KARYA BADIUZZAMAN SAID NURSI DALAM KITAB
INDUK “RISALAH NUR”
Dan ingatlah
kisah Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya:
(YaTuhanku) sesungguhnya aku telah
ditimpa penyakit dan Engkau
adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di
antara semua penyayang .
(Al-Anbiya‘ [21]: 83)
Munajat
inilah yang telah dipanjatkan oleh penghulu orang-
orang yang
sabar, Nabi Ayyub a.s. Doa ini adalah doa yang mujarrab,
dan sangat
efektif. Maka selayaknya bagi kita untuk mengutip dari
nur ayat
suci ini (sebagai doa) dan bermunajat:
YaTuhanku,
sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan
Engkau adalah
Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua
penyayang .
Dan kisah
nabi Ayyub a.s. kita sebutkan secara ringkas sebagai
berikut:
Dalam
rentang waktu yang sangat panjang, Nabi Ayyub A.S
tetap sabar
dan tegar dalam menghadapi penyakit kronis yang
sedang menjangkitinya
sampai sekujur tubuhnya penuh dengan
luka borok
dengan nanah. Dia tetap bersabar sembari mengharap
pahala dari
Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa.
Ketika
ulat-ulat yang berasal dari luka beliau mulai menyerang
qalbu dan
lidahnya yang merupakan tempat zikrullah dan makrifat-
SWT, dengan
munajat doa yang indah :
Dipanjatkannya
munajat tersebut karena dia khawatir ibadah-
nya
terganggu, bukan meminta kelonggaran. Oleh karena itu, Allah
Yang Maha
Tinggi lagi Maha Kuasa menjawab munajat yang suci
dan tulus
tersebut dengan bentuk jawaban yang luar biasa, sekaligus
Dia angkat
musibahnya dan menganugerahkannya kesehatan yang
sempurna dan
telah memberinya keindahan-keindahan rahmat-Nya
yang sangat
luas itu. Dalam Cahaya ini terdapat lima perkara yang
sangat
tinggi nilainya :
Poin Pertama
Nabi Ayyub
a.s. menderita luka lahir, sedangkan kita men-
derita
penyakit batin, rohani dan hati. Seandainya kita balik, yang
batiniah
menjadi lahiriah, dan yang lahiriah menjadi batiniah, tentu
kita akan
tampak penuh dengan luka-luka yang sangat parah, dan
aneka
penyakit yang jauh lebih banyak lagi dari yang dimiliki oleh
Nabi Ayyub
a.s. Sebab, semua dosa yang kita lakukan, begitu juga
perkara-perkara
syubhat yang menyerang pikiran-pikiran kita,
menyebabkan
luka-luka dalam hati kita.
Sesungguhnya
luka-luka yang diderita Nabi Ayyub a.s. meng-
ancam
keselamatan hidupnya yang singkat di dunia yang fana ini.
Sedangkan
luka-luka maknawi yang kita derita sekarang, meng-
ancam
keselamatan hidup kita nanti di akhirat kelak yang begitu
panjang.
Karena itu, kita membutuhkan doa tersebut jauh lebih besar
ketimbang
Nabi Ayyub a.s. sendiri. Sebab, sebagaimana ulat-ulat
yang datang
dari luka borok menyerang wilayah hati dan lidah
beliau a.s.,
keragu-raguan dan kecemasan–na’ûdzubillâh–yang
timbul dari
luka-luka kita yang disebabkan oleh dosa yang kita
perbuat
menyerang inti hati kita yang merupakan tempat iman dan
memporak-porandakannya.
Luka-luka tersebut juga menyerang
kelezatan
ruhani lidah manusia selaku penerjemah iman manusia
dan
menjauhkan lidah manusia dari zikir kepada Allah SWT.
meluaskan
cengkeramannya ke seluruh penjuru, dan terus menerus
menyebarkan
bintik-bintik hitam hingga iman yang ada di dalamnya
keluar.
Dengan demikian, hati tersebut akan tetap gelap dan terasing,
sehingga
menjadi kasar dan keras. Sesungguhnya, ada sebuah jalan
menuju
kekufuran dalam setiap dosa. Jika dosa tersebut tidak segera
dihapus
dengan istighfar, maka ia akan berubah menjadi ular-ular
maknawi yang
siap menggigit dan menyakiti hati.
Contoh
(pertama): Seseorang yang melakukan dosa secara
sembunyi-sembunyi
akan merasa sangat malu jika hal tersebut
diketahui
orang lain. Rasa malu tersebut yang menjadikannya
merasa berat
atas keberadaan malaikat dan makhluk ghaib lainnya
sehingga
ingin mengingkarinya dengan suatu tanda (atau hujjah)
yang kecil.
Contoh (kedua):
Seseorang yang melakukan dosa besar akan
mendapatkan
siksa neraka, jika ia tidak memohon ampunan dari
Allah. Maka,
ketika ia mendengar kabar peringatan tentang kondisi
neraka
jahannam beserta kejadian-kejadian dahsyat yang bakal
terjadi di
sana, ia berkeinginan keberadaan jahannam ditiadakan.
Dan dengan
demikian, akan timbul keberanian dalam dirinya untuk
mengingkari
wujud neraka jahannam hanya dengan tanda dan
syubhat yang
sederhana dan biasa-biasa saja.
Contoh
(ketiga): Seseorang yang tidak melaksanakan shalat
fardhu dan
tugas ubudiyah menderita celaan sederhana dari Sang
Pemberi
Perintah karena keengganannya melaksanakan kewajiban
yang ringan.
Kemalasannya untuk melaksanakan kewajiban yang
diperintahkan
Allah SWT secara berulang-ulang, niscaya akan lebih
membuat
jiwanya tidak tenang dan menciptakan kegundahan tiada
berkesudahan
yang membuatnya berani berkata:
“Ohhh, andai
Dia (SWT) tidak memerintahkan ibadah tersebut”.
Keinginan
yang seperti ini akan memicu timbulnya sifat ingkar yang
mengandung kebencianterhadap sifat ketuhanan
Allah SWT. Jika
syubhat dan
keragu-raguanterhadap keberadaaan Allah SWT ini masuk
ke dalam hati, makaorang tersebut akan
cenderung meyakini syubhat
tersebut seakan-akan dalil yang absolut. Maka
terbukalah dihadapannya
pintu menuju
kerugian dan kehancuran yang teramat besar.
Akan tetapi
orang malang ini tidak sadar bahwa keing-
karannya ini
telah menjadikan dirinya target kesempitan maknawi
yang jutaan
kali lebih dahsyat dari pada kesempitan parsial akibat
rasa
malasnya melaksanakan ibadah. Tak ubahnya seperti keluar
dari sarang
macan masuk mulut buaya!! Lewat contoh di atas, dapat
dipahami
rahasia ayat:
Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya
apa yang selalu mereka
usahakan itu menutup hati mereka.
(Al-Muthaffifin [83]: 14)
Poin Kedua
Seperti yang
telah dijelaskan di kalimat ke duapuluh enam,
yang secara
khusus membahas masalah takdir: sesungguhnya
manusia
tidak berhak mengeluhkan musibah dan penyakit yang
menimpanya
karena tiga alasan.
Pertama:
Allah SWT menjadikanbusana eksistensi yang Dia pakaikan kepada
manusia sebagaipetunjuk atas kreasi-Nya. Karena, Dia menciptakan
manusia dalambentuk “model” yang dipaparkan pada dirinya pakaian
eksistensi,yang diganti, diukur, digunting, diubah, dan dimodifikasi sebagai
Pertama:
Allah SWT menjadikanbusana eksistensi yang Dia pakaikan kepada
manusia sebagaipetunjuk atas kreasi-Nya. Karena, Dia menciptakan
manusia dalambentuk “model” yang dipaparkan pada dirinya pakaian
eksistensi,yang diganti, diukur, digunting, diubah, dan dimodifikasi sebagai
manifestasi Asmâul
Husna. Contohnya, seperti nama-Nya “Al-Syâfî”
(Maha
Menyembuhkan) menuntut adanya sakit, begitu juga “Al-
Râziq” (Maha
Pemberi Rizki), menuntut keberadaan sifat lapar.
Allah SWT,
Yang Penguasa segala sesuatunya, berbuat apa saja
yang
dikehendaki-Nya.
Kedua:
Sesungguhnya
kehidupan menjadi murni oleh
musibah dan
bala, menjadi bersih oleh penyakit dan bencana. Semua
itu
menjadikan hidup mencapai kesempurnaan, kuat, meningkat,
produktif,
dan mencapai tujuan serta targetnya. Sehingga dengan
demikian
kehidupan telah melaksanakanya kewajiban hidupnya.
Sedangkan
kehidupan monoton yang hanya berjalan dengan satu
corak, dan
berlalu diatas ranjang kenikmatan lebih dekat kepada
ketiadaan
yang merupakan keburukan mutlak ketimbang kepada
mengarah
kepada ketiadaan.
Ketiga:
Dunia ini
merupakan medan ujian dan cobaan. Dunia
adalah
tempat beramal dan ibadah, bukan tempat bersenang-senang
dan
berleha-leha, dan bukan pula tempat menerima imbalan dan
pahala. Maka
selama dunia merupakan tempat beramal dan ber-
ibadah,
penyakit dan cobaan—selain yang berkaitan dengan agama
dan dengan
syarat diterima dengan sabar—menjadi selaras dengan
amal, bahkan
amat harmonis dengan ibadah tersebut. Sebab, kedua
hal tersebut
menguatkan amal dan mengencangkan ibadah. Dengan
demikian,
tidak diperbolehkan mengeluhkannya. Justru kita harus
bersyukur
kepada Allah SWT karena penyakit dan musibah men-
transformasi
setiap jam dalam kehidupan mereka yang tertimpa
musibah
menjadi ibadah satu hari penuh.
Pada
dasarnya ibadah terbagi dua bagian: yang aktif dan yang
pasif.
Bagian yang pertama seperti yang kita kenal bersama. Sedang-
kan bagian
yang kedua, berbagai penyakit dan cobaan membuat
penderitanya
merasakan ketidakberdayaan dan kelemahannya
sehingga ia
mencari perlindungan kepada Tuhannya yang Maha
Pengasih dan
berpaling kepada-Nya. Dengan demikian, ia melak-
sanakan
ibadah dengan ikhlas murni dan bebas dari riya. Apabila
penderita
tersebut menghiasi dirinya dengan sabar dan memikirkan
pahalanya di
sisi Allah dan keindahan imbalan dari-Nya, serta
bersyukur
kepada Tuhan-Nya terhadap segala musibah, pada saat
itu setiap
jam dari usianya berubah seakan satu hari ibadah. Sehingga
umurnya yang
pendek menjadi demikian panjang. Bahkan bagi
sebagian
dari mereka, setiap detik dari usianya bernilai ibadah satu
hari penuh.
Saya pernah
sangat risau ketika salah seorang saudara seiman
saya, Al-Hafidz
Ahmad Muhajir, menderita penyakit yang dahsyat.
Pada saat
itu terbetik dalam hati saya, “Berikan kabar gembira
kepadanya,
ucapkan selamat kepadanya, karena setiap detik dari
usianya
berlalau bak ibadah satu hari penuh”. Sebab, ia benar-benar
bersyukur
kepada Tuhannya yang Maha Pengasih melalui kesabaran
yang indah.
Poin Ketiga
Seperti yang
telah kami paparkan dalam
al-Kalimât,
apabila seseorang memikirkan masa lalunya, maka akan
terbesit dalamhatinya dan akan terlontar dari
mulutnya “ohh, alangkah
ruginya...”atau “Segala puji bagi Allah.
Artinya, orang tersebut mungkin
akanmenyesal
dan kecewa, atau memuji dan mensyukuri Tuhannya. Rasa
sedih dan
kecewa muncul karena penderitaan jiwa yang bersumber
dari hilang
dan keterpisahannya dari berbagai kenikmatan pada
masa
sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan hilangnya kenikmatan
merupakan
sebuah penderitaan. Bahkan rasa nikmat yang hilang
tersebut
dapat mewarisi penderitaan berkesinambungan. Merenung-
kannya akan
memeras derita tersebut dan meneteskan rasa sesal
dan duka.
Sedangkan
kenikmatan maknawi berkesinambungan dari
hilangnya
derita sakit temporer yang dilalui seseorang dalam hidup-
nya,
menjadikan lidahnya mengucapkan puja dan puji kepada Allah
SWT. Hal ini
bersifat fitrah, dirasakan oleh setiap orang. Disamping
itu, apabila
sang penderita mengingat imbalan yang indah dan
ganjaran
yang baik, yang disediakan di akhirat; dan merenungkan
umur
pendeknya yang memanjang akibat sakit; maka ia tidak hanya
bersabar
terhadap derita yang ditimpakan kepadanya, tapi mencapai
derajat
syukur kepada Allah. Lidahnya pun akan mensyukuri Tuhan-
nya, “Segala
puji bagi Allah atas segala sesuatu, kecuali kekufuran
dan
kesesatan”.
Ada
peribahasa yang berbunyi, “Betapa panjangnya usia
musibah”.
Peribahasa tersebut memang benar namun dengan
pengertian
yang berbeda dari apa yang dikenal dan diduga banyak
orang.
Mereka menganggap musibah itu panjang karena penderitaan
dan
kesengsaraan yang ada di dalamnya. Padahal sebetulnya ia
menjadi
terbentang panjang sepanjang umur manusia karena
menghasilkan
kehidupan yang mulia.
Poin Keempat
Pada bagian
pertama dari kalimat kedua puluh satu
,
Kami telah
jelaskan bahwa apabila manusia tidak menceraiberaikan
kekuatan
kesabaran yang dianugerahkan kepadanya dan tidak
ketakutan,
maka kekuatan kesabaran tersebut sudah cukup
membuatnya
tegas menghadapi semua musibah dan bencana. Akan
tetapi,
keterkungkungan manusia dalam rasa cemas, lalai kepada
Allah, serta
tertipunya ia oleh kehidupan dunia fana yang seolah-
olah abadi
ini, membuatnya berpaling dari kekuatan kesabarannya,
merobek
kekuatan tersebut kepada penderitaan di masa lalu dan
rasa takut
terhadap masa depan. Sehingga kesabaran yang di-
anugerahkan
Allah kepadanya, tak lagi bisa membuatnya sanggup
dan tegar
dalam menghadapi musibah yang ada, dia pun mulai
mengeluh.
Seakan-akan dia mengadukan Allah kepada manusia–
naudzu
billah—, karena didasarkan kepada minim bahkan hilang-
nya
kesabaran yang menjadikannya bak orang gila.
Padahal,
tidak layak baginya untuk gelisah seperti itu. Sebab,
hari-hari
yang telah lewat—walaupun dilalui dalam musibah—telah
hilang dan
menyisakan kelapangan. Kepenatan dan rasa sakitnya
juga telah
sirna, yang tersisa hanya kenikmatan. Tekanan dan
himpitannya
telah lenyap, yang masih ada hanyalah ganjarannya.
Dengan
demikian, tidak diperkenankan untuk mengeluh. Bahkan
seharusnya
bersyukur kepada Allah SWT dengan penuh rasa rindu
dan
penyesalan. Dia (manusia) juga tidak diperkenankan untuk
benci dan
marah terhadap musibah yang ada. Justru ia harus meng-
ikat rasa
cinta kepadanya. Sebab, usia manusia yang telah berlalu
tersebut
telah berubah menjadi usia yang berbahagia dan kekal
karena
melalui musibah. Karena itu, merupakan kebodohan dan
kedunguan,
apabila seseorang masih menceraiberaikan dan menyia-
nyiakan
kesabarannya dengan memikirkan rasa sakit di masa lalu.
Adapun masa
depan, merupakan kebodohan memikirkan rasa
khawatir
tentang musibah dan penyakit yang akan menimpa
manusia pada
waktu itu, karena saat itu masih belum tiba dan masih
sama.
Sebagaimana merupakan sesuatu yang bodoh apabila
seseorang
memakan banyak roti dan meminum banyak air karena
khawatir
akan kelaparan dan kehausan keesokan harinya. Demikian
pula dengan
orang yang sejak sekarang sudah bersedih dan gelisah
karena
khawatir mendapatkan musibah dan penyakit di masa
mendatang.
Menampakkan kegelisahan terhadap berbagai musibah
kasih dalam
diri seseorang. Bahkan, dengan demikian ia telah
menganiaya
dirinya sendiri.
Kesimpulan
Sebagaimana
rasa syukur dapat menambah kenikmatan itu
sendiri,
maka keluhan akan menambah musibah tersebut dan bisa
membuat seseorang
tidak lagi mengasihi dirinya. Seorang shaleh
dari Erzurum
menderita penyakit kronis dan ganas. Hal tersebut
terjadi
setahun setelah perang dunia pertama berkobar. Aku pun
pergi
mengunjunginya dan ia mengeluh kepadaku,”
Saudaraku,
sejakseratus hari aku sama sekali belum merasakan lelapnya tidur”.
Keluhannyamembuatku
sedih, akan tetapi pada saat itu aku teringat dan berkata
kepadanya:
“Saudaraku, sesungguhnya seratus hari yang telah ber-
lalu, pada
saat ini menjadi senilai seratus hari yang menyenangkan.
Karena itu,
jangan Anda mengingat dan mengeluhkannya. Pandan-
glah
hari-hari tersebut, dan bersyukurlah kepada Allah atas segala
hal
tersebut.
Untuk
hari-hari yang akan datang, karena semuanya belum
lagi tiba,
pasrahkan dan sandarkan dirimu kepada Allah Yang Maha
Pengasih dan
Penyayang. Jangan menangis jika belum terpukul.
Jangan takut
terhadap sesuatu yang tidak ada. Jangan pula mengada-
ada. Karena
kekuatan sabar sudah cukup untuk saat ini. Jangan
pernah
meniru dan mengikuti jejak pemimpin dungu yang memecah
kekuatan di
markasnya ke kiri dan ke kanan. Padahal pada saat itu,
kekuatan
musuh yang berada di kiri bergerak ke sisi kanan yang
belum lagi
bersiap menyerang. Ketika musuh mengetahui hal ini,
mereka
segera menyerang kekuatan kecil yang ada di markas dan
menghabisi
mereka.
Saudaraku,
jangan seperti pemimpin di atas. Konsentrasikan
semua
kekuatan Anda untuk saat ini saja. Pikirkanlah rahmat Allah
yang masih
luas dan renungkan pahala di akhirat. Renungkan
transformasi
yang dilakukan derita sakit Anda dengan menjadikan
umur fana
Anda yang pendek menjadi panjang. Karena itu, ber-
syukurlah
kepada Allah SWT sebagai ganti dari berbagai keluhan
ini”.
Nasehat ini memberikan pencerahan kepada si sakit tersebut
kurang”.
Poin Kelima
Poin ini
terdiri dari tiga masalah: Masalah pertama,
sesungguhnya
musibah dan bencana yang hakiki dan dianggap
sangat
berbahaya adalah yang menyerang agama. Dan apabila
kondisi
tersebut yang terjadi maka manusia harus segera berlindung
kepada Allah
SWT, bersimpuh dihadapan-Nya. Adapun musibah
yang tidak
menyerang agama bukanlah musibah. Sebab, pada satu
sisi,
musibah tersebut merupakan peringatan Ilahi. Bagaikan seorang
gembala yang
memperingatkan kambing gembalaannya ketika
keluar dari
tempat penggembalaan dengan melemparkan bebatuan.
Sehingga,
kambing tersebut menyadari bahwa penggembalanya
memberikan
peringatan untuk menghindari perkara yang berbahaya
dengan
lemparan batu, dan akhirnya kembali masuk ke daerah
penggembalaannya
dengan ridha dan perasaan tenang. Demikian
pula halnya
dengan musibah, sesungguhnya sebagian besar dari
musibah itu
sendiri adalah peringatan Ilahi dan teguran rahmani
untuk
manusia.
Sisi lain
dari musibah adalah penghapus dosa. Dimensi lain
dari musibah
adalah sebagai berikut: Musibah memberikan
ketenangan
kepada manusia dengan menghilangkan kelalaian,
memberitahukan
ketidakberdayaan, dan kelemahan manusiawi
kepada
manusia.
Adapun
musibah yang diderita oleh manusia saat sakit–
sebagaimana
yang telah dipaparkan sebelumnya–sudah dapat
dipastikan
bahwa ia bukanlah musibah yang sesungguhnya, akan
tetapi
kelembutan rabbanikarena ia mensucikan dan membersihkan
daki-daki
kejahatan. Sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam
satu hadis
sahih, yang maknanya sebagai berikut:
“Tidaklah seorangmuslim dirundung
musibah dan penyakit melainkan
Allah menghapusdosa-dosanya sebagaimana
dedaunan pohon yang gugur”
Demikianlah,
dalam munajatnya Nabi Ayyub a.s. tidak berdoa
untuk
kenyamanan dirinya. Akan tetapi ia memohon kesembuhan
kepada Allah
ketika penyakit telah menghalangi lisannya untuk
berzikir dan
qalbunya untuk bertafakkur. Ia memohon kesembuhan
agar bisa
melakukan tugas-tugas ubudiyah
Oleh karena
itu, sudahseharusnya hal pertama yang menjadi tujuan kita
dengan ber-munajat
adalah niat mengharapkan kesembuhan atas luka-luka
rohani kita
dan penyakit-penyakit batin akibat melakukan dosa. Dan
kita juga
harus memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha
Kuasa ketika
penyakit fisik yang kita derita menghalangi kita untuk
beribadah.
Saat itu kita berlindung dengan merendahkan diri, dan
memohon
pertolongan-Nya tanpa mengeluh dan memprotes.
Karena jika
kita ridha akan sifat ketuhanan-Nya (Rububiyyah) yang
menyeluruh,
maka selama itu pula kita harus ridha dan menerimadengan
total apa yang diberikan-Nya kepada kita
melalui sifat ketuhanan-Nya.
Adapun
keluhan yang mengisyaratkan penolakan dan
keberatan
atas qadha dan qadar-Nya, persis seperti kritik terhadap
ketentuan
ilahi yang adil dan ketidakpercayaan terhadap kasih
sayang-Nya
nan luas. Dan siapa pun yang mengkritik ketetapan-
Nya akan
terkapar oleh takdir itu sendiri, dan yang tidak memper-
cayai rahmat
Allah akan terhalang dari rahmat itu. Karena, seperti
menggunakan
tangan yang patah untuk membalas dendam akan
memperparah
kondisinya, demikian pula menghadapi musibah
dengan keluh
kesah, kerisauan, penolakan, dan kegelisahan akan
melipatgandakan
cobaan tersebut.
Masalah
kedua, jika anda membesar-besarkan musibah fisik
maka ia akan
menjadi besar. Dan setiap kali anda menyepelekannya,
maka ia akan
menjadi kecil. Misalnya, setiap kali seseorang menaruh
perhatian
kepada ilusi yang dilihatnya di malam hari, maka ilusi
tersebut
akan menjadi besar. Padahal jika diabaikan, ilusi tersebut
akan lenyap.
Demikian pula, setiap kali seseorang menghampiri
sarang
lebah, maka lebah-lebah tersebut akan memperhebat
serangannya.
Akan tetapi jika ditinggalkannya, maka lebah-lebah
tersebut
akan berhenti menyerang.
Demikian
pula dengan musibah fisik. Ketika seseorang
kepadanya
serta merisaukannya, maka ia akan menembus jasad dan
menetap di
hati. Dan ketika musibah maknawi yang ada dalam hati
tumbuh dan
menjadi pendukung musibah fisik, maka musibah fisik
akan
berlanjut dan berlangsung lama. Akan tetapi ketika seseorang
dapat
menghilangkan kerisauan dan kegelisahan dari akarnya
dengan ridha
terhadap qadha’ Allah, dan dengan bertawakkal
terhadap
rahmat-Nya, musibah fisik tersebut akan berangsur pergi
dan
menghilang, bagaikan pohon yang layu dan kering dedaunan-
nya akibat
terpotong akarnya.
Pada suatu
saat, hakikat ini saya ungkapkan dalam untaian
kalimat
berikut ini:
Dari keluhan muncullah bencana
Duhai orang miskin, jauhi dan
tawakkallah!
Jika Anda arahkan munajatmu pada Tuhan
Sang pemberi, pasti
Anda dapat.
Sebab, segala sesuatu adalah
anugerah-Nya.
Dan segala sesuatu adalah suci.
Tanpa Allah: engkau akan tersesat dan
cemas di dunia ini
Apakah Anda mengeluhkan biji pasir,
sedangkan orang lain dapat
musibah sebesar dunia?
Sunggulah keluhan itu hanyalah musibah
di atas musibah
Dosa di atas dosa dan derita!
Jika Anda tersenyum di hadapan musibah..
Niscaya ia akan layu dan larut..
Di bawah mentari kebenaran, menjadi
butiran-butiran es.
Saat itulah duniamu tersenyum..
Senyuman yang menyiratkan keyakinan..
Senyuman gembira karena pancaran
keyakinan..
Senyuman kagum karena rahasia-rahasia
keyakinan..
Benar,
sebagaimana manusia menurunkan tingkat permu-
suhannya
dengan menghadapinya dengan wajah ceria dan ter-
senyum,
kerasnya permusuhan akan melentur dan api perselisihan
akan padam.
Bahkan kondisinya berubah menjadi sebuah persa-
habatan dan
perdamaian. Demikian pula, dampak dari sebuah
musibah akan
hilang apabila musibah tersebut dihadapi dengan
bertawakkal
kepada Allah SWT.
Masalah
ketiga, setiap zaman tentu memiliki aturan dan
ketentuan
khusus. Pada masa kelalaian sekarang ini, musibah telah
berubah
bentuk. Bagi sebagian orang, musibah tidak selamanya
merupakan
musibah, tapi kebajikan Ilahi dan kelembutan dari-Nya.
Saya melihat
mereka yang mendapatkan musibah dan bala’ pada
saat
sekarang ini, adalah orang-orang yang beruntung dan bahagia,
selama hal
tersebut tidak merusak agamanya. Dalam pandangan
saya,
penyakit dan musibah tersebut tidak mengakibatkan bahaya
sehingga
harus dilawan dan penderitanya harus dikasihani. Sebab,
aku
menyaksikan seorang pemuda yang menderita sakit memiliki
komitmen
yang lebih kepada agamanya dibanding pemuda lain
yang sebaya.
Dia memiliki keterikatan dengan akhirat.
Hal tersebut
membuat saya sadar bahwa sakit dan penderitaan
bagi
orang-orang ini bukanlah musibah tapi salah satu nikmat Allah
SWT. Sebab
penyakit tersebut memberikan manfaat yang besar bagi
kehidupan
ukhrawi penderitanya dan menjadi salah satu bentuk
ibadah, walaupun
hal tersebut memberatkan kehidupan dunianya
yang fana.
Jika berada dalam kondisi sehat, pemuda ini bisa saja
tidak
mengerjakan perintah Ilahi sebagaimana ketika ia menderita
sakit.
Bahkan bisa jadi dia akan terbawa arus melakukan berbagai
hal ceroboh,
gegabah, dan buruk seperti yang dilakukan para
pemuda pada
umumnya.
Penutup
Allah telah
menyertakan kelemahan tak terbatas dan kefakiran
tak berujung
ke dalam diri manusia, demi menunjukkan kekuasan-
Nya yang
mutlak, dan rahmat-Nya yang sangat luas. Allah SWT
juga telah
menciptakan manusia dalam bentuk dan penampilan
spesifik,
yang mana ia terkadang bersedih dan kadang bergembira,
untuk
memperlihatkan gambaran dari nama-nama-Nya yang mulia.
Allah
rancang manusia seperti mesin ajaib yang memiliki
ratusan
perangkat dan roda. Masing-masing memiliki kesenangan,
Allah yang
mulia, yang tampak jelas di alam yang disebut sebagai
“makrokosmos”
ini, sebagian besar tampak pula di dalam diri
manusia yang
merupakan alam kecil (mikrokosmos). Di samping
itu,
berbagai hal yang bermanfaat seperti kesehatan, keselamatan,
dan
kenikmatan yang ada pada diri manusia mendorongnya untuk
bersyukur
dan melakukan berbagai kewajiban sehingga manusia
tersebut
seakan-akan seperti mesin syukur.
Demikian
pula halnya pada berbagai musibah, penyakit,
derita, dan
berbagai faktor pengaruh yang menstimulasi dan meng-
gerakkan
emosinya, mendorong roda-roda dari mesin tersebut untuk
bekerja dan
bergerak. Dari tempat yang tersembunyi, ia rangsang
mesin itu
sehingga memancarkan harta kelemahan, ketidak-
mampuan, dan
kefakiran yang dalam fitrah kemanusiaan. Musibah
tidak
mendorong manusia untuk berlindung kepada Allah dengan
satu lidah
saja, tapi dengan seluruh anggota tubuhnya. Segala
musibah,
rintangan, dan hambatan tersebut menjadikannya seolah-
olah sebuah
pena dengan ribuan mata pena. Ia tuliskan ketentuan-
ketentuan
hidupnya dalam lembaran kehidupannya, kemudian
dibentuknya
lembaran menakjubkan dari nama Allah yang mulia
hingga
menyerupai satu kasidah indah dan sebuah lembaran
pengumuman.
Dengan demikian ia telah melaksanakan tugas
fitrahnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan