Catatan Popular

Sabtu, 15 Ogos 2015

KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 20 : JENIS-JENIS DOSA YANG HARUS MINTA DIAMPUNKAN (TAUBAT)

Oleh Ibn Qayyim Al Jauziyah

Seorang hamba tidak berhak mendapat sebutan "Orang yang bertaubat"
kecuali setelah dia membebaskan diri dari perkara-perkara yang
harus dimintakan ampunan, yang jenisnya ada dua belas, seperti yang
disebutkan di dalam Kitab Allah, yang semuanya merupakan jenis-jenis
perkara yang diharamkan, yaitu: Kufur, syirik, nifaq, fusuk, kedurhakaan,
dosa, pelanggaran, kekejian, kemungkaran, aniaya, mengeluarkan perkataan
terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu dan mengikuti selain jalan
orang-orang Mukmin.
Dua belas jenis ini merupakan poros dari berbagai macam perkara
yang diharamkan Allah. Pada diri seseorang ada beberapa perkara dari
jenis-jenis ini, dalam jumlah yang lebih banyak atau lebih sedikit, atau
hanya ada satu saja, dan bisa jadi dia mengetahuinya atau bisa jadi dia tidak
mengetahuinya. Sementara at-taubatun-nashuh ialah membebaskan diri
dari perkara-perkara ini, melindungi diri dan wawas diri agar tidak terseret
kepadanya. Tapi yang bisa membebaskan diri darinya ialah orang yang
mengetahuinya. Saya perlu menguraikan masing-masing jenis dan cabangcabangnya,
agar ada kejelasan batasan dan hakikatnya.
Uraian ini termasuk uraian yang paling banyak manfaatnya dari
keseluruhan kandungan buku ini, dan setiap hamba sangat
membutuhkannya.


1. Kufur

Kufur ada dua macam: Kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar
mengakibatkan kekekalan di dalam neraka, sedangkan kufur kecil layak
mendapatkan ancaman siksa dan tidak mengakibatkan kekekalan di dalam
neraka, seperti yang disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
yaitu mencela nasab, meratapi orang yang meninggal dunia, menyetu-buhi
istri pada duburnya, mendatangi dukun dan peramal, yang semuanya disebut
dengan istilah kufur, atau seperti firman Allah,

"Dan, barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka merekalah orang-orang yang kufur." (Al-
Maidah:44).

Menurut Ibnu Abbas dan Thawus, ini merupakan kufur yang tidak
mengeluarkan pelakunya dari agama. Tapi siapa yang melakukannya layak
mendapat sebutan kufur, tidak seperti kufur kepada Allah dan hari akhirat."
Atha' menyebutnya kufur tidakseperti kufuryang semestinya, zhalim
tidak seperti zhalim yang semestinya, fusuk tidak seperti fusuk yang semestinya.
Ada yang mena'wili ayat ini sebagai berikut: Tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, karena mengingkarinya. Ada
pula yang mena'wilinya sebagai berikut: Tidak memutuskan perkara menurut
semua ketetapan yang diturunkan Allah. Ada pula yang mena'wilinya
sebagai berikut: Memutuskan perkara secara sengaja dan bukan karena tidak
tahu dan bukan kesalahan ta'wil, menurut ketetapan yang bertentangan
dengan nash. Ada pula yang menganggapnya sebagai kufur yang
mengeluarkan pelakunya dari agama.
Pendapat yang benar, memutuskan perkara tidak menurut apa yang
diturunkan Allah bisa berarti dua jenis kufur, kecil dan besar, tergantung
dari keadaan pelakunya. Siapa yang meyakini keharusan memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, namun dia menyimpang
darinya karena durhaka, sementara dia juga mengakui bahwa dia layak
mendapat hukuman, maka ini disebut kufur kecil. Jika dia yakin bahwa itu
merupakan hukum Allah, namun dia yakin bahwa penerapannya tidak wajib
dan boleh memilih yang lain, maka ini disebut kufur besar.
Kufur besar ada lima macam: Takdzib, istikbar, i'radh, syakk, nifaq.
Kufur takdzib ialah keyakinan terhadap kedustaan para rasul. Tapi yang
termasuk jenis ini jarang terjadi di kalangan orang-orang kafir. Kufur istikbar
atau iba' ialah seperti kufurnya Iblis. Dia tidak mengingkari adanya perintah
Allah, namun dia tidak patuh karena rasa takabur di dalam dirinya. Yang
termasuk jenis ini adalah kufurnya orang yang mengakui kebenaran para
rasul, namun dia tidak mau mengikutinya karena rasa takabur. Ini adalah
kufurnya musuh-musuh para rasul, seperti kufurnya Fir'aun dan para
pengikutnya dan kufurnya Abu Thalib. Kufur i'radh artinya berpaling dari
Rasul dengan pendengaran atau hatinya, tidak membenarkan dan tidak
pula mendustakan, tidak menolong dan tidak pula me-musuhinya serta
tidak peduli terhadap apa yang dibawanya, seperti kata seseorang dari Bani
Abdi Yalail kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Demi Allah, aku
akan mengatakan satu kalimat kepadamu, jika engkau benar, maka engkau
lebih mulia untuk kutolak, dan jika engkau dusta, maka engkau lebih hina
daripada aku harus berbicara denganmu." Kufur syakk artinya tidak pernah
memiliki kemantapan hati untuk membenarkan atau mendustakan rasul,
tapi selalu ada keragu-raguan dalam dirinya. Keragu-raguan ini akan terus
membayang jika dia tidak mau melihat bukti-bukti kebenaran Rasululullah,
tidak mau mendengar dan tidak mau mem-perhatikannya. Padahal kejelasan
bukti ini seperti kejelasan matahari pada siang hari. Kufur nifaq artinya
memperlihatkan iman dengan lisannya, namun memendam pendustaan di
dalam hatinya. Ini merupakan nifaq yang paling besar, dan di bagian
mendatang akan diuraikan macam-macamnya.


2. Syirik

Syirik ada dua macam: Besar dan kecil. Syirik besar tidak akan diampuni
Allah kecuali dengan taubat, yaitu membuat tandingan bagi Allah,
pelakunya mencintai tandingan ini seperti cintanya kepada Allah. Ini
merupakan syirik seperti syiriknya orang-orang musyrik yang menyama-kan
sesembahannya dengan Allah Rabbul- 'alatnin. Sementara mereka tetap
mengakui bahwa hanya Allah semata yang menciptakan segala sesuatu,
penguasa dan rajanya, sementara sesembahan mereka tidak mampu
mencipta, memberi rezki, menghidupkan dan mematikan. Penyamaan ini
hanya dalam kecintaan, pengagungan dan penyembahan, seperti keadaan
mayoritas orang-orang musyrik di mana pun jua, atau bahkan setiap orang
musyrik. Mereka mencintai, mengagungkan, memuja dan membela
sesembahannya selain Allah itu, dan bahkan mereka lebih mencintainya
daripada cinta mereka kepada Allah. Mereka lebih marah jika
sesembahannya dicaci daripada kemarahan mereka jika Allah dicaci.
Begitulah keadaan para penyembah berhala, yang menjadikan bebatu-an,
pepohonan atau benda mati apa pun sebagai sesuatu yang dipuja-puja.
Allah befirman tentang para pendahulu orang-orang musyrik,

"Dan, orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata),
'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan
kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya'." (Az-Zumar: 3).

Mereka merasa yakin di dalam hati bahwa sesembahan-sesembahan
itu akan memberi syafaat (pertolongan) kepada mereka di sisi Allah. Maka
Allah menyanggah anggapan mereka ini, bahwa semua syafaat ada di Tangan
Allah. Tak seorang pun bisa memberi syafaat di sisi-Nya kecuali setelah
mendapat izin Allah untuk memberikan syafaat, yang perkataan dan
perbuatannya diridhai, dan mereka ini adalah ahli tauhid. Syafaat yang
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya adalah syafaat yang keluar dari izin-Nya. Di
antara kebodohan orang musyrik ialah keyakinannya bahwa siapa yang
dijadikannya sebagai penolong atau pemberi syafaat, bisa memberi syafaat
dan manfaat kepadanya di sisi Allah, seperti lazimnya pertolongan yang
diberikan para pemimpin dan penguasa terhadap rakyat-nya. Mereka tidak
sadar bahwa siapa pun tidak akan bisa memberi syafaat di sisi Allah kecuali
yang mendapat izin-Nya. Sementara tak seorang pun yang diberi izin oleh
Allah kecuali yang perbuatan dan perkataannya diridhai Allah.
Sedangkan syirik kecil seperti sedikit riya', mencari muka di hadapan
manusia, bersumpah dengan selain Allah, perkataan seseorang kepada
orang lain, "Menurut kehendak Allah dan kehendakmu", atau perkataannya,
"Ini berasal dari Allah dan darimu", atau perkataannya, "Aku
bergantung kepada Allah dan juga kepadamu", atau perkataannya, "Kalau
bukan dirimu, tentu hal ini tidak akan terjadi". Tapi perkataan seperti ini
bisa berubah menjadi syirik besar, tergantung kepada siapa yang
mengatakannya dan apa tujuannya.
Macam-macam syirik ini banyak sekali dan hampir tak terhitung
banyaknya, yang tidak cukup bila disebutkan satu-persatu di sini.


3. Nifaq

Nifaq merupakan penyakit yang tersembunyi di dalam batin, yang
bisa memenuhi seluruh batin dan hatinya, sementara dia tidak menyadarinya,
sebab hal ini tidak bisa diketahui orang lain. Nifaq ini tersembunyi
karena keadaannya yang samar-samar. Dia mengira nifaq itu bagus, tapi
ternyata merusak.
Nifaq ada dua macam: Besar dan kecil. Nifaq yang besar mengakibatkan
kekekalan di dalam neraka dan berada di lapisan paling bawah.
Gambarannya, orang munafik menampakkan iman kepada Allah, para
malaikat, kitab, para rasul dan hari akhirat di hadapan orang-orang Muslim,
padahal di dalam batinnya dia tidak memiliki iman itu. Dia tidak beriman
bahwa Allah menurunkan wahyu kepada manusia yang dijadikan-Nya
sebagai rasul, yang memberi petunjuk, peringatan dan ancaman.
Allah telah menyibak tabir orang-orang munafik dan mengungkap
rahasia mereka di dalam Al-Qur'an. Perkara mereka dijelaskan di hadapan
orang lain, agar menjadi peringatan. Di awal surat Al-Baqarah disebutkan tiga
macam golongan manusia yang ada di dunia ini, yaitu: Orang-orang
Mukmin, orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Empat ayat tentang
orang-orang Mukmin, dua ayat tentang orang-orang kafir dan tiga belas
ayat tentang orang-orang munafik. Ayat tentang mereka lebih banyak
jumlahnya, karena jumlah mereka yang cukup banyak dan cobaan yang
mereka akibatkan lebih menyeluruh serta lebih membahayakan Islam dan
para pemeluknya. Cukup berat cobaan yang harus ditanggung Islam, karena
mereka menisbatkan diri kepada Islam, menunjukkan loyalitas kepada
Islam, padahal hakikatnya mereka adalah musuh Islam.
Demi Allah, berapa banyak orang yang seakan membela Islam,
padahal sebenarnya dia menghancurkan Islam. Berapa banyak orang yang
membangun fondasi benteng, padahal sebenarnya dia merusaknya. Islam
dan para pemeluknya senantiasa dalam intaian bahaya karena keberadaan
mereka.

Inilah gambaran keadaan mereka yang disebutkan secara berurutan
dalam surat Al-Baqarah, dari ayat 8 hingga ayat 20:

Ayat 8: Mereka mengenakan pakaian iman, sedang di dalam hatinya ada
perasaan sesal dan merugi, dusta dan pengingkaran. Lidah mereka
lidah orang yang pasrah, sedang batin mereka lebih dekat dengan
orang-orang kafir.

Ayat 9 : Modal mereka adalah tipuan dan makar. Barang dagangan mereka
kedustaan dan pengkhianatan. Mereka mempunyai logika agar
tetap eksis, yaitu memperlihatkan keridhaan kepada kedua belah
pihak, sehingga mereka tetap merasa aman.

Ayat 10: Penyakit syubhat dan syahwat menyusup ke dalam hati mereka
lalu merusaknya. Maksud yang buruk menguasai kehendak mereka
dan niat mereka rusak, lalu menyeret mereka kepada kebinasaan
yang tidak bisa diobati oleh dokter.

Ayat 11 & 12: Siapa yang bejana imannya disusupi keragu-raguan mereka,
maka imannya akan tercabik-cabik, siapa yang pendengarannya
dipengaruhi syubhat kesamar-samaran mereka, maka keyakinan di
dalam hatinya akan hilang, karena kerusakan mereka di muka
bumi amat ba-nyak, namun mereka tidak mau mengakuinya.

Ayat 13: Seseorang yang berpegang kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam
pandangan mereka adalah orang yang berpegang kepada benda
mati, dianggap kurang beres akalnya. Orang yang
melaksanakan nash menurut pandangan mereka seperti keledai
yang membawa kitab suci. Dagangan pedagang wahyu menurut
pandangan mereka tidak laku dan mereka tidak mau
menerimanya. Orang yang mengikuti Rasul menurut pandangan
mereka termasuk orang-orang bodoh, dan mereka akan mengejeknya.

Ayat 14: Masing-masing di antara mereka mempunyai dua wajah. Wajah
saat berhadapan dengan orang-orang Mukmin, dan satu wajah
lagi saat mereka berkumpul dengan rekan-rekan segolongannya.
Mereka juga mempunyai dua lidah, satu lidah dipergunakan jika
bersama orang-orang Muslim, dan satu lidah lagi dipergunakan
untuk menerjemahkan rahasia yang terpendam di dalam hati
mereka.

Ayat 15: Mereka berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah, karena hen-dak
mengolok-olok dan mengejek orang-orang yang berpegang
kepada keduanya.

Ayat 16: Mereka keluar mencari perniagaan yang sia-sia di tengah lautan
kegelapan, sambil naik perahu keragu-raguan dan berlayar di tengah
gelombang hayalan yang tidak pasti. Perahu mereka pun
terom-bang-ambing dihembus badai hingga mereka pun
terhempas dalam kebinasaan.

Ayat 17: Api iman menyala di dekat mereka sehingga dengan ca-hayanya
mereka bisa melihat tempat-tempat yang berdasarkan petunjuk
dan tempat yang menyesatkan. Tapi kemudian cahayanya
padam dan tinggal setitik api yang kadang menyala dan kadang
tidak, sehingga mereka tersiksa dengan keadaan itu, kemudian
mereka sama sekali tidak bisa melihat.

Ayat 18: Pendengaran, penglihatan dan lidah mereka sudah tertu-tup
kerak, sehingga mereka tidak bisa mendengar seruan iman, tidak
bisa melihat hakikat Al-Qur'an dan tidak bisa mengatakan
kebenaran.

Ayat 19: Hujan wahyu turun kepada mereka, yang di dalamnya ter-hadap
kehidupan bagi hati dan ruh. Tapi yang mereka dengar dari hujan
itu hanya suara petir peringatan, ancaman dan kewajiban yang
dibebankan kepada mereka setiap pagi dan petang. Maka
mereka menyumbatkan jari ke lubang telinga mereka dan
merekapun lari.

Ayat 20: Dalam hujan lebat itu mereka tidak bisa melihat hanya dengan
mengandalkan kilat yang menyambar, dan pendengaran mereka
tidak mampu mendengar petir janji, perintah dan larangan.
Mereka pun berdiri dalam keadaan bingung di hamparan tanah
yang kering kerontang.
Masih banyak sifat orang-orang munafik lainnya dan penggambar-an
tentang diri mereka yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sun-nah.


4. Fusuk dan Kedurhakaan

Fusuk disebutkan dalam dua macam dalam Al-Qur'an: Fusuk yang
disebutkan sendirian, dan fusuk yang dikaitkan dengan kedurhakaan.
Yang disebutkan sendirian ada dua macam: Fusuk kufur yang mengeluar-kan
pelakunya dari Islam, dan fusuk yang tidak mengeluarkannya dari Islam.
Fusuk kufur seperti firman Allah,

"Dan, adapun orang-orang yang fasik, maka tempat mereka adalah
neraka. Setiapkali mereka hendak keluar daripadanya, mereka
dikembalikan (lagi) ke dalamnya." (As-Sajdah: 20).

Sedangkan fusuk yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam
seperti firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti." (Al-Hujurat: 6).

Ayat ini turun berkenaan dengan Al-Walid bin Uqbah bin Abu
Mu'aith yang memanipulasi berita.
Fusuk yang dikaitkan dengan kedurhakaan ialah melakukan apa
yang dilarang Allah. Kedurhakaan di sini artinya mendurhakai perintah.
Penggunaan lafazh fusuk lebih tertuju kepada pelaksanaan apa yang
dilarang, sedangkan kedurhakaan lebih tertuju kepada menyalahi dan
melanggar perintah. Namun melakukan apa yang dilarang juga bisa berarti
kedurhakaan jika kata ini disebutkan sendirian. Jika disertakan dengan
kata yang lain, maka pengertiannya seperti di atas.
Fusuk keyakinan ialah seperti fusuknya ahli bid'ah. Mereka beriman
kepada Allah, Rasul-Nya hari akhirat, mengharamkan apa yang diharamkan
Allah, melaksanakan apa yang diwajibkan Allah, tetapi mereka
meniadakan sekian banyak ketetapan Allah dan Rasul-Nya, entah kare-na
kebodohan, ta'wil atau taqlid kepada guru, lalu mereka menetapkan
sesuatu yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Taubat dari fusuk ialah dengan menetapkan bagi dirinya seperti
yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, tanpa merubah atau pun mengganti.


5. Dosa dan Pelanggaran

Dosa dan pelanggaran merupakan pasangan, seperti firman-Nya,

"Dan, tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran." (Al-Maidah: 2).

Jika masing-masing dipisahkan, maka yang satu mencakup yang
lainnya, sebab setiap dosa merupakan pelanggaran dan setiap pelanggaran
adalah dosa, sebab keduanya berarti melaksanakan apa yang dilarang
Allah dan meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya, atau dengan kata
lain merupakan pelanggaran terhadap perintah dan larangan-Nya, dan
setiap pelanggaran adalah dosa. Tetapi jika keduanya dipasangkan, maka
masing-masing bisa berdiri sendiri, tergantung kaitan dan sifatnya.
Dosa ialah sesuatu yang diharamkan dari segi jenisnya, seperti dusta,
zina, minum khamr dan lain-lainnya. Sedangkan pelanggaran ialah sesuatu
yang diharamkan dari segi porsi dan tambahannya. Pelanggaran artinya
tindakan yang melampaui batas dari apa yang diperbolehkan ke porsi yang
diharamkan dan ukuran yang berlebihan, seperti berlebihan dalam
mengambil hak dari orang yang justru seharusnya dia memberikan hak itu
kepada orang tersebut, entah berupa perampasan hartanya, badan atau
kehormatannya. Jika orang yang dilanggar marah, maka orang yang
melanggar justru lebih marah kepadanya. Jika orang yang dilanggar
mengeluarkan perkataan yang pedas, maka perkataan orang yang
melanggar justru lebih pedas lagi. Ini semua disebut pelanggaran dan
perbuatan yang menyimpang dari keadilan.
Pelanggaran ada dua macam: Pelanggaran terhadap hak Allah, dan
pelanggaran terhadap hak hamba. Pelanggaran terhadap hak Allah seperti
melanggar sesuatu yang diperbolehkan untuk dilakukan, semacam
bersetubuh dengan istri, lalu melakukan persetubuhan dengan selain istri.
Bisa juga berupa pelanggaran apa yang diperbolehkan saat berhubungan
dengan istri, lalu melakukan persetubuhan yang dilarang, seperti menyetubuhi
istri saat haid, nifas, puasa, di dubur dan lain-lainnya.
Pelanggaran juga bisa terjadi terhadap porsi yang diperbolehkan, lalu
melakukannya dengan porsi yang lebih banyak, seperti memandang wanita
yang hendak dilamar, kesaksian, mu'amalah, berobat dan lain-lainnya.


6. Kekejian dan Kemungkaran

Kekejian merupakan sifat dari sesuatu yang disifati, yang artinya
perbuatan atau sesuatu yang keji, yang keburukannya jelas tampak
dihadapan siapa pun dan tidak bisa dipungkiri siapa pun yang pikirannya
masih waras. Maka terkadang kekejian ini juga ditafsiri dengan perbuatan
zina dan homoseks. Allah menyebutnya fahisyah, karena keburukannya
yang tidak mungkin dicegah. Namun perkataan yang buruk juga bisa disebut
kekejian, yaitu perkataan yang jelas tampak keburukannya, seperti
umpatan, tuduhan atau yang sejenisnya.
Sedangkan kemungkaran juga merupakan sifat dari sesuatu yang
disifati, atau perbuatan yang mungkar. Artinya perbuatan yang diingkari
akal dan fitrah. Penisbatan kemungkaran ke akal seperti penisbatan bau
busuk yang sampai ke indera penciuman, pemandangan buruk yang sampai
ke indera penglihatan, makanan tidak enak yang sampai ke indera rasa,
suara sumbang yang sampai ke indera pendengaran. Tentu saja akal dan
fitrah akan menolaknya, karena itu merupakan kekejian, seperti penolakan
setiap indera ini. Yang mungkar menurut akal ialah sesuatu yang tidak
dikenalinya dan tidak bisa diterima. Sedangkan keburukan yang dibenci
dan dihindari adalah kekejian. Karena itu Ibnu Abbas ber-ata, "Kekejian
adalah zina dan kemungkaran adalah sesuatu yang tidak dikenal dalam
syariat dan As-Sunnah."

7. Mengada-adakan terhadap Allah Tanpa Dilandasi Ilmu

Mengatakan terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu merupakan perbuatan
haram yang paling haram dan paling besar dosanya. Maka hal ini
disebutkan pada tingkatan keempat dari perkara-perkara yang diharamkan,
yang pengharamannya telah disepakati berbagai syariat dan agama, dalam
keadaan bagaimana pun tidak diperbolehkan dan apapun bentuknya tetap
haram, tidak seperti bangkai, darah dan daging babi, yang dalam kondisi
tertentu masih diperbolehkan.
Hal-hal yang diharamkan itu ada dua macam: Yang diharamkan
berdasarkan barangnya, tidak diperbolehkan dalam keadaan bagaimana
pun juga, dan yang diharamkan menurut pertimbangan waktunya. Allah
telah menjelaskan di dalam surat Al-A'raf: 33, empat tingkatan hal-hal
yang diharamkan dilihat dari jenis barangnya, dari yang lebih ringan ke
tingkatan berikut yang lebih berat dan lebih besar. Perhatikanlah baik-baik
masalah ini,
"Katakanlah, 'Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang tampak atau pun yang tersembunyi."

Kemudian menanjak ke tingkatan yang lebih besar lagi,

"Perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar."
Kemudian menanjak ke tingkatan yang lebih besar lagi,

"Mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu."

Kemudian menanjak ke tingkatan yang paling besar,

"Mengada-adakan terhadap Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui."

Mengada-adakan sesuatu terhadap Allah merupakan keharaman
yang paling besar dan paling berat dosanya, karena di dalamnya terkandung
kedustaan terhadap Allah, menisbatkan sesuatu yang tidak layak kepada-
Nya, merubah agama-Nya, meniadakan apa yang ditetapkan-Nya dan
menetapkan apa yang ditiadakan-Nya, memusuhi siapa yang ditolong-Nya
dan menolong siapa yang dimusuhi-Nya, mencintai apa yang dibenci-Nya
dan membenci apa yang dicintai-Nya, dan memberikan sifat-sifat yang tidak
layak bagi-Nya terhadap Dzat, sifat, perkataan dan perbuatan-Nya.
Tidak ada jenis hal-hal yang diharamkan yang lebih berat dosanya
daripada mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak diketahui,
sebab ini merupakan cikal bakal syirik dan kufur, dasar bid'ah dan kesesat-an.
Setiap bid'ah yang dianggap sesat dalam agama karena bermula dari
mengada-adakan sesuatu terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu. Karena itu
orang-orang salaf sangat gencar pengingkarannya terhadap bid'ah ini dan
memperingatkan semua orang tentang bahaya-bahayanya. Pengingkaran
mereka terhadap bid'ah jauh lebih keras daripada pengingkaran terhadap
kemungkaran, kekejian, kezhaliman dan pelanggaran, sebab dampak negatif
dari bid'ah terhadap agama juga lebih keras. Allah juga sangat mengingkari
orang yang menisbatkan kepada agama-Nya, dengan menghalalkan atau
mengharamkan sesuatu, yang katanya itu datang dari Allah. Firman-Nya,

"Dan, janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidah kalian secara dusta, 'Ini halal dan ini haram', untuk mengadaadakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (An-
Nahl: 116).

Di antara orang salaf ada yang berkata, "Hendaklah seseorang di
antara kalian waspada untuk mengatakan, 'Allah menghalalkan ini dan
mengharamkan yang itu', lalu Allah berkata kepadanya, 'Engkau dusta,
karena Aku tidak menghalalkan ini dan tidak pula mengharamkan itu'."
Mengada-adakan sesuatu terhadap Allah lebih umum daripada syirik, dan
syirik merupakan bagian dari perbuatan ini. Karena itu kedustaan terhadap
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyeret pelakunya ke neraka.
Semua dosa ahli bid'ah masuk dalam dosa jenis ini, dan taubat darinya
hanya bisa dilakukan dengan taubat dari segala bid'ah. Tapi bagaimana
mungkin pelakunya mau taubat dari bid'ah, sementara dia tidak mau
mengakui bahwa perbuatannya adalah bid'ah?
Taubat Orang Yang Tidak Mampu Memenuhi Hak atau Melaksanakan
Kewajiban Yang Dilanggar
Ini termasuk pernik-pernik hukum taubat dan permasalahannya,
yaitu berkaitan dengan orang yang melanggar hak, namun ternyata dia
juga tidak mampu memenuhi hak itu. Karenanya dia bertaubat. Lalu bagaimana
hukum taubatnya?
Hal ini dikaitkan dengan hak Allah dan hak hamba. Kaitannya dengan
hak Allah seperti orang yang meninggalkan shalat fardhu secara sengaja
dan tanpa ada alasan yang diperbolehkan, padahal dia juga tahu
kewajibannya. Lalu dia bertaubat dan menyesal. Orang-orang salaf saling
berbeda pendapat tentang masalah ini.
Ada golongan yang mengatakan, taubatnya dengan cara menyesali
tindakannya, melaksanakan kewajiban-kewajiban pada masa berikutnya
dan mengqadha' kewajiban yang ditinggalkan. Ini merupakan pendapat
empat imam dan juga lain-lainnya.
Ada pula yang berpendapat, taubatnya dengan melaksanakan kewajiban
pada masa mendatang dan qadha'nya terhadap kewajiban yang
pernah ditinggalkan tidak memberikan manfaat apa-apa, tidak diterima dan
tidak wajib. Ini merupakan pendapat Az-Zhahir dan sebagian orang-orang
salaf.
Hujjah golongan yang mewajibkan qadha' adalah sabda Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Barangsiapa tertidur dan ketinggalan mendirikan shalat atau melalaikannya,
maka hendaklah dia mendirikannya jika sudah mengingatnya."

Inilah beberapa hujjah yang dikemukakan golongan kedua:
- Jika qadha' diwajibkan terhadap orang yang tertidur dan lalai, yang
berarti dia tidak sengaja meninggalkannya, maka kewajiban qadha'
jauh lebih ditekankan terhadap orang yang sengaja meninggalkannya.
- Ada dua macam kewajiban yang harus dia tanggung: Shalat dan
pelaksanaannya pada waktunya. Jika salah satu ditinggalkan, maka
kewajiban yang ditinggalkan masih menyisa satu lagi.
- Jika seorang hamba tidak mendapatkan kemaslahatan perbuatan, maka
dia bisa mendapatkannya menurut cara yang dimungkinkan. Karena dia
tidak memperoleh kemaslahatan perbuatan pada waktu yang telah
ditetapkan, maka dia bisa mendapatkannya dengan cara yang dimungkinkan,
yaitu di luar waktunya.
- Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apabila aku
memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka kerjakanlah
menurut kesanggupan kalian." Pelaksanaan apa yang diperintahkan ini
bisa dilakukan di luar waktu, karena pelakunya tidak bisa
melaksanakan-nya pada waktu yang telah ditetapkan. Maka dia tetap
harus melaksa-nakannya menurut kesanggupannya.
- Apa anggapan orang terhadap syariat, karena ia membebaskan orang
yang sengaja meninggalkan fardhu dan durhaka kepada Allah untuk
meninggalkan fardhu itu, sementara ia mewajibkannya kepada orang
meninggalkan fardhu itu dengan alasan tertidur atau lalai?
- Shalat di luar waktu merupakan pengganti daripada shalat pada waktunya.
Jika ibadah ada penggantinya dan ada alasan dari apa yang
diganti, maka apa yang diwajibkan bisa beralih kepada penggantinya,
seperti tayammum sebagai pengganti wudhu', memberi makan orang
miskin sebagai pengganti dari keharusan puasa, dan masih banyak
contoh lain.
- Karena shalat itu merupakan hak yang ada batasan waktunya, maka
penundaan pelaksanaannya tidak dianggap gugur kecuali dengan segera
melaksanakannya di luar waktu, seperti hutang yang ditangguhkan
pembayarannya.
- Memang dia tetap berdosa karena penundaannya, dan dosa ini tidak
gugur karena qadha', seperti orang yang menunda pembayaran zakat
dari waktu yang diwajibkan atau menunda pelaksanaan haji.
- Orang yang meninggalkan shalat Jum'at secara sengaja, maka dia
adalah orang yang durhaka karena penundaannya. Maka dia harus
mendirikan shalat zhuhur. Pengaitan zhuhur ini dengan Jum'at, sama
dengan pengaitan pelaksanaan shalat subuh setelah matahari terbit
dengan pelaksanaannya sebelum matahari terbit.
- Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menunda shalat ashar hingga
setelah matahari terbenam pada waktu perang Ahzab. Ini menunjukkan
bahwa pelaksanaannya dimungkinkan di luar waktu secara sengaja,
entah karena ada alasan seperti ini dan juga yang dilakukan para
shahabat sewaktu perang Bani Quraizhah, atau pun tanpa ada alasan
seperti orang yang menundanya secara sengaja.
- Andaikan shalat di luar waktu itu tidak sah dan tidak wajib, tentunya
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan para shahabat
untuk shalat kecuali setelah tiba di perkampungan Bani Quraizhah. Maka
di antara mereka ada yang mengerjakan shalat ashar pada malam harinya,
sementara beliau tidak menghardik mereka.
- Setiap orang yang bertaubat mempunyai jalan untuk bertaubat. Lalu
mengapa jalan taubat ini harus ditutup dan dosa kesia-siaan harus
ditanggungnya? Tentu saja hal ini tidak sejalan dengan kaidah syariat,
hikmah dan rahmatnya, yang sangat memperhatikan kemaslahatan
hamba di dunia dan di akhirat.
Dan, inilah hujjah-hujjah yang dikemukakan golongan lainnya, yang
mengatakan bahwa qadha' itu tidak ada artinya, beserta sanggahan terhadap
hujjah golongan yang pertama:
- Jika ada perintah ibadah dengan sifat dan waktunya yang tertentu,
maka orang yang mendapat perintah tidak boleh melaksanakannya
kecuali menurut ketentuan yang diperintahkan, yang mencakup sifat,
waktu dan syaratnya.
- Mengeluarkan shalat dari waktu yang telah ditentukan sama seperti
mengeluarkan shalat itu dari keharusan menghadap kiblat, sujud pada
pipi sebagai ganti kening dan lain-lainnya.
- Ibadah yang sudah ada ketentuan waktunya, sama dengan ibadah yang
sudah ada ketentuan tempatnya. Satu tempat tidak bisa menggantikan
tempat lainnya, seperti tempat-tempat manasik haji. Thawaf di
sekeliling Ka'bah tidak bisa dialihkan ke Arafah atau tempat lainnya.
Begitu pula yang lainnya, dan begitu pula dengan ketentuan waktu
setiap ibadah. Memindahkan waktu shalat yang sudah ditetapkan ke
waktu lain, seperti memindahkan waktu wuquf di Arafah ke Muzdalifah
pada waktu yang lain, dan memindahkan bulan haji ke bulan lainnya.
- Orang-orang yang mengesahkan pelaksanaan shalat fardhu di luar
waktunya (secara sengaja) tidak didukung nash, ijma' maupun qiyas
yang benar. Kami juga akan menggugurkan semua qiyas yang mereka
pergunakan dan kami juga akan menjelaskan ketidak akuratannya.
- Di dalam Musnad Al-Imam Ahmad dan juga lainnya disebutkan dari
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, beliau bersabda, "Barangsiapa tidak puasa sehari pada bulan
Ramadhan tanpa ada alasan, maka dia tidak perlu mengqadha'nya
dengan puasa setahun penuh." Lalu bagaimana mungkin mereka yang
mengatakan bahwa dia harus mengqadha' sehari seperti yang
ditinggalkannya?
- Karena ibadah yang sah seperti yang dijelaskan pembawa syariat, maka
tidak ada yang bisa diketahui tentang sah tidaknya kecuali berdasarkan
pengabaran beliau dan yang sesuai dengan perintah beliau. Maka
bagaimana mungkin mereka bisa mengklaim sahnya shalat itu?
- Sah atau tidak sah itu merupakan dua hukum syariat, yang dikembalikan
kepada pembawa syariat. Yang sah adalah yang dipersaksikan bahwa
memang ibadah itu sah atau diketahui sejalan dengan perintahnya.
Sementara shalat fardhu yang sengaja ditinggalkan ini tidak sejalan
dengan kaidah ini. Letak kesalahannya, karena mereka membandingkannya
dengan penundaan shalat karena memang ada alasan
yang diperbolehkan. Dengan kata lain, mereka membandingkan
sesuatu justru dengan sesuatu yang berlawanan. Berarti ini merupakan
qiyas yang tidak sah.
- Dalil yang mereka pergunakan, yaitu sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, "Barangsiapa tertidur dan ketinggalan mendirikan shalat atau
melalaikannya, maka hendaklah dia mendirikannya jika sudah
mengingatnya", bahwa qadha' diwajibkan terhadap orang yang
meninggalkan shalat karena alasan tertentu, sehingga siapa yang
meninggalkannya justru lebih wajib, ini merupakan hujjah yang justru
menjadi bumerang. Beliau mensyaratkan dua alasan meninggalkan
pelaksanaan shalat itu hingga setelah lewat dari waktunya, yaitu tertidur
dan lalai. Sesuatu yang digantungkan kepada syarat, akan dianggap tidak
ada jika syaratnya juga tidak ada. Berarti qiyas yang seharusnya mereka
pergunakan ialah membandingkannya dengan orang durhaka yang layak
mendapat hukuman.
- Waktu shalat bisa dibagi menjadi tiga macam: Pertama, waktu bagi
orang yang mampu, terjaga, ingat dan tidak ada rintangan, yang
jumlahnya ada lima. Kedua, waktu bagi orang yang ingat, terjaga dan ada
rintangan, yang jumlahnya ada tiga: Waktu zhuhur dan ashar, maghrib
dan isya' dan subuh. Ketiga, waktu bagi orang yang tidak dianggap
mukallaf, yaitu karena tertidur dan lalai. Yang ketiga ini tidak ada
batasannya sama sekali. Waktunya ialah setelah dia terjaga dan ingat.
Tidak ada waktu shalat selain yang tiga macam ini.
- Menurut hujjah golongan yang pertama, bahwa ada dua kewajiban
yang ditanggungnya, yaitu shalat dan pelaksanaannya pada waktunya.
Jika satu ditinggalkan, maka akan menyisakan satunya lagi. Yang seperti
ini berlaku jika yang satu tidak berkait dengan satunya lagi dalam kaitan
syarat, seperti orang yang diperintahkan untuk menunaikan haji dan
zakat. Jika satu dikerjakan, tidak akan menggugurkan satunya lagi. Tapi
jika salah satu merupakan syarat bagi yang lain, maka bagaimana mungkin
dia diperintahkan untuk mengerjakan yang satu tanpa yang lainnya?
- Tentang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Apabila aku memerintahkan
kalian dengan suatu perintah, maka kerjakanlah menurut
kesanggupan kalian", terlalu jauh untuk dijadikan hujjah. Sabda beliau
ini menunjukkan bahwa orang yang mukallaf dalam keadaan tidak mampu
untuk mengerjakan sejumlah perintah, sehingga dia cukup mengerjakan
apa yang disanggupinya, seperti orang yang tidak mampu berdiri
sewaktu shalat, atau menyempurnakan anggota wudhu', atau
menginfakkan harta yang wajib diinfakkan, atau lain-lainnya, sehingga
dia bisa mengerjakannya menurut kesanggupannya dan dia dimaafkan
tentang apa yang ada di luar kesanggupannya. Tapi orang yang tidak
melaksanakan apa yang diperintahkan hingga keluar dari waktunya
secara sengaja atau meremehkannya tanpa ada alasan, maka tidak perlu
dibicarakan lagi di sini, karena permasalahannya sudah jelas.
- Perkataan golongan pertama, "Apa anggapan orang terhadap syariat,
karena ia membebaskan orang yang sengaja meninggalkan fardhu dan
durhaka kepada Allah untuk meninggalkan fardhu itu, sementara ia
mewajibkannya kepada orang meninggalkan fardhu itu dengan alasan",
sulit diterima. Karena orang yang berhalangan melaksanakan shalat itu
melaksanakannya sesuai dengan perintah seperti pada saat-nya.
- Perkataan golongan pertama, "Shalat di luar waktu merupakan pengganti
daripada shalat pada waktunya. Jika ibadah ada penggantinya dan
ada alasan dari apa yang diganti, maka apa yang diwajibkan bisa beralih
kepada penggantinya", hanya sekedar isapan jempol dan pernyataan
yang dibuat sepintas lalu saja. Apa dalil yang menunjukkan bahwa shalat
orang yang mengabaikan itu ada penggantinya? Sesuatu dianggap
sebagai pengganti bisa diketahui dari apa yang ditetapkan syariat,
seperti pensyariatan tayammum saat tidak sanggup menggunakan air
dan makan saat tidak kuat berpuasa.
- Mengerjakan shalat di luar waktunya dianggap sah, yang diqiyaskan
kepada pembayaran hutang di antara manusia, yang dianggap sah jika
dilaksanakan di luar waktu yang telah ditetapkan, jelas merupakan
qiyas yang tidak tepat. Sebab waktu pembayaran hutang tidak memiliki
batasan seperti halnya shalat.
- Tentang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menunda shalat ashar
hingga setelah tenggelamnya matahari sewaktu perang Ahzab, maka
ada dua pendapat di antara para ulama, apakah hal ini mansukh (dihapus)
atau tidak? Jumhur, seperti Ahmad, Asy-Syafi'y dan Malik berpendapat,
ini terjadi sebelum turunnya shalat khauf. Karena itu masalah
ini pun dianggap hangus dengan datangnya shalat khauf. Penundaan
itu mirip dengan penundaan karena ada dua shalat yang dijama'. Jadi
tidak shalat ashar pada waktunya jangan dianggap sama dengan sesuatu
yang diharamkan. Pendapat kedua mengatakan bahwa kejadian
ini tidak dihapus. Orangyang sedang berperang mempunyai hak untuk
menunda shalatnya, karena dia sibuk dengan urusan peperangan, lalu
mengerjakannya pada saat yang memungkinkan. Ini merupakan
pendapat Abu Hanifah dan juga ada riwayat dari Ahmad. Berdasarkan
dua pendapat ini, maka menunda shalat dengan sengaja tidak diang
gap sah.
Begitu pula yang dilakukan para shahabat saat menunda shalat ashar
sewaktu perang Bani Quraizhah. Bahkan penundaan itu berdasarkan
perintah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini menurut
pendapat Ahli Zhahir. Sementara ada pula yang menganggap penundaan
itu memerlukan ta'wil. Karena itu beliau tidak menghardik salah
satu pihak di antara para shahabat.
- Tentang perkataan golongan pertama, "Setiap orang yang bertaubat
mempunyai jalan untuk bertaubat. Lalu mengapa jalan taubat ini harus
ditutup dan dosa kesia-siaan harus ditanggungnya?", tentu saja tidak
mungkin bagi Allah untuk menutup pintu yang telah dibukakan-Nya
bagi semua hamba yang berdosa, hingga mereka meninggal dunia,
semenjak matahari terbit dari tempat tenggelamnya. Tapi yang perlu
dipertimbangkan adalah cara taubat dan penerapannya. Apakah jelas
ada kepastian hukum bahwa shalat itu memang perlu diqadha' dan
apa yang telah dilakukannya itu dianggap angin lalu, bukan merupa
kan pahala baginya dan bukan merupakan dosa di pundaknya? Apa
kah hukumnya seperti orang kafir yang masuk Islam, sehingga amalnya
dianggap tidak ada dan taubatnya langsung diterima?

Sedangkan taubat orang yang tidak sanggup memenuhi hak, yang
berkaitan dengan hak manusia, bisa digambarkan lewat beberapa masalah
berikut ini.

Pertama: Seseorang mengambil harta orang lain, kemudian pada
kesempatan lain dia bertaubat namun tidak mampu mengembalikan apa
yang telah diambilnya itu kepada pemiliknya atau kepada ahli warisnya,
karena dia tidak mengenal mereka atau alasan lainnya. Ada perbedaan
pendapat dalam masalah ini.
Ada golongan yang berpendapat, taubatnya tidak berarti sama sekali
kecuali dengan mengembalikan hak kepada orang yang berhak menerimanya.
Jika dia tidak sanggup, maka taubatnya juga tidak bisa diterima.
Maka pada hari kiamat nanti akan diberlakukan qishash berdasarkan
kebaikan dan keburukannya.
Menurut pendapat mereka, karena hal ini berkait dengan hak manu-sia
yang lepas darinya. Sementara Allah tidak membiarkan sedikit pun di antara
hak-hak hamba, sehingga sebagian memenuhi hak itu terhadap sebagian
yang lain, tidak ada kezhaliman orang yang zhalim. Orang yang dizhalimi
harus mengambil hak dari orang yang menzhaliminya, seka-lipun itu
hanya berupa satu tamparan, serangan kata-kata atau lemparan kerikil.
Cara lain yang bisa dilakukan orang yang zhalim ialah dengan
memperbanyak kebaikan, agar dia dapat memenuhi hak yang telah dirampasnya
pada hari yang harta tidak bermanfaat apa-apa. Dia harus berbis-nis
agar dapat memenuhi hak. Ada pula yang sangat bermanfaat baginya, yaitu
bersabar jika kemudian dia dizhalimi orang lain, disakiti, digunjing dan
dituduh macam-macam. Dia tidak perlu meminta haknya di dunia dan
tidak perlu membalasnya, supaya kebaikannya tidak habis. Sebab selagi
dia menuntut pemenuhan hak, maka keduanya dalam posisi yang sama.
Ada perbedaan pendapat tentang harta yang ada di tangannya. Segolongan
orang mengatakan, harta itu harus dibekukan dan tidak boleh
dipergunakanuntukkeperluanapapun. Golonganlainberpendapat, harta itu
diserahkan kepada penguasa atau kepada wakil yang sudah ditunjuk,
menunggu sampai menemukan ahli warisnya. Jadi hukumnya seperti
harta yang hilang.

Kedua: Jika seseorang mengambil hak orang lain, lalu dia bertaubat
dan ingin mengembalikan hak itu, namun dia tidak mampu. Kemudian ada
orang lain yang sanggup membantunya, namun bantuannya berasal dari
harta yang haram, seperti dari hasil melacur, bernyanyi, menjual khamr
dan lain-lainnya. Sementara uang ganti rugi itu masih ada di tangannya.
Maka bagaimana hukumnya?
Segolongan orang berpendapat, dia harus mengembalikan harta itu
kepada pemiliknya, karena dia tidak berhak menerimanya kecuali menurut
ketentuan yang diperbolehkan syariat. Ada pula yang berpendapat, uang itu
harus dishadaqahkan.

Ketiga: Seseorang mengambil harta, lalu pemiliknya meninggal dunia,
sehingga dia tidak bisa mengembalikan lagi kepada pemiliknya. Seperti
yang sudah ditentukan, dia harus menyerahkannya kepada ahli warisnya. Jika
ahli warisnya juga sudah meninggal dunia, maka dia harus menyerahkan
kepada ahli waris berikutnya. Begitu seterusnya. Jika dia tidak bisa
mengembalikan kepada pemiliknya atau pun kepada salah seorang ahli
warisnya, siapakah yang berhak menuntut di akhirat? Apakah pemilik
aslinya ataukah ahli warisnya yang menerima pengalihan hak itu?
Ada dua pendapat di kalangan fuqaha' dan dua pendapat dalam
madzhab Asy-Syafi'y Namun pertanyaan ini dapat dijawab sebagai berikut:
Penuntutan itu menjadi hak pewaris yang menjadi pemilik asli dan juga hak
masing-masing ahli waris, karena mereka semua mempunyai hak untuk
itu. Orang yang mengambil tetap berkewajiban mengembalikan-nya. Jika
tidak mengembalikan, berarti dia telah berbuat zhalim. Maka di akhirat dia
akan dituntut atas hak tersebut.
Lalu bagaimanakah caranya bertaubat agar dia terbebas dari tuntutan
mereka?
Ada yang berpendapat, caranya dengan menshadaqahkan harta itu
atas nama pemilik aslinya dan ahli warisnya, sehingga harta itu terus
berkembang manfaatnya dan mendatangkan pahala bagi mereka, sesuai
dengan manfaat yang seharusnya mereka peroleh dari harta tersebut.

Tiada ulasan: