Catatan Popular

Isnin, 10 Ogos 2015

KITAB AL- LAMAAT CAHAYA KEDUA : MUNAJAT NABI AYUB A.S



KARYA BADIUZZAMAN SAID NURSI DALAM KITAB INDUK “RISALAH NUR”



Dan ingatlah kisah Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya:

(YaTuhanku) sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau
adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang .
(Al-Anbiya‘ [21]: 83)

Munajat inilah yang telah dipanjatkan oleh penghulu orang-
orang yang sabar, Nabi Ayyub a.s. Doa ini adalah doa yang mujarrab,
dan sangat efektif. Maka selayaknya bagi kita untuk mengutip dari
nur ayat suci ini (sebagai doa) dan bermunajat:
YaTuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan
Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua
penyayang .

Dan kisah nabi Ayyub a.s. kita sebutkan secara ringkas sebagai
berikut:

Dalam rentang waktu yang sangat panjang, Nabi Ayyub A.S
tetap sabar dan tegar dalam menghadapi penyakit kronis yang
sedang menjangkitinya sampai sekujur tubuhnya penuh dengan
luka borok dengan nanah. Dia tetap bersabar sembari mengharap
pahala dari Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa.
Ketika ulat-ulat yang berasal dari luka beliau mulai menyerang
qalbu dan lidahnya yang merupakan tempat zikrullah dan makrifat-
Nya, dia bersimpuh dihadapan Tuhannya yang Maha Mulia, Allah
SWT, dengan munajat doa yang indah :
Dipanjatkannya munajat tersebut karena dia khawatir ibadah-
nya terganggu, bukan meminta kelonggaran. Oleh karena itu, Allah
Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa menjawab munajat yang suci
dan tulus tersebut dengan bentuk jawaban yang luar biasa, sekaligus
Dia angkat musibahnya dan menganugerahkannya kesehatan yang
sempurna dan telah memberinya keindahan-keindahan rahmat-Nya
yang sangat luas itu. Dalam Cahaya ini terdapat lima perkara yang
sangat tinggi nilainya :


Poin Pertama

Nabi Ayyub a.s. menderita luka lahir, sedangkan kita men-
derita penyakit batin, rohani dan hati. Seandainya kita balik, yang
batiniah menjadi lahiriah, dan yang lahiriah menjadi batiniah, tentu
kita akan tampak penuh dengan luka-luka yang sangat parah, dan
aneka penyakit yang jauh lebih banyak lagi dari yang dimiliki oleh
Nabi Ayyub a.s. Sebab, semua dosa yang kita lakukan, begitu juga
perkara-perkara syubhat yang menyerang pikiran-pikiran kita,
menyebabkan luka-luka dalam hati kita.
Sesungguhnya luka-luka yang diderita Nabi Ayyub a.s. meng-
ancam keselamatan hidupnya yang singkat di dunia yang fana ini.
Sedangkan luka-luka maknawi yang kita derita sekarang, meng-
ancam keselamatan hidup kita nanti di akhirat kelak yang begitu
panjang. Karena itu, kita membutuhkan doa tersebut jauh lebih besar
ketimbang Nabi Ayyub a.s. sendiri. Sebab, sebagaimana ulat-ulat
yang datang dari luka borok menyerang wilayah hati dan lidah
beliau a.s., keragu-raguan dan kecemasan–na’ûdzubillâh–yang
timbul dari luka-luka kita yang disebabkan oleh dosa yang kita
perbuat menyerang inti hati kita yang merupakan tempat iman dan
memporak-porandakannya. Luka-luka tersebut juga menyerang
kelezatan ruhani lidah manusia selaku penerjemah iman manusia
dan menjauhkan lidah manusia dari zikir kepada Allah SWT.
Memang, dosa telah menerobos masuk ke dalam hati serta
meluaskan cengkeramannya ke seluruh penjuru, dan terus menerus
menyebarkan bintik-bintik hitam hingga iman yang ada di dalamnya
keluar. Dengan demikian, hati tersebut akan tetap gelap dan terasing,
sehingga menjadi kasar dan keras. Sesungguhnya, ada sebuah jalan
menuju kekufuran dalam setiap dosa. Jika dosa tersebut tidak segera
dihapus dengan istighfar, maka ia akan berubah menjadi ular-ular
maknawi yang siap menggigit dan menyakiti hati.

Contoh (pertama): Seseorang yang melakukan dosa secara
sembunyi-sembunyi akan merasa sangat malu jika hal tersebut
diketahui orang lain. Rasa malu tersebut yang menjadikannya
merasa berat atas keberadaan malaikat dan makhluk ghaib lainnya
sehingga ingin mengingkarinya dengan suatu tanda (atau hujjah)
yang kecil.

Contoh (kedua): Seseorang yang melakukan dosa besar akan
mendapatkan siksa neraka, jika ia tidak memohon ampunan dari
Allah. Maka, ketika ia mendengar kabar peringatan tentang kondisi
neraka jahannam beserta kejadian-kejadian dahsyat yang bakal
terjadi di sana, ia berkeinginan keberadaan jahannam ditiadakan.
Dan dengan demikian, akan timbul keberanian dalam dirinya untuk
mengingkari wujud neraka jahannam hanya dengan tanda dan
syubhat yang sederhana dan biasa-biasa saja.

Contoh (ketiga): Seseorang yang tidak melaksanakan shalat
fardhu dan tugas ubudiyah menderita celaan sederhana dari Sang
Pemberi Perintah karena keengganannya melaksanakan kewajiban
yang ringan. Kemalasannya untuk melaksanakan kewajiban yang
diperintahkan Allah SWT secara berulang-ulang, niscaya akan lebih
membuat jiwanya tidak tenang dan menciptakan kegundahan tiada
berkesudahan yang membuatnya berani berkata:
“Ohhh, andai Dia (SWT) tidak memerintahkan ibadah tersebut”.
Keinginan yang seperti ini akan memicu timbulnya sifat ingkar yang
 mengandung kebencianterhadap sifat ketuhanan Allah SWT. Jika
syubhat dan keragu-raguanterhadap keberadaaan Allah SWT ini masuk
 ke dalam hati, makaorang tersebut akan cenderung meyakini syubhat
 tersebut seakan-akan dalil yang absolut. Maka terbukalah dihadapannya
pintu menuju kerugian dan kehancuran yang teramat besar.

Akan tetapi orang malang ini tidak sadar bahwa keing-
karannya ini telah menjadikan dirinya target kesempitan maknawi
yang jutaan kali lebih dahsyat dari pada kesempitan parsial akibat
rasa malasnya melaksanakan ibadah. Tak ubahnya seperti keluar
dari sarang macan masuk mulut buaya!! Lewat contoh di atas, dapat
dipahami rahasia ayat:

Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka
usahakan itu menutup hati mereka.
(Al-Muthaffifin [83]: 14)


Poin Kedua

Seperti yang telah dijelaskan di kalimat ke duapuluh enam,
yang secara khusus membahas masalah takdir: sesungguhnya
manusia tidak berhak mengeluhkan musibah dan penyakit yang
menimpanya karena tiga alasan. 

Pertama: 

Allah SWT menjadikanbusana eksistensi yang Dia pakaikan kepada
 manusia sebagaipetunjuk atas kreasi-Nya. Karena, Dia menciptakan 
manusia dalambentuk “model” yang dipaparkan pada dirinya pakaian 
eksistensi,yang diganti, diukur, digunting, diubah, dan dimodifikasi sebagai
manifestasi Asmâul Husna. Contohnya, seperti nama-Nya “Al-Syâfî”
(Maha Menyembuhkan) menuntut adanya sakit, begitu juga “Al-
Râziq” (Maha Pemberi Rizki), menuntut keberadaan sifat lapar.
Allah SWT, Yang Penguasa segala sesuatunya, berbuat apa saja
yang dikehendaki-Nya.

Kedua:

Sesungguhnya kehidupan menjadi murni oleh
musibah dan bala, menjadi bersih oleh penyakit dan bencana. Semua
itu menjadikan hidup mencapai kesempurnaan, kuat, meningkat,
produktif, dan mencapai tujuan serta targetnya. Sehingga dengan
demikian kehidupan telah melaksanakanya kewajiban hidupnya.
Sedangkan kehidupan monoton yang hanya berjalan dengan satu
corak, dan berlalu diatas ranjang kenikmatan lebih dekat kepada
ketiadaan yang merupakan keburukan mutlak ketimbang kepada
eksistensi yang merupakan kebajikan mutlak, bahkan sudah
mengarah kepada ketiadaan.

Ketiga:

Dunia ini merupakan medan ujian dan cobaan. Dunia
adalah tempat beramal dan ibadah, bukan tempat bersenang-senang
dan berleha-leha, dan bukan pula tempat menerima imbalan dan
pahala. Maka selama dunia merupakan tempat beramal dan ber-
ibadah, penyakit dan cobaan—selain yang berkaitan dengan agama
dan dengan syarat diterima dengan sabar—menjadi selaras dengan
amal, bahkan amat harmonis dengan ibadah tersebut. Sebab, kedua
hal tersebut menguatkan amal dan mengencangkan ibadah. Dengan
demikian, tidak diperbolehkan mengeluhkannya. Justru kita harus
bersyukur kepada Allah SWT karena penyakit dan musibah men-
transformasi setiap jam dalam kehidupan mereka yang tertimpa
musibah menjadi ibadah satu hari penuh.

Pada dasarnya ibadah terbagi dua bagian: yang aktif dan yang
pasif. Bagian yang pertama seperti yang kita kenal bersama. Sedang-
kan bagian yang kedua, berbagai penyakit dan cobaan membuat
penderitanya merasakan ketidakberdayaan dan kelemahannya
sehingga ia mencari perlindungan kepada Tuhannya yang Maha
Pengasih dan berpaling kepada-Nya. Dengan demikian, ia melak-
sanakan ibadah dengan ikhlas murni dan bebas dari riya. Apabila
penderita tersebut menghiasi dirinya dengan sabar dan memikirkan
pahalanya di sisi Allah dan keindahan imbalan dari-Nya, serta
bersyukur kepada Tuhan-Nya terhadap segala musibah, pada saat
itu setiap jam dari usianya berubah seakan satu hari ibadah. Sehingga
umurnya yang pendek menjadi demikian panjang. Bahkan bagi
sebagian dari mereka, setiap detik dari usianya bernilai ibadah satu
hari penuh.
Saya pernah sangat risau ketika salah seorang saudara seiman
saya, Al-Hafidz Ahmad Muhajir, menderita penyakit yang dahsyat.
Pada saat itu terbetik dalam hati saya, “Berikan kabar gembira
kepadanya, ucapkan selamat kepadanya, karena setiap detik dari
usianya berlalau bak ibadah satu hari penuh”. Sebab, ia benar-benar
bersyukur kepada Tuhannya yang Maha Pengasih melalui kesabaran
yang indah.


Poin Ketiga

Seperti yang telah kami paparkan dalam
al-Kalimât, apabila seseorang memikirkan masa lalunya, maka akan
 terbesit dalamhatinya dan akan terlontar dari mulutnya “ohh, alangkah
 ruginya...”atau “Segala puji bagi Allah. Artinya, orang tersebut mungkin
akanmenyesal dan kecewa, atau memuji dan mensyukuri Tuhannya. Rasa
sedih dan kecewa muncul karena penderitaan jiwa yang bersumber
dari hilang dan keterpisahannya dari berbagai kenikmatan pada
masa sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan hilangnya kenikmatan
merupakan sebuah penderitaan. Bahkan rasa nikmat yang hilang
tersebut dapat mewarisi penderitaan berkesinambungan. Merenung-
kannya akan memeras derita tersebut dan meneteskan rasa sesal
dan duka.

Sedangkan kenikmatan maknawi berkesinambungan dari
hilangnya derita sakit temporer yang dilalui seseorang dalam hidup-
nya, menjadikan lidahnya mengucapkan puja dan puji kepada Allah
SWT. Hal ini bersifat fitrah, dirasakan oleh setiap orang. Disamping
itu, apabila sang penderita mengingat imbalan yang indah dan
ganjaran yang baik, yang disediakan di akhirat; dan merenungkan
umur pendeknya yang memanjang akibat sakit; maka ia tidak hanya
bersabar terhadap derita yang ditimpakan kepadanya, tapi mencapai
derajat syukur kepada Allah. Lidahnya pun akan mensyukuri Tuhan-
nya, “Segala puji bagi Allah atas segala sesuatu, kecuali kekufuran
dan kesesatan”.

Ada peribahasa yang berbunyi, “Betapa panjangnya usia
musibah”. Peribahasa tersebut memang benar namun dengan
pengertian yang berbeda dari apa yang dikenal dan diduga banyak
orang. Mereka menganggap musibah itu panjang karena penderitaan
dan kesengsaraan yang ada di dalamnya. Padahal sebetulnya ia
menjadi terbentang panjang sepanjang umur manusia karena
menghasilkan kehidupan yang mulia.


Poin Keempat

Pada bagian pertama dari kalimat kedua puluh satu
,
Kami telah jelaskan bahwa apabila manusia tidak menceraiberaikan
kekuatan kesabaran yang dianugerahkan kepadanya dan tidak
mengamburkannya ketika menghadapi gelombang kecemasan dan
ketakutan, maka kekuatan kesabaran tersebut sudah cukup
membuatnya tegas menghadapi semua musibah dan bencana. Akan
tetapi, keterkungkungan manusia dalam rasa cemas, lalai kepada
Allah, serta tertipunya ia oleh kehidupan dunia fana yang seolah-
olah abadi ini, membuatnya berpaling dari kekuatan kesabarannya,
merobek kekuatan tersebut kepada penderitaan di masa lalu dan
rasa takut terhadap masa depan. Sehingga kesabaran yang di-
anugerahkan Allah kepadanya, tak lagi bisa membuatnya sanggup
dan tegar dalam menghadapi musibah yang ada, dia pun mulai
mengeluh. Seakan-akan dia mengadukan Allah kepada manusia–
naudzu billah—, karena didasarkan kepada minim bahkan hilang-
nya kesabaran yang menjadikannya bak orang gila.

Padahal, tidak layak baginya untuk gelisah seperti itu. Sebab,
hari-hari yang telah lewat—walaupun dilalui dalam musibah—telah
hilang dan menyisakan kelapangan. Kepenatan dan rasa sakitnya
juga telah sirna, yang tersisa hanya kenikmatan. Tekanan dan
himpitannya telah lenyap, yang masih ada hanyalah ganjarannya.
Dengan demikian, tidak diperkenankan untuk mengeluh. Bahkan
seharusnya bersyukur kepada Allah SWT dengan penuh rasa rindu
dan penyesalan. Dia (manusia) juga tidak diperkenankan untuk
benci dan marah terhadap musibah yang ada. Justru ia harus meng-
ikat rasa cinta kepadanya. Sebab, usia manusia yang telah berlalu
tersebut telah berubah menjadi usia yang berbahagia dan kekal
karena melalui musibah. Karena itu, merupakan kebodohan dan
kedunguan, apabila seseorang masih menceraiberaikan dan menyia-
nyiakan kesabarannya dengan memikirkan rasa sakit di masa lalu.
Adapun masa depan, merupakan kebodohan memikirkan rasa
khawatir tentang musibah dan penyakit yang akan menimpa
manusia pada waktu itu, karena saat itu masih belum tiba dan masih
sama. Sebagaimana merupakan sesuatu yang bodoh apabila
seseorang memakan banyak roti dan meminum banyak air karena
khawatir akan kelaparan dan kehausan keesokan harinya. Demikian
pula dengan orang yang sejak sekarang sudah bersedih dan gelisah
karena khawatir mendapatkan musibah dan penyakit di masa
mendatang. Menampakkan kegelisahan terhadap berbagai musibah
di masa depan tanpa alasan yang jelas dapat merengut rasa cinta
kasih dalam diri seseorang. Bahkan, dengan demikian ia telah
menganiaya dirinya sendiri.

Kesimpulan

Sebagaimana rasa syukur dapat menambah kenikmatan itu
sendiri, maka keluhan akan menambah musibah tersebut dan bisa
membuat seseorang tidak lagi mengasihi dirinya. Seorang shaleh
dari Erzurum menderita penyakit kronis dan ganas. Hal tersebut
terjadi setahun setelah perang dunia pertama berkobar. Aku pun
pergi mengunjunginya dan ia mengeluh kepadaku,”
Saudaraku, sejakseratus hari aku sama sekali belum merasakan lelapnya tidur”.
Keluhannyamembuatku sedih, akan tetapi pada saat itu aku teringat dan berkata
kepadanya: “Saudaraku, sesungguhnya seratus hari yang telah ber-
lalu, pada saat ini menjadi senilai seratus hari yang menyenangkan.
Karena itu, jangan Anda mengingat dan mengeluhkannya. Pandan-
glah hari-hari tersebut, dan bersyukurlah kepada Allah atas segala
hal tersebut.

Untuk hari-hari yang akan datang, karena semuanya belum
lagi tiba, pasrahkan dan sandarkan dirimu kepada Allah Yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Jangan menangis jika belum terpukul.
Jangan takut terhadap sesuatu yang tidak ada. Jangan pula mengada-
ada. Karena kekuatan sabar sudah cukup untuk saat ini. Jangan
pernah meniru dan mengikuti jejak pemimpin dungu yang memecah
kekuatan di markasnya ke kiri dan ke kanan. Padahal pada saat itu,
kekuatan musuh yang berada di kiri bergerak ke sisi kanan yang
belum lagi bersiap menyerang. Ketika musuh mengetahui hal ini,
mereka segera menyerang kekuatan kecil yang ada di markas dan
menghabisi mereka.

Saudaraku, jangan seperti pemimpin di atas. Konsentrasikan
semua kekuatan Anda untuk saat ini saja. Pikirkanlah rahmat Allah
yang masih luas dan renungkan pahala di akhirat. Renungkan
transformasi yang dilakukan derita sakit Anda dengan menjadikan
umur fana Anda yang pendek menjadi panjang. Karena itu, ber-
syukurlah kepada Allah SWT sebagai ganti dari berbagai keluhan
ini”. Nasehat ini memberikan pencerahan kepada si sakit tersebut
sehingga ia berkata, “Alhamdulillah, sakitku sudah banyak ber-
kurang”.


Poin Kelima

Poin ini terdiri dari tiga masalah: Masalah pertama,
sesungguhnya musibah dan bencana yang hakiki dan dianggap
sangat berbahaya adalah yang menyerang agama. Dan apabila
kondisi tersebut yang terjadi maka manusia harus segera berlindung
kepada Allah SWT, bersimpuh dihadapan-Nya. Adapun musibah
yang tidak menyerang agama bukanlah musibah. Sebab, pada satu
sisi, musibah tersebut merupakan peringatan Ilahi. Bagaikan seorang
gembala yang memperingatkan kambing gembalaannya ketika
keluar dari tempat penggembalaan dengan melemparkan bebatuan.
Sehingga, kambing tersebut menyadari bahwa penggembalanya
memberikan peringatan untuk menghindari perkara yang berbahaya
dengan lemparan batu, dan akhirnya kembali masuk ke daerah
penggembalaannya dengan ridha dan perasaan tenang. Demikian
pula halnya dengan musibah, sesungguhnya sebagian besar dari
musibah itu sendiri adalah peringatan Ilahi dan teguran rahmani
untuk manusia.
Sisi lain dari musibah adalah penghapus dosa. Dimensi lain
dari musibah adalah sebagai berikut: Musibah memberikan
ketenangan kepada manusia dengan menghilangkan kelalaian,
memberitahukan ketidakberdayaan, dan kelemahan manusiawi
kepada manusia.

Adapun musibah yang diderita oleh manusia saat sakit–
sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya–sudah dapat
dipastikan bahwa ia bukanlah musibah yang sesungguhnya, akan
tetapi kelembutan rabbanikarena ia mensucikan dan membersihkan
daki-daki kejahatan. Sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam
satu hadis sahih, yang maknanya sebagai berikut:

“Tidaklah seorangmuslim dirundung musibah dan penyakit melainkan
 Allah menghapusdosa-dosanya sebagaimana dedaunan pohon yang gugur”

Demikianlah, dalam munajatnya Nabi Ayyub a.s. tidak berdoa
untuk kenyamanan dirinya. Akan tetapi ia memohon kesembuhan
kepada Allah ketika penyakit telah menghalangi lisannya untuk
berzikir dan qalbunya untuk bertafakkur. Ia memohon kesembuhan
agar bisa melakukan tugas-tugas ubudiyah

Oleh karena itu, sudahseharusnya hal pertama yang menjadi tujuan kita
dengan ber-munajat adalah niat mengharapkan kesembuhan atas luka-luka
rohani kita dan penyakit-penyakit batin akibat melakukan dosa. Dan
kita juga harus memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha
Kuasa ketika penyakit fisik yang kita derita menghalangi kita untuk
beribadah. Saat itu kita berlindung dengan merendahkan diri, dan
memohon pertolongan-Nya tanpa mengeluh dan memprotes.
Karena jika kita ridha akan sifat ketuhanan-Nya (Rububiyyah) yang
menyeluruh, maka selama itu pula kita harus ridha dan menerimadengan
 total apa yang diberikan-Nya kepada kita melalui sifat ketuhanan-Nya.

Adapun keluhan yang mengisyaratkan penolakan dan
keberatan atas qadha dan qadar-Nya, persis seperti kritik terhadap
ketentuan ilahi yang adil dan ketidakpercayaan terhadap kasih
sayang-Nya nan luas. Dan siapa pun yang mengkritik ketetapan-
Nya akan terkapar oleh takdir itu sendiri, dan yang tidak memper-
cayai rahmat Allah akan terhalang dari rahmat itu. Karena, seperti
menggunakan tangan yang patah untuk membalas dendam akan
memperparah kondisinya, demikian pula menghadapi musibah
dengan keluh kesah, kerisauan, penolakan, dan kegelisahan akan
melipatgandakan cobaan tersebut.

Masalah kedua, jika anda membesar-besarkan musibah fisik
maka ia akan menjadi besar. Dan setiap kali anda menyepelekannya,
maka ia akan menjadi kecil. Misalnya, setiap kali seseorang menaruh
perhatian kepada ilusi yang dilihatnya di malam hari, maka ilusi
tersebut akan menjadi besar. Padahal jika diabaikan, ilusi tersebut
akan lenyap. Demikian pula, setiap kali seseorang menghampiri
sarang lebah, maka lebah-lebah tersebut akan memperhebat
serangannya. Akan tetapi jika ditinggalkannya, maka lebah-lebah
tersebut akan berhenti menyerang.

Demikian pula dengan musibah fisik. Ketika seseorang
membesar-besarkan musibah tersebut, memfokuskan perhatian
kepadanya serta merisaukannya, maka ia akan menembus jasad dan
menetap di hati. Dan ketika musibah maknawi yang ada dalam hati
tumbuh dan menjadi pendukung musibah fisik, maka musibah fisik
akan berlanjut dan berlangsung lama. Akan tetapi ketika seseorang
dapat menghilangkan kerisauan dan kegelisahan dari akarnya
dengan ridha terhadap qadha’ Allah, dan dengan bertawakkal
terhadap rahmat-Nya, musibah fisik tersebut akan berangsur pergi
dan menghilang, bagaikan pohon yang layu dan kering dedaunan-
nya akibat terpotong akarnya.

Pada suatu saat, hakikat ini saya ungkapkan dalam untaian
kalimat berikut ini:

Dari keluhan muncullah bencana
Duhai orang miskin, jauhi dan tawakkallah!
Jika Anda arahkan munajatmu pada Tuhan Sang pemberi, pasti
Anda dapat.
Sebab, segala sesuatu adalah anugerah-Nya.
Dan segala sesuatu adalah suci.
Tanpa Allah: engkau akan tersesat dan cemas di dunia ini
Apakah Anda mengeluhkan biji pasir, sedangkan orang lain dapat
musibah sebesar dunia?
Sunggulah keluhan itu hanyalah musibah di atas musibah
Dosa di atas dosa dan derita!
Jika Anda tersenyum di hadapan musibah..
Niscaya ia akan layu dan larut..
Di bawah mentari kebenaran, menjadi butiran-butiran es.
Saat itulah duniamu tersenyum..
Senyuman yang menyiratkan keyakinan..
Senyuman gembira karena pancaran keyakinan..
Senyuman kagum karena rahasia-rahasia keyakinan..

Benar, sebagaimana manusia menurunkan tingkat permu-
suhannya dengan menghadapinya dengan wajah ceria dan ter-
senyum, kerasnya permusuhan akan melentur dan api perselisihan
akan padam. Bahkan kondisinya berubah menjadi sebuah persa-
habatan dan perdamaian. Demikian pula, dampak dari sebuah
musibah akan hilang apabila musibah tersebut dihadapi dengan
bertawakkal kepada Allah SWT.

Masalah ketiga, setiap zaman tentu memiliki aturan dan
ketentuan khusus. Pada masa kelalaian sekarang ini, musibah telah
berubah bentuk. Bagi sebagian orang, musibah tidak selamanya
merupakan musibah, tapi kebajikan Ilahi dan kelembutan dari-Nya.
Saya melihat mereka yang mendapatkan musibah dan bala’ pada
saat sekarang ini, adalah orang-orang yang beruntung dan bahagia,
selama hal tersebut tidak merusak agamanya. Dalam pandangan
saya, penyakit dan musibah tersebut tidak mengakibatkan bahaya
sehingga harus dilawan dan penderitanya harus dikasihani. Sebab,
aku menyaksikan seorang pemuda yang menderita sakit memiliki
komitmen yang lebih kepada agamanya dibanding pemuda lain
yang sebaya. Dia memiliki keterikatan dengan akhirat.
Hal tersebut membuat saya sadar bahwa sakit dan penderitaan
bagi orang-orang ini bukanlah musibah tapi salah satu nikmat Allah
SWT. Sebab penyakit tersebut memberikan manfaat yang besar bagi
kehidupan ukhrawi penderitanya dan menjadi salah satu bentuk
ibadah, walaupun hal tersebut memberatkan kehidupan dunianya
yang fana. Jika berada dalam kondisi sehat, pemuda ini bisa saja
tidak mengerjakan perintah Ilahi sebagaimana ketika ia menderita
sakit. Bahkan bisa jadi dia akan terbawa arus melakukan berbagai
hal ceroboh, gegabah, dan buruk seperti yang dilakukan para
pemuda pada umumnya.

Penutup

Allah telah menyertakan kelemahan tak terbatas dan kefakiran
tak berujung ke dalam diri manusia, demi menunjukkan kekuasan-
Nya yang mutlak, dan rahmat-Nya yang sangat luas. Allah SWT
juga telah menciptakan manusia dalam bentuk dan penampilan
spesifik, yang mana ia terkadang bersedih dan kadang bergembira,
untuk memperlihatkan gambaran dari nama-nama-Nya yang mulia.
Allah rancang manusia seperti mesin ajaib yang memiliki
ratusan perangkat dan roda. Masing-masing memiliki kesenangan,
tugas, upah, dan ganjaran yang berbeda. Seakan-akan nama-nama
Allah yang mulia, yang tampak jelas di alam yang disebut sebagai
“makrokosmos” ini, sebagian besar tampak pula di dalam diri
manusia yang merupakan alam kecil (mikrokosmos). Di samping
itu, berbagai hal yang bermanfaat seperti kesehatan, keselamatan,
dan kenikmatan yang ada pada diri manusia mendorongnya untuk
bersyukur dan melakukan berbagai kewajiban sehingga manusia
tersebut seakan-akan seperti mesin syukur.

Demikian pula halnya pada berbagai musibah, penyakit,
derita, dan berbagai faktor pengaruh yang menstimulasi dan meng-
gerakkan emosinya, mendorong roda-roda dari mesin tersebut untuk
bekerja dan bergerak. Dari tempat yang tersembunyi, ia rangsang
mesin itu sehingga memancarkan harta kelemahan, ketidak-
mampuan, dan kefakiran yang dalam fitrah kemanusiaan. Musibah
tidak mendorong manusia untuk berlindung kepada Allah dengan
satu lidah saja, tapi dengan seluruh anggota tubuhnya. Segala
musibah, rintangan, dan hambatan tersebut menjadikannya seolah-
olah sebuah pena dengan ribuan mata pena. Ia tuliskan ketentuan-
ketentuan hidupnya dalam lembaran kehidupannya, kemudian
dibentuknya lembaran menakjubkan dari nama Allah yang mulia
hingga menyerupai satu kasidah indah dan sebuah lembaran
pengumuman. Dengan demikian ia telah melaksanakan tugas
fitrahnya.


Tiada ulasan: