Catatan Popular

Jumaat, 14 Ogos 2015

KITAB RAHSIA BERSUCI IHYA ULUMUDDIN : BERSUCI DARIPADA NAJIS (BAHAGIAN 1)



BAHAGIAN PERTAMA 

# Tentang besuci daripada najis.
# Pandangan mengenai najis, yang berhubungan dengan ”yang dihilangkan”.
# “Dengan apa yang dihilangkan” dan “cara menghilangkannya”.


SEGI PERTAMA: MENGENAI APA YANG DIHILANGKAN

Yang dihilangkan ialah: najis. Benda itu 3: benda tidak bernyawa (jamadaat), hewan dan bagian-bagian dari badan hewan. Adapun benda yang tidak bernyawa: maka semuanya suci selain khamar dan tiap-tiap yang berasal dari buah anggur kering yang memabukkan. Hewan itu semuanya suci, selain anjing dan babi dan anak dari keduanya atau dari salah satu daripada keduanya. Apabila hewan itu mati, maka najis semuanya, kecuali 5: manusia, ikan, belalang, ulat buah tufah (buah-buahan). Dan dipandang seperti itu, tiap-tiap makanan yang berubah.

 Tiap-tiap yang tidak mempunyai darah yang mengalir, seperti lalat, lipas dll, maka tidaklah bernajis air dengan jatuhnya ke dalam air. Adapun bagian dari badan hewan, maka dua macam: pertama: yang dipotong daripadanya. Maka hukumnya seperti hukum bangkai. Rambut (bulu), tidak menjadi najis dengan dipotong dan dengan sebab mati yang mempunyai rambut itu. Dan tulang itu menjadi najis dengan sebab-sebab yang demikian. Kedua: barang-barang basah yang keluar dari perut hewan. Maka tiap-tiap yang tidak berubah dan tidak mempunyai tempat tetap, maka adalah suci, seperti air mata, peluh, air liur dan ingus. Dan yang mempunyai tempat tetap, sedang dia itu berubah, maka adalah najis, kecuali benda itu adalah unsur bagi kejadian hewan, seperti mani dan telur. Nanah, darah, berak dan kencing itu najis dari seluruh hewan. Dan tidak dimaafkan sesuatu dari najis ini sedikit atau banyak, selain dari 5:
Pertama: bekas tempat istinja’, sesudah beristinja’ dengan batu dimaafkan selama tidak melewati dari tempat keluarnya.
Kedua: tanah jalan raya dan debu dari berak di jalan besar dimaafkan daripadanya, walaupun diyakini bernajis, sekedar yang sukar menjaga daripadanya. Yaitu yang tidak dianggap terlalu berlumuran dengan debu itu atau terlalu banyak jatuh –pada orang yang kena debu itu.
Ketiga: apa yang diperoleh di bawah sepatu, dari najis yang tidak terlepas jalan besar daripadanya. Maka dimaafkan daripadanya setelah digosok karena  diperlukan.
Keempat: darah kutu anjing, sedikit atau banyak daripadanya. Kecuali apabila melampaui batas kebiasaan. Biar adanya pada kain kita atau pada kain orang lain yang kita pakai. Kelima: darah jerawat dan yang keluar daripadanya, yang merupakan nanah dan lendir. Ibnu, Umar ra menggosok jerawat pada mukanya. Maka keluarlah darah, lalu ia mengerjakan shalat tanpa membasuhnya. Dan termasuk dalam pengertian itu sesuatu yang membening dari kotoran kutu-kutu yang biasanya tahan lama. Begitu pula bekas bekam, kecuali apa yang jarang terjadi, dari sesuatu yang keluar dari badan atau lainnya. Maka dihubungkan hukumnya dengan darah kotor wanita (istihadhah). Dan tidaklah ia termasuk dalam pengertian jerawat yang terlepas manusia daripadanya dalam segala keadaannya.

Dengan dimaafkan oleh agama najis-najis yang 5 itu, memberitahukan kepada kita bahwa persoalan bersuci itu adalah didasarkan kepada dipermudahkan (tidak dipersulitkan). Dan apa yang dibuat-buat yang merupakan suatu kesaksian tentang najis-najis itu, tidaklah mempunyai dasar sama sekali.


SEGI KEDUA: MENGENAI DENGAN APA NAJIS ITU DIHILANGKAN (DIBERSIHKAN)

Iaitu, adakalanya barang beku, dan adakalanya barang cair. Adapun barang beku, maka yaitu batu istinja’. Barang beku itu mensucikan sebagai penyucian yang mengeringkan, dengan syarat, barang beku itu keras, suci, kering dan tidak benda yang dihormati. Adapun benda cair, maka tidak dihilangkan (dibersihkan) najis dengan sesuatu daripadanya, selain air. Dan tidaklah semua air, tetapi yang suci saja, dimana tidak terlalu besar perobahannya dengan percampuran sesuatu yang tidak diperlukan air itu. Dan keluarlah air dari kesuciannya, disebabkan berobah rasanya atau warnanya atau baunya dengan jatuh najis ke dalamnya. Kalau air itu tidak berobah di mana dia mendekati 250 sukatan, yaitu 500 kati Iraq, niscaya ia tidak bernajis, karena sabda Nabi saw: “Apabila sampailah air itu 2 qullah, niscaya tidak membawa najis”. Kalau air itu kurang dari 2 qullah, maka menurut Asy-Syafi’i ra bernajis. Ini, adalah pada air yang tenang. Adapun air yang mengalir, apabila berubah dengan najis, maka riak yang merubah sajalah yang najis, tidak yang di atas dan yang di bawah dari riak itu. Karena riak-riak air itu berpisah, satu dari lainnya. Demikian juga najis yang mengalir, apabila ia mengalir pada tempat mengalir air.

 Maka yang bernajis, ialah tempatnya dari air itu dan di kanan kirinya, apabila ia berkurang dari 2 qullah. Kalau mengalirnya air lebih deras dari mengalirnya najis, maka air yang di atas najis itu suci dan yang di bawahnnya najis, meskipun berjauhan air yang di bawah najis itu dan banyak. Kecuali apabila berkumpul pada suatu kolam sebanyak 2 qullah. Apabila dikumpulkan 2 qullah dari air najis, niscaya sucilah ia dan tidak kembali menjadi najis dengan dipisah-pisahkan kemudian. Inilah menurut madzhab Asy-Syafi’i ra. Saya ingin supaya madzhab Asy-Syafi’i itu seperti madzhab Malik ra, tentang air itu. Yaitu meskipun sedikit, tidak bernajis, kecuali dengan berobah. Karena kepentingan memerlukan kepadanya. Dan melonjaknya kesangsian karena disyaratkan 2 qullah. Dari itu, yang demikian membawa kesukaran kepada orang banyak.

Dan demi umurku, itulah sebab kesukaran dan diketahui oleh orang yang mencoba dan memperhatikannya. Dan termasuk diantara yang tidak saya ragukan lagi, bahwa kalau itu disyaratkan, sungguh tempat yang terutama sukarnya bersuci adalah Makkah dan Madinah. Karena pada dua tempat ini, tidak banyak air yang mengalir dan yang tenang. Dari permulaan masa Rasulullah saw sampai kepada akhir masa sahabat-sahabatnya, tidak ada dinukilkan sesuatu kejadian tentang bersuci dan tiada suatu persoalan tentang cara menjaga air dari najis. Dan tempat-tempat air mereka selalu dipergunakan oleh anak-anak dan budak-budak wanita yang tidak begitu menjaga dari najis-najis. Umar ra pernah mengambil wudlu dengan air dari kendi seorang Nasrani. Ini, adalah sebagai suatu penegasan, bahwa tidak diperpegangi, selain pada tidak berobahnya air.

Kalau tidak demikian, maka kenajisan kenasranian dan tempat airnya, adalah lumrah yang diketahui dengan berat dugaan yang mendekati kepada kebenaran. Apabila sulitlah berpegang kepada aliran (madzhab) ini dan tidak adanya terjadi persoalan pada masa-masa itu adalah dalil pertama dan perbuatan Umar ra menjadi dalil kedua. Dan dalil ketiga, dibiarkan oleh Nabi saw kendi air untuk kucing dan tidak ditutupkannya dari kucing-kucing itu, sesudah Nabi saw melihat kucing itu memakan tikus dan tidak ada pada negeri mereka kolam-kolam, di mana kucing dapat membenamkan mulutnya ke dalam kolam-kolam itu dan tidak pula kucing-kucing itu turun ke sumur-sumur. Dan dalil keempat bahwa Imam Asy-Syafi’i ra telah mengeluarkan nash (ketetapan sesuatu masalah dengan dalil), bahwa air penyucian najis itu suci, apabila tidak berobah dan najis apabila berobah. Dan apa bedanya, diantara air itu menemukan najis dengan dituangkan ke atas najis atau najis itu datang kepada air ? dan apa artinya perkataan dari orang yang mengatakan, bahwa kekuatan kedatangan itu, menolakkan najis, serta kedatangan itu tidak mencegah percampuran najis. Jikalau dibawa yang demikian kepada diperlukan, maka juga keperluan meminta untuk itu. Sehingga tiada berbeda diantara menuangkan air ke dalam ember yang ada di dalamnya kain bernajis. Atau mencampakkan kain bernajis dalam ember yang ada padanya air.

 Dan semuanya adalah biasa pada menyucikan kain dan kendi-kendi air. Dan dalil kelima, adalah mereka itu beristinja’ di tepi air sedikit yang mengalir. Dan tidak ada perselisihan pada madzhab Asy-Syafi’i ra bahwa apabila jatuh kencing ke dalam air yang mengalir dan air itu tidak berobah, bahwa bolehlah berwudlu dengan air itu, meskipun ia sedikit. Dan apakah bedanya diantara air yang mengalir dan air yang tenang ? dan menurut perasaanku kiranya, apakah berpegang kepada tiada berobah itu lebih utama atau kepada kekuatan air disebabkan mengalir ? kemudian manakah batas kekuatan itu, apakah berlaku pada air yang mengalir di dalam pipa-pipa kamar mandi atau tidak ? jika tidak berlaku, maka apakah bedanya ? dan jika berlaku, maka apakah bedanya diantara benda yang jatuh ke dalamnya dan diantara benda yang jatuh pada tempat lalunya air dari kendi-kendi kepada badan ? dan itu juga mengalir bukan ? kemudian air kecil itu (air kencing) adalah lebih berat percampurannya dengan air yang mengalir, daripada najis beku yang tetap, apabila diputuskan bahwa air yang mengalir kepadanya, biarpun tidak berobah itu najis, sampai air itu dikumpulkan menjadi 2 qullah pada suatu tempat. Maka apakah bedanya diantara benda beku dan benda cair, sedang air itu satu dan bercampur aduk (ikhtilath), adalah lebih berat daripada mujawarah (percampuran yang tidak bercampur aduk) ?. Dan dalil keenam, bahwa apabila jatuh sekati kencing ke dalam air yang 2 qullah, kemudian air itu dipisah-pisahkan, maka tiap-tiap bahagian yang diambil daripadanya itu suci.

 Dan sebagai dimaklumi bahwa kencing itu bertebaran di dalamnya, sedang air itu adalah sedikit. Dan kiranya, menurut perasaanku, adakah menjadi sebab sucinya karena tidak berobah itu lebih diutamakan. Atau disebabkan kekuatan banyaknya air, setelah dipisah-pisahkan dan dihilangkan banyaknya, serta diyakini masih adanya bahagian-bahagian najis di dalamnya ?. Dan dalil ketujuh bahwa tempat-tempat permandian itu pada masa-masa yang lampau, selalulah menjadi tempat berwudlu orang-orang yang hidupnya melarat. Mereka membenamkan tangan dan kendi-kendi air ke dalam kolam-kolam itu, sedang airnya sedikit, serta diketahui bahwa tangan-tangan yang bernajis dan bersih, datang silih berganti kepadanya. Maka segala hal ini, serta keperluan yang mendesak itu, meneguhkan di dalam jiwa, bahwa mereka itu memandang kepada tiada berobahnya air, bersandarkan kepada sabda Nabi saw: “Dijadikan air itu suci-menyucikan, tidak dinajiskannya oleh sesuatu, kecuali yang dapat mengobahkan rasanya atau warnanya atau baunya”.

Dan ini dapat meyakinkan. Yaitu, sifat dari tiap-tiap yang cair, dapat membawa kepada sifatnya sendiri, tiap-tiap benda yang jatuh ke dalamnya. Dan adalah benda yang jatuh itu menjadi kalah, tidak dapat mempertahankan diri. Maka sebagaimana kita melihat anjing yang jatuh ke dalam gudang garam, lalu berobah menjadi garam. Dan ditetapkan hukumnya dengan suci, disebabkan telah menjadi garam dan hilang sifat keanjingan daripadanya. Maka demikian pula cuka yang jatuh ke dalam air. Begitupula susu yang jatuh  ke dalamnya, sedang dia itu sedikit, maka hilanglah sifatnya dan merupakanlah dia dengan sifat air dan berbentuklah dia dengan bentuk air. Kecuali apabila benda itu banyak dan menang. Dan dikenal kemenangannya itu dengan kemenangan rasanya atau warnanya atau baunya. Maka ukuran ini dan agama telah memberi isyarat kepadanya, mengenai air yang kuat untuk menghilangkan najis, adalah lebih layak untuk menjadi pegangan. Sehingga tertolaklah dengan itu kesulitan dan lahirlah pengertian adanya air itu suci-menyucikan. Karena dia memenangkan atas benda itu, lalu menyucikannya. Sebagaimana telah terjadi seperti itu, mengenai air yang melebihi daripada 2 qullah, mengenai air cucian, mengenai air yang mengalir dan mengenai dibiarkan tempat air bagi kucing. Janganlah anda menyangka, yang demikian itu karena dimaafkan. Karena kalau benarlah begitu, maka adalah seperti bekas istinja’ dan darah kutu-kutu busuk, sehingga jadilah air yang terjatuh benda itu ke dalamnya najis. Dan tidak bernajislah, dengan air cucian dan dengan jilatan kucing ke dalam air yang sedikit. Adapun sabda Nabi saw: “Air itu tidak membawa najis”, maka hadits itu meragukan. Karena air itu membawa najis, apabila ia telah berobah”. Kalau dikatakan, bahwa dimaksudkan dengan hadits itu, apabila tidak berobah, maka mungkin dijawab bahwa dimaksudkan dengan demikian, karena biasanya air itu tiada berobah dengan najis-najis biasa.

Kemudian, dipegang dengan yang dipahami dari hadits itu (maksudnya: membawa najis), yaitu mengenai air apabila tiada sampai 2 qullah. Dan meninggalkan yang dipahami itu, dengan mempergunakan sedikit daripada dalil-dalil yang telah kami sebutkan itu, mungkin saja. Sabda Nabi saw: “Tidak membawa najis”, secara zahiriyah, ialah tidak membawanya. Artinya: membalikkan najis kepada sifat air itu sendiri, sebagaimana dikatakan bagi gudang garam itu tidak membawa anjing dan lainnya. Artinya: bertukar kepada garam. Maka demikian, karena manusia itu kadang-kadang beristinja’ pada air yang sedikit dan dengan potongan-potongan kecil dari tumbuh-tumbuhan dan membenamkan tempat-tempat air (bejana-bejana) yang bernajis ke dalam air yang sedikit. Kemudian mereka menjadi ragu, mengenai air itu, berobahkah, dia dengan kentara atau tidak ?. Maka jelaslah bahwa air itu apabila 2 qullah, niscaya tidak berobah dengan najis biasa. Kalau anda mengatakan, bahwa Nabi saw telah bersabda: “Tidak membawa najis”, maka manakala najis itu banyak, niscaya dibawanya”. Ini terbalik kepada anda. Karena bila najis itu banyak, maka air itu membawanya pada hukum sebagaimana membawanya pada pandangan. Dari itu, haruslah ditentukan dengan najis-najis biasa pada kedua madzhab itu (madzhab Malik dan Asy-Syafi’i). Kesimpulannya, maka kecenderunganku mengenai persoalan najis-najis biasa kepada memudahkan, adalah karena memahami dari perjalanan orang-orang terdahulu dan karena menutupi pintu kebimbangan. Dengan sebab itulah, aku berfatwa dengan suci mengenai hal-hal yang terjadi perselisihan padanya dalam contoh-contoh daripada masalah-masalah itu.


SEGI KETIGA: MENGENAI CARA MENGHILANGKAN NAJIS.

Najis itu, kalau najis hukmiyah, yaitu najis yang tiada mempunyai bentuk yang tanpa dilihat, maka mencukupilah melalukan air di atas seluruh tempat najis itu. Dan kalau najis ‘ainiyah (mempunyai bentuk yang tampak dilihat), maka haruslah dihilangkan bentuk najis itu. Kalau rasanya masih ada, maka itu menunjukkan kepada masih adanya najis itu. Begitupula kalau masih ada warnanya. Kecuali kalau sudah melekat betul, maka dimaafkan setelah dikikis dan digosok. Kalau baunya masih ada, maka menunjukkan masih adanya najis itu dan tidak dimaafkan, kecuali apabila benda itu mempunyai bau keras, yang sukar menghilangkannya. Maka menggosok dan memeraskannya beberapa kali berturut-turut, adalah merupakan seperti mengikis dan menggosok pada warna tadi. Cara menghilangkan kebimbangan hati (waswas), ialah mengetahuinya dengan keyakinan bahwa segala benda dijadikan suci. Maka sesuatu benda yang tiada kelihatan najis padanya dan tiada diketahui najis itu dengan yakin, maka bolehlah dilakukan shalat bersamanya. Dan tidak seyogyalah dipakai pemahaman secara mendalam untuk mengumpamakan adanya najis itu.

Tiada ulasan: