnya, selain tidak mendudukkan pada tempatnya, para trainer atau motivator ada yang mengutip hadits palsu. Alhasil, agama dijadikan kedok untuk membenarkan metode mereka yang konon katanya dikembangkan untuk mendukung penggalian potensi diri manusia itu.
Pada akhirnya, para peserta baru sampai pada tahap “merasa” sudah berubah, mendapat “pencerahan”, atau “disuntiki” energi positif. Tentu sebuah kemustahilan “perubahan” hanya bisa dicapai dalam beberapa jam pelatihan. Para peserta sejatinya tengah ditipu, di dalam pelatihan yang selalu menguras duit yang cukup besar ini, mereka diindoktrinasi bahwa mereka hebat dan punya kekuatan besar di dalam diri mereka yang tengah tidur, yang harus dibangunkan untuk meraih apa yang dinamakan “sukses dan kaya”.
Selain soal doktrin yang salah kaprah, beberapa metode “pencerahan” jiwa seperti model mujahadah, zikir berjamaah, perenungan (kontemplasi), riyadhah, atau meditasi, banyak dipengaruhi tasawuf (ajaran sufi). Selain itu, ESQ dan sebangsanya disusupi liberalisme yang menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah secara bebas, mengajarkan bahwa pada dasarnya ajaran seluruh agama adalah benar dan sama, semua pemeluk agama punya kesamaan, yakni sama-sama punya hati, mempergunakan suara hati yang terdalam sebagai sumber kebenaran, serta menganggap para nabi mencapai kebenaran melalui pengalaman dan pencarian. Melalui buku-buku “tazkiyatun nufus (penyucian jiwa)” yang beredar, masyarakat juga dicekoki beragam cerita takhayul dan khurafat tasawuf yang menyesatkan, hanya berlandaskan pada pengalaman/kontemplasi tokoh-tokoh sufi.
Pertanyaannya, tak cukupkah al-Qur’an dan as-Sunnah kita jadikan rujukan? Mana yang lebih bisa dipegangi dan selamat untuk diikuti, al-Qur’an dan as-Sunnah ataukah cerita picisan model sufi?
Secara kemasan, training atau pelatihan semacam ESQ kadang menarik, lebih-lebih didukung penggunaan multimedia. Namun, orang yang cerdas tentu tidak menilai sesuatu berdasarkan kemasan semata, tetapi juga melihat isi dan substansi yang diajarkannya.
Inilah problem “dakwahtainment” dewasa ini. Cara-cara dan subtansi dakwah yang diajarkan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam justru ditinggalkan. Alih-alih memprioritaskan tauhid dan ajaran yang benar, aksi panggung artis “dakwahtainment” juga kering dari dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah yang sahih. Asal bikin orang memerhatikan isi ceramahnya, asal bisa diterima, bahkan asal bikin audien terpingkal-terpingkal, substansi menjadi nomer dua. Di kampung-kampung, malah muncul dai yang isinya hanya menyanyi qasidah/lagu-lagu gubahan, dari awal hingga akhir. Kalau sudah begini, bagaimana masyarakat awam “melek” agama?
Tentu ironis jika jalan tazkiyatun nufus yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah dianggap kurang bisa memikat masyarakat yang didakwahi, dianggap cara-cara klasik, tidak keren, dsb. Tugas dai adalah menyampaikan, perkara hidayah adalah urusan Allah Subhanahu wa ta’ala. Selama kita mendakwahkan substansi yang benar sekaligus menggunakan cara-cara yang benar, insya Allah dakwah itu akan beberkah. Oleh karena itu, mari bersihkan hati dengan cara Islami, raih ketakwaan, amalkan Islam secara ikhlas dan sesuai as-Sunnah, insya Allah kebersihan hati akan kita raih.

Tiada ulasan: