Oleh Ibn Qayyim Al Jauziyah
Seorang hamba
tidak berhak mendapat sebutan "Orang yang bertaubat"
kecuali
setelah dia membebaskan diri dari perkara-perkara yang
harus
dimintakan ampunan, yang jenisnya ada dua belas, seperti yang
disebutkan di
dalam Kitab Allah, yang semuanya merupakan jenis-jenis
perkara yang
diharamkan, yaitu: Kufur, syirik, nifaq, fusuk, kedurhakaan,
dosa,
pelanggaran, kekejian, kemungkaran, aniaya, mengeluarkan perkataan
terhadap Allah
tanpa dilandasi ilmu dan mengikuti selain jalan
orang-orang
Mukmin.
Dua belas
jenis ini merupakan poros dari berbagai macam perkara
yang
diharamkan Allah. Pada diri seseorang ada beberapa perkara dari
jenis-jenis
ini, dalam jumlah yang lebih banyak atau lebih sedikit, atau
hanya ada satu
saja, dan bisa jadi dia mengetahuinya atau bisa jadi dia tidak
mengetahuinya.
Sementara at-taubatun-nashuh ialah membebaskan diri
dari
perkara-perkara ini, melindungi diri dan wawas diri agar tidak terseret
kepadanya.
Tapi yang bisa membebaskan diri darinya ialah orang yang
mengetahuinya.
Saya perlu menguraikan masing-masing jenis dan cabangcabangnya,
agar ada
kejelasan batasan dan hakikatnya.
Uraian ini
termasuk uraian yang paling banyak manfaatnya dari
keseluruhan
kandungan buku ini, dan setiap hamba sangat
membutuhkannya.
1. Kufur
Kufur ada dua
macam: Kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar
mengakibatkan
kekekalan di dalam neraka, sedangkan kufur kecil layak
mendapatkan
ancaman siksa dan tidak mengakibatkan kekekalan di dalam
neraka,
seperti yang disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
yaitu mencela
nasab, meratapi orang yang meninggal dunia, menyetu-buhi
istri pada
duburnya, mendatangi dukun dan peramal, yang semuanya disebut
dengan istilah
kufur, atau seperti firman Allah,
"Dan, barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka merekalah
orang-orang yang kufur." (Al-
Maidah:44).
Menurut Ibnu
Abbas dan Thawus, ini merupakan kufur yang tidak
mengeluarkan
pelakunya dari agama. Tapi siapa yang melakukannya layak
mendapat
sebutan kufur, tidak seperti kufur kepada Allah dan hari akhirat."
Atha'
menyebutnya kufur tidakseperti kufuryang semestinya, zhalim
tidak seperti
zhalim yang semestinya, fusuk tidak seperti fusuk yang semestinya.
Ada yang
mena'wili ayat ini sebagai berikut: Tidak memutuskan
perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, karena mengingkarinya. Ada
pula yang
mena'wilinya sebagai berikut: Tidak memutuskan perkara menurut
semua
ketetapan yang diturunkan Allah. Ada pula yang mena'wilinya
sebagai
berikut: Memutuskan perkara secara sengaja dan bukan karena tidak
tahu dan bukan
kesalahan ta'wil, menurut ketetapan yang bertentangan
dengan nash.
Ada pula yang menganggapnya sebagai kufur yang
mengeluarkan
pelakunya dari agama.
Pendapat yang
benar, memutuskan perkara tidak menurut apa yang
diturunkan
Allah bisa berarti dua jenis kufur, kecil dan besar, tergantung
dari keadaan
pelakunya. Siapa yang meyakini keharusan memutuskan
perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, namun dia menyimpang
darinya karena
durhaka, sementara dia juga mengakui bahwa dia layak
mendapat
hukuman, maka ini disebut kufur kecil. Jika dia yakin bahwa itu
merupakan
hukum Allah, namun dia yakin bahwa penerapannya tidak wajib
dan boleh
memilih yang lain, maka ini disebut kufur besar.
Kufur besar
ada lima macam: Takdzib, istikbar, i'radh, syakk, nifaq.
Kufur takdzib
ialah keyakinan terhadap kedustaan para rasul. Tapi yang
termasuk jenis
ini jarang terjadi di kalangan orang-orang kafir. Kufur istikbar
atau iba' ialah
seperti kufurnya Iblis. Dia tidak mengingkari adanya perintah
Allah, namun
dia tidak patuh karena rasa takabur di dalam dirinya. Yang
termasuk jenis
ini adalah kufurnya orang yang mengakui kebenaran para
rasul, namun
dia tidak mau mengikutinya karena rasa takabur. Ini adalah
kufurnya
musuh-musuh para rasul, seperti kufurnya Fir'aun dan para
pengikutnya dan
kufurnya Abu Thalib. Kufur i'radh artinya berpaling dari
Rasul dengan
pendengaran atau hatinya, tidak membenarkan dan tidak
pula
mendustakan, tidak menolong dan tidak pula me-musuhinya serta
tidak peduli
terhadap apa yang dibawanya, seperti kata seseorang dari Bani
Abdi Yalail
kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Demi Allah, aku
akan
mengatakan satu kalimat kepadamu, jika engkau benar, maka engkau
lebih mulia
untuk kutolak, dan jika engkau dusta, maka engkau lebih hina
daripada aku
harus berbicara denganmu." Kufur syakk artinya tidak pernah
memiliki
kemantapan hati untuk membenarkan atau mendustakan rasul,
tapi selalu
ada keragu-raguan dalam dirinya. Keragu-raguan ini akan terus
membayang jika
dia tidak mau melihat bukti-bukti kebenaran Rasululullah,
tidak mau
mendengar dan tidak mau mem-perhatikannya. Padahal kejelasan
bukti ini
seperti kejelasan matahari pada siang hari. Kufur nifaq artinya
memperlihatkan
iman dengan lisannya, namun memendam pendustaan di
dalam hatinya.
Ini merupakan nifaq yang paling besar, dan di bagian
mendatang akan
diuraikan macam-macamnya.
2. Syirik
Syirik ada dua
macam: Besar dan kecil. Syirik besar tidak akan diampuni
Allah kecuali
dengan taubat, yaitu membuat tandingan bagi Allah,
pelakunya
mencintai tandingan ini seperti cintanya kepada Allah. Ini
merupakan
syirik seperti syiriknya orang-orang musyrik yang menyama-kan
sesembahannya
dengan Allah Rabbul- 'alatnin. Sementara mereka tetap
mengakui bahwa
hanya Allah semata yang menciptakan segala sesuatu,
penguasa dan
rajanya, sementara sesembahan mereka tidak mampu
mencipta,
memberi rezki, menghidupkan dan mematikan. Penyamaan ini
hanya dalam
kecintaan, pengagungan dan penyembahan, seperti keadaan
mayoritas
orang-orang musyrik di mana pun jua, atau bahkan setiap orang
musyrik.
Mereka mencintai, mengagungkan, memuja dan membela
sesembahannya
selain Allah itu, dan bahkan mereka lebih mencintainya
daripada cinta
mereka kepada Allah. Mereka lebih marah jika
sesembahannya
dicaci daripada kemarahan mereka jika Allah dicaci.
Begitulah
keadaan para penyembah berhala, yang menjadikan bebatu-an,
pepohonan atau
benda mati apa pun sebagai sesuatu yang dipuja-puja.
Allah befirman
tentang para pendahulu orang-orang musyrik,
"Dan, orang-orang yang mengambil
pelindung selain Allah (berkata),
'Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan
kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya'." (Az-Zumar: 3).
Mereka merasa
yakin di dalam hati bahwa sesembahan-sesembahan
itu akan
memberi syafaat (pertolongan) kepada mereka di sisi Allah. Maka
Allah
menyanggah anggapan mereka ini, bahwa semua syafaat ada di Tangan
Allah. Tak
seorang pun bisa memberi syafaat di sisi-Nya kecuali setelah
mendapat izin
Allah untuk memberikan syafaat, yang perkataan dan
perbuatannya
diridhai, dan mereka ini adalah ahli tauhid. Syafaat yang
ditetapkan
Allah dan Rasul-Nya adalah syafaat yang keluar dari izin-Nya. Di
antara
kebodohan orang musyrik ialah keyakinannya bahwa siapa yang
dijadikannya
sebagai penolong atau pemberi syafaat, bisa memberi syafaat
dan manfaat kepadanya
di sisi Allah, seperti lazimnya pertolongan yang
diberikan para
pemimpin dan penguasa terhadap rakyat-nya. Mereka tidak
sadar bahwa
siapa pun tidak akan bisa memberi syafaat di sisi Allah kecuali
yang mendapat
izin-Nya. Sementara tak seorang pun yang diberi izin oleh
Allah kecuali
yang perbuatan dan perkataannya diridhai Allah.
Sedangkan
syirik kecil seperti sedikit riya', mencari muka di hadapan
manusia,
bersumpah dengan selain Allah, perkataan seseorang kepada
orang lain,
"Menurut kehendak Allah dan kehendakmu", atau perkataannya,
"Ini
berasal dari Allah dan darimu", atau perkataannya, "Aku
bergantung
kepada Allah dan juga kepadamu", atau perkataannya, "Kalau
bukan dirimu,
tentu hal ini tidak akan terjadi". Tapi perkataan seperti ini
bisa berubah menjadi
syirik besar, tergantung kepada siapa yang
mengatakannya
dan apa tujuannya.
Macam-macam
syirik ini banyak sekali dan hampir tak terhitung
banyaknya,
yang tidak cukup bila disebutkan satu-persatu di sini.
3. Nifaq
Nifaq
merupakan penyakit yang tersembunyi di dalam batin, yang
bisa memenuhi
seluruh batin dan hatinya, sementara dia tidak menyadarinya,
sebab hal ini
tidak bisa diketahui orang lain. Nifaq ini tersembunyi
karena
keadaannya yang samar-samar. Dia mengira nifaq itu bagus, tapi
ternyata merusak.
Nifaq ada dua
macam: Besar dan kecil. Nifaq yang besar mengakibatkan
kekekalan di
dalam neraka dan berada di lapisan paling bawah.
Gambarannya,
orang munafik menampakkan iman kepada Allah, para
malaikat,
kitab, para rasul dan hari akhirat di hadapan orang-orang Muslim,
padahal di
dalam batinnya dia tidak memiliki iman itu. Dia tidak beriman
bahwa Allah
menurunkan wahyu kepada manusia yang dijadikan-Nya
sebagai rasul,
yang memberi petunjuk, peringatan dan ancaman.
Allah telah
menyibak tabir orang-orang munafik dan mengungkap
rahasia mereka
di dalam Al-Qur'an. Perkara mereka dijelaskan di hadapan
orang lain,
agar menjadi peringatan. Di awal surat Al-Baqarah disebutkan tiga
macam golongan
manusia yang ada di dunia ini, yaitu: Orang-orang
Mukmin,
orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Empat ayat tentang
orang-orang
Mukmin, dua ayat tentang orang-orang kafir dan tiga belas
ayat tentang
orang-orang munafik. Ayat tentang mereka lebih banyak
jumlahnya,
karena jumlah mereka yang cukup banyak dan cobaan yang
mereka
akibatkan lebih menyeluruh serta lebih membahayakan Islam dan
para
pemeluknya. Cukup berat cobaan yang harus ditanggung Islam, karena
mereka
menisbatkan diri kepada Islam, menunjukkan loyalitas kepada
Islam, padahal
hakikatnya mereka adalah musuh Islam.
Demi Allah,
berapa banyak orang yang seakan membela Islam,
padahal
sebenarnya dia menghancurkan Islam. Berapa banyak orang yang
membangun
fondasi benteng, padahal sebenarnya dia merusaknya. Islam
dan para
pemeluknya senantiasa dalam intaian bahaya karena keberadaan
mereka.
Inilah
gambaran keadaan mereka yang disebutkan secara berurutan
dalam surat
Al-Baqarah, dari ayat 8 hingga ayat 20:
Ayat 8: Mereka
mengenakan pakaian iman, sedang di dalam hatinya ada
perasaan sesal
dan merugi, dusta dan pengingkaran. Lidah mereka
lidah orang
yang pasrah, sedang batin mereka lebih dekat dengan
orang-orang
kafir.
Ayat 9 : Modal
mereka adalah tipuan dan makar. Barang dagangan mereka
kedustaan dan
pengkhianatan. Mereka mempunyai logika agar
tetap eksis,
yaitu memperlihatkan keridhaan kepada kedua belah
pihak,
sehingga mereka tetap merasa aman.
Ayat 10:
Penyakit syubhat dan syahwat menyusup ke dalam hati mereka
lalu
merusaknya. Maksud yang buruk menguasai kehendak mereka
dan niat
mereka rusak, lalu menyeret mereka kepada kebinasaan
yang tidak
bisa diobati oleh dokter.
Ayat 11 &
12: Siapa yang bejana imannya disusupi keragu-raguan mereka,
maka imannya
akan tercabik-cabik, siapa yang pendengarannya
dipengaruhi
syubhat kesamar-samaran mereka, maka keyakinan di
dalam hatinya
akan hilang, karena kerusakan mereka di muka
bumi amat
ba-nyak, namun mereka tidak mau mengakuinya.
Ayat 13:
Seseorang yang berpegang kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam
pandangan
mereka adalah orang yang berpegang kepada benda
mati, dianggap
kurang beres akalnya. Orang yang
melaksanakan nash
menurut pandangan mereka seperti keledai
yang membawa
kitab suci. Dagangan pedagang wahyu menurut
pandangan
mereka tidak laku dan mereka tidak mau
menerimanya.
Orang yang mengikuti Rasul menurut pandangan
mereka termasuk
orang-orang bodoh, dan mereka akan mengejeknya.
Ayat 14:
Masing-masing di antara mereka mempunyai dua wajah. Wajah
saat
berhadapan dengan orang-orang Mukmin, dan satu wajah
lagi saat
mereka berkumpul dengan rekan-rekan segolongannya.
Mereka juga
mempunyai dua lidah, satu lidah dipergunakan jika
bersama
orang-orang Muslim, dan satu lidah lagi dipergunakan
untuk
menerjemahkan rahasia yang terpendam di dalam hati
mereka.
Ayat 15:
Mereka berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah, karena hen-dak
mengolok-olok
dan mengejek orang-orang yang berpegang
kepada
keduanya.
Ayat 16:
Mereka keluar mencari perniagaan yang sia-sia di tengah lautan
kegelapan,
sambil naik perahu keragu-raguan dan berlayar di tengah
gelombang
hayalan yang tidak pasti. Perahu mereka pun
terom-bang-ambing
dihembus badai hingga mereka pun
terhempas
dalam kebinasaan.
Ayat 17: Api
iman menyala di dekat mereka sehingga dengan ca-hayanya
mereka bisa
melihat tempat-tempat yang berdasarkan petunjuk
dan tempat
yang menyesatkan. Tapi kemudian cahayanya
padam dan
tinggal setitik api yang kadang menyala dan kadang
tidak,
sehingga mereka tersiksa dengan keadaan itu, kemudian
mereka sama
sekali tidak bisa melihat.
Ayat 18:
Pendengaran, penglihatan dan lidah mereka sudah tertu-tup
kerak,
sehingga mereka tidak bisa mendengar seruan iman, tidak
bisa melihat
hakikat Al-Qur'an dan tidak bisa mengatakan
kebenaran.
Ayat 19: Hujan
wahyu turun kepada mereka, yang di dalamnya ter-hadap
kehidupan bagi
hati dan ruh. Tapi yang mereka dengar dari hujan
itu hanya
suara petir peringatan, ancaman dan kewajiban yang
dibebankan
kepada mereka setiap pagi dan petang. Maka
mereka
menyumbatkan jari ke lubang telinga mereka dan
merekapun
lari.
Ayat 20: Dalam
hujan lebat itu mereka tidak bisa melihat hanya dengan
mengandalkan
kilat yang menyambar, dan pendengaran mereka
tidak mampu
mendengar petir janji, perintah dan larangan.
Mereka pun
berdiri dalam keadaan bingung di hamparan tanah
yang kering
kerontang.
Masih banyak
sifat orang-orang munafik lainnya dan penggambar-an
tentang diri
mereka yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sun-nah.
4. Fusuk dan Kedurhakaan
Fusuk
disebutkan dalam dua macam dalam Al-Qur'an: Fusuk yang
disebutkan
sendirian, dan fusuk yang dikaitkan dengan kedurhakaan.
Yang
disebutkan sendirian ada dua macam: Fusuk kufur yang mengeluar-kan
pelakunya dari
Islam, dan fusuk yang tidak mengeluarkannya dari Islam.
Fusuk kufur
seperti firman Allah,
"Dan, adapun orang-orang yang
fasik, maka tempat mereka adalah
neraka. Setiapkali mereka hendak keluar
daripadanya, mereka
dikembalikan (lagi) ke dalamnya." (As-Sajdah: 20).
Sedangkan
fusuk yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam
seperti firman
Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti." (Al-Hujurat: 6).
Ayat ini turun
berkenaan dengan Al-Walid bin Uqbah bin Abu
Mu'aith yang
memanipulasi berita.
Fusuk yang
dikaitkan dengan kedurhakaan ialah melakukan apa
yang dilarang
Allah. Kedurhakaan di sini artinya mendurhakai perintah.
Penggunaan
lafazh fusuk lebih tertuju kepada pelaksanaan apa yang
dilarang,
sedangkan kedurhakaan lebih tertuju kepada menyalahi dan
melanggar
perintah. Namun melakukan apa yang dilarang juga bisa berarti
kedurhakaan
jika kata ini disebutkan sendirian. Jika disertakan dengan
kata yang
lain, maka pengertiannya seperti di atas.
Fusuk
keyakinan ialah seperti fusuknya ahli bid'ah. Mereka beriman
kepada Allah,
Rasul-Nya hari akhirat, mengharamkan apa yang diharamkan
Allah,
melaksanakan apa yang diwajibkan Allah, tetapi mereka
meniadakan sekian
banyak ketetapan Allah dan Rasul-Nya, entah kare-na
kebodohan,
ta'wil atau taqlid kepada guru, lalu mereka menetapkan
sesuatu yang
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Taubat dari
fusuk ialah dengan menetapkan bagi dirinya seperti
yang
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, tanpa merubah atau pun mengganti.
5. Dosa dan Pelanggaran
Dosa dan
pelanggaran merupakan pasangan, seperti firman-Nya,
"Dan, tolong-menolonglah kalian
dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan janganlah kalian
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran." (Al-Maidah: 2).
Jika
masing-masing dipisahkan, maka yang satu mencakup yang
lainnya, sebab
setiap dosa merupakan pelanggaran dan setiap pelanggaran
adalah dosa,
sebab keduanya berarti melaksanakan apa yang dilarang
Allah dan
meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya, atau dengan kata
lain merupakan
pelanggaran terhadap perintah dan larangan-Nya, dan
setiap
pelanggaran adalah dosa. Tetapi jika keduanya dipasangkan, maka
masing-masing
bisa berdiri sendiri, tergantung kaitan dan sifatnya.
Dosa ialah
sesuatu yang diharamkan dari segi jenisnya, seperti dusta,
zina, minum
khamr dan lain-lainnya. Sedangkan pelanggaran ialah sesuatu
yang
diharamkan dari segi porsi dan tambahannya. Pelanggaran artinya
tindakan yang
melampaui batas dari apa yang diperbolehkan ke porsi yang
diharamkan dan
ukuran yang berlebihan, seperti berlebihan dalam
mengambil hak
dari orang yang justru seharusnya dia memberikan hak itu
kepada orang
tersebut, entah berupa perampasan hartanya, badan atau
kehormatannya.
Jika orang yang dilanggar marah, maka orang yang
melanggar
justru lebih marah kepadanya. Jika orang yang dilanggar
mengeluarkan
perkataan yang pedas, maka perkataan orang yang
melanggar
justru lebih pedas lagi. Ini semua disebut pelanggaran dan
perbuatan yang
menyimpang dari keadilan.
Pelanggaran
ada dua macam: Pelanggaran terhadap hak Allah, dan
pelanggaran
terhadap hak hamba. Pelanggaran terhadap hak Allah seperti
melanggar
sesuatu yang diperbolehkan untuk dilakukan, semacam
bersetubuh
dengan istri, lalu melakukan persetubuhan dengan selain istri.
Bisa juga
berupa pelanggaran apa yang diperbolehkan saat berhubungan
dengan istri,
lalu melakukan persetubuhan yang dilarang, seperti menyetubuhi
istri saat
haid, nifas, puasa, di dubur dan lain-lainnya.
Pelanggaran
juga bisa terjadi terhadap porsi yang diperbolehkan, lalu
melakukannya
dengan porsi yang lebih banyak, seperti memandang wanita
yang hendak
dilamar, kesaksian, mu'amalah, berobat dan lain-lainnya.
6. Kekejian dan Kemungkaran
Kekejian
merupakan sifat dari sesuatu yang disifati, yang artinya
perbuatan atau
sesuatu yang keji, yang keburukannya jelas tampak
dihadapan
siapa pun dan tidak bisa dipungkiri siapa pun yang pikirannya
masih waras.
Maka terkadang kekejian ini juga ditafsiri dengan perbuatan
zina dan homoseks.
Allah menyebutnya fahisyah, karena keburukannya
yang tidak
mungkin dicegah. Namun perkataan yang buruk juga bisa disebut
kekejian,
yaitu perkataan yang jelas tampak keburukannya, seperti
umpatan,
tuduhan atau yang sejenisnya.
Sedangkan
kemungkaran juga merupakan sifat dari sesuatu yang
disifati, atau
perbuatan yang mungkar. Artinya perbuatan yang diingkari
akal dan
fitrah. Penisbatan kemungkaran ke akal seperti penisbatan bau
busuk yang
sampai ke indera penciuman, pemandangan buruk yang sampai
ke indera
penglihatan, makanan tidak enak yang sampai ke indera rasa,
suara sumbang
yang sampai ke indera pendengaran. Tentu saja akal dan
fitrah akan
menolaknya, karena itu merupakan kekejian, seperti penolakan
setiap indera
ini. Yang mungkar menurut akal ialah sesuatu yang tidak
dikenalinya
dan tidak bisa diterima. Sedangkan keburukan yang dibenci
dan dihindari
adalah kekejian. Karena itu Ibnu Abbas ber-ata, "Kekejian
adalah zina
dan kemungkaran adalah sesuatu yang tidak dikenal dalam
syariat dan
As-Sunnah."
7. Mengada-adakan terhadap Allah Tanpa Dilandasi Ilmu
Mengatakan
terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu merupakan perbuatan
haram yang
paling haram dan paling besar dosanya. Maka hal ini
disebutkan
pada tingkatan keempat dari perkara-perkara yang diharamkan,
yang
pengharamannya telah disepakati berbagai syariat dan agama, dalam
keadaan
bagaimana pun tidak diperbolehkan dan apapun bentuknya tetap
haram, tidak
seperti bangkai, darah dan daging babi, yang dalam kondisi
tertentu masih
diperbolehkan.
Hal-hal yang
diharamkan itu ada dua macam: Yang diharamkan
berdasarkan
barangnya, tidak diperbolehkan dalam keadaan bagaimana
pun juga, dan
yang diharamkan menurut pertimbangan waktunya. Allah
telah
menjelaskan di dalam surat Al-A'raf: 33, empat tingkatan hal-hal
yang diharamkan
dilihat dari jenis barangnya, dari yang lebih ringan ke
tingkatan
berikut yang lebih berat dan lebih besar. Perhatikanlah baik-baik
masalah ini,
"Katakanlah, 'Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang tampak atau pun yang tersembunyi."
Kemudian
menanjak ke tingkatan yang lebih besar lagi,
"Perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar."
Kemudian
menanjak ke tingkatan yang lebih besar lagi,
"Mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu."
Kemudian
menanjak ke tingkatan yang paling besar,
"Mengada-adakan terhadap Allah apa-apa yang tidak kalian
ketahui."
Mengada-adakan
sesuatu terhadap Allah merupakan keharaman
yang paling
besar dan paling berat dosanya, karena di dalamnya terkandung
kedustaan
terhadap Allah, menisbatkan sesuatu yang tidak layak kepada-
Nya, merubah
agama-Nya, meniadakan apa yang ditetapkan-Nya dan
menetapkan apa
yang ditiadakan-Nya, memusuhi siapa yang ditolong-Nya
dan menolong
siapa yang dimusuhi-Nya, mencintai apa yang dibenci-Nya
dan membenci
apa yang dicintai-Nya, dan memberikan sifat-sifat yang tidak
layak bagi-Nya
terhadap Dzat, sifat, perkataan dan perbuatan-Nya.
Tidak ada
jenis hal-hal yang diharamkan yang lebih berat dosanya
daripada
mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak diketahui,
sebab ini
merupakan cikal bakal syirik dan kufur, dasar bid'ah dan kesesat-an.
Setiap bid'ah
yang dianggap sesat dalam agama karena bermula dari
mengada-adakan
sesuatu terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu. Karena itu
orang-orang
salaf sangat gencar pengingkarannya terhadap bid'ah ini dan
memperingatkan
semua orang tentang bahaya-bahayanya. Pengingkaran
mereka
terhadap bid'ah jauh lebih keras daripada pengingkaran terhadap
kemungkaran,
kekejian, kezhaliman dan pelanggaran, sebab dampak negatif
dari bid'ah
terhadap agama juga lebih keras. Allah juga sangat mengingkari
orang yang
menisbatkan kepada agama-Nya, dengan menghalalkan atau
mengharamkan
sesuatu, yang katanya itu datang dari Allah. Firman-Nya,
"Dan, janganlah kamu mengatakan
terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidah kalian secara dusta, 'Ini halal
dan ini haram', untuk mengadaadakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
tiadalah beruntung." (An-
Nahl: 116).
Di antara
orang salaf ada yang berkata, "Hendaklah seseorang di
antara kalian
waspada untuk mengatakan, 'Allah menghalalkan ini dan
mengharamkan
yang itu', lalu Allah berkata kepadanya, 'Engkau dusta,
karena Aku
tidak menghalalkan ini dan tidak pula mengharamkan itu'."
Mengada-adakan
sesuatu terhadap Allah lebih umum daripada syirik, dan
syirik
merupakan bagian dari perbuatan ini. Karena itu kedustaan terhadap
Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam menyeret pelakunya ke neraka.
Semua dosa
ahli bid'ah masuk dalam dosa jenis ini, dan taubat darinya
hanya bisa
dilakukan dengan taubat dari segala bid'ah. Tapi bagaimana
mungkin
pelakunya mau taubat dari bid'ah, sementara dia tidak mau
mengakui bahwa
perbuatannya adalah bid'ah?
Taubat Orang
Yang Tidak Mampu Memenuhi Hak atau Melaksanakan
Kewajiban Yang
Dilanggar
Ini termasuk
pernik-pernik hukum taubat dan permasalahannya,
yaitu
berkaitan dengan orang yang melanggar hak, namun ternyata dia
juga tidak
mampu memenuhi hak itu. Karenanya dia bertaubat. Lalu bagaimana
hukum
taubatnya?
Hal ini
dikaitkan dengan hak Allah dan hak hamba. Kaitannya dengan
hak Allah
seperti orang yang meninggalkan shalat fardhu secara sengaja
dan tanpa ada
alasan yang diperbolehkan, padahal dia juga tahu
kewajibannya.
Lalu dia bertaubat dan menyesal. Orang-orang salaf saling
berbeda
pendapat tentang masalah ini.
Ada golongan
yang mengatakan, taubatnya dengan cara menyesali
tindakannya,
melaksanakan kewajiban-kewajiban pada masa berikutnya
dan mengqadha'
kewajiban yang ditinggalkan. Ini merupakan pendapat
empat imam dan
juga lain-lainnya.
Ada pula yang
berpendapat, taubatnya dengan melaksanakan kewajiban
pada masa
mendatang dan qadha'nya terhadap kewajiban yang
pernah
ditinggalkan tidak memberikan manfaat apa-apa, tidak diterima dan
tidak wajib.
Ini merupakan pendapat Az-Zhahir dan sebagian orang-orang
salaf.
Hujjah
golongan yang mewajibkan qadha' adalah sabda Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Barangsiapa tertidur dan
ketinggalan mendirikan shalat atau melalaikannya,
maka hendaklah dia mendirikannya jika
sudah mengingatnya."
Inilah
beberapa hujjah yang dikemukakan golongan kedua:
- Jika qadha'
diwajibkan terhadap orang yang tertidur dan lalai, yang
berarti dia
tidak sengaja meninggalkannya, maka kewajiban qadha'
jauh lebih
ditekankan terhadap orang yang sengaja meninggalkannya.
- Ada dua
macam kewajiban yang harus dia tanggung: Shalat dan
pelaksanaannya
pada waktunya. Jika salah satu ditinggalkan, maka
kewajiban yang
ditinggalkan masih menyisa satu lagi.
- Jika seorang
hamba tidak mendapatkan kemaslahatan perbuatan, maka
dia bisa
mendapatkannya menurut cara yang dimungkinkan. Karena dia
tidak
memperoleh kemaslahatan perbuatan pada waktu yang telah
ditetapkan,
maka dia bisa mendapatkannya dengan cara yang dimungkinkan,
yaitu di luar
waktunya.
- Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Apabila aku
memerintahkan
kalian dengan suatu perintah, maka kerjakanlah
menurut
kesanggupan kalian." Pelaksanaan apa yang diperintahkan ini
bisa dilakukan
di luar waktu, karena pelakunya tidak bisa
melaksanakan-nya
pada waktu yang telah ditetapkan. Maka dia tetap
harus
melaksa-nakannya menurut kesanggupannya.
- Apa anggapan
orang terhadap syariat, karena ia membebaskan orang
yang sengaja
meninggalkan fardhu dan durhaka kepada Allah untuk
meninggalkan
fardhu itu, sementara ia mewajibkannya kepada orang
meninggalkan
fardhu itu dengan alasan tertidur atau lalai?
- Shalat di
luar waktu merupakan pengganti daripada shalat pada waktunya.
Jika ibadah
ada penggantinya dan ada alasan dari apa yang
diganti, maka
apa yang diwajibkan bisa beralih kepada penggantinya,
seperti
tayammum sebagai pengganti wudhu', memberi makan orang
miskin sebagai
pengganti dari keharusan puasa, dan masih banyak
contoh lain.
- Karena
shalat itu merupakan hak yang ada batasan waktunya, maka
penundaan
pelaksanaannya tidak dianggap gugur kecuali dengan segera
melaksanakannya
di luar waktu, seperti hutang yang ditangguhkan
pembayarannya.
- Memang dia
tetap berdosa karena penundaannya, dan dosa ini tidak
gugur karena
qadha', seperti orang yang menunda pembayaran zakat
dari waktu
yang diwajibkan atau menunda pelaksanaan haji.
- Orang yang
meninggalkan shalat Jum'at secara sengaja, maka dia
adalah orang
yang durhaka karena penundaannya. Maka dia harus
mendirikan shalat
zhuhur. Pengaitan zhuhur ini dengan Jum'at, sama
dengan
pengaitan pelaksanaan shalat subuh setelah matahari terbit
dengan
pelaksanaannya sebelum matahari terbit.
- Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam pernah menunda shalat ashar hingga
setelah
matahari terbenam pada waktu perang Ahzab. Ini menunjukkan
bahwa
pelaksanaannya dimungkinkan di luar waktu secara sengaja,
entah karena
ada alasan seperti ini dan juga yang dilakukan para
shahabat
sewaktu perang Bani Quraizhah, atau pun tanpa ada alasan
seperti orang
yang menundanya secara sengaja.
- Andaikan
shalat di luar waktu itu tidak sah dan tidak wajib, tentunya
Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan para shahabat
untuk shalat
kecuali setelah tiba di perkampungan Bani Quraizhah. Maka
di antara
mereka ada yang mengerjakan shalat ashar pada malam harinya,
sementara
beliau tidak menghardik mereka.
- Setiap orang
yang bertaubat mempunyai jalan untuk bertaubat. Lalu
mengapa jalan
taubat ini harus ditutup dan dosa kesia-siaan harus
ditanggungnya?
Tentu saja hal ini tidak sejalan dengan kaidah syariat,
hikmah dan
rahmatnya, yang sangat memperhatikan kemaslahatan
hamba di dunia
dan di akhirat.
Dan, inilah
hujjah-hujjah yang dikemukakan golongan lainnya, yang
mengatakan
bahwa qadha' itu tidak ada artinya, beserta sanggahan terhadap
hujjah
golongan yang pertama:
- Jika ada
perintah ibadah dengan sifat dan waktunya yang tertentu,
maka orang
yang mendapat perintah tidak boleh melaksanakannya
kecuali
menurut ketentuan yang diperintahkan, yang mencakup sifat,
waktu dan
syaratnya.
- Mengeluarkan
shalat dari waktu yang telah ditentukan sama seperti
mengeluarkan
shalat itu dari keharusan menghadap kiblat, sujud pada
pipi sebagai
ganti kening dan lain-lainnya.
- Ibadah yang
sudah ada ketentuan waktunya, sama dengan ibadah yang
sudah ada
ketentuan tempatnya. Satu tempat tidak bisa menggantikan
tempat
lainnya, seperti tempat-tempat manasik haji. Thawaf di
sekeliling
Ka'bah tidak bisa dialihkan ke Arafah atau tempat lainnya.
Begitu pula
yang lainnya, dan begitu pula dengan ketentuan waktu
setiap ibadah.
Memindahkan waktu shalat yang sudah ditetapkan ke
waktu lain,
seperti memindahkan waktu wuquf di Arafah ke Muzdalifah
pada waktu
yang lain, dan memindahkan bulan haji ke bulan lainnya.
- Orang-orang
yang mengesahkan pelaksanaan shalat fardhu di luar
waktunya
(secara sengaja) tidak didukung nash, ijma' maupun qiyas
yang benar.
Kami juga akan menggugurkan semua qiyas yang mereka
pergunakan dan
kami juga akan menjelaskan ketidak akuratannya.
- Di dalam Musnad
Al-Imam Ahmad dan juga lainnya disebutkan dari
hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, beliau bersabda, "Barangsiapa tidak puasa sehari
pada bulan
Ramadhan tanpa
ada alasan, maka dia tidak perlu mengqadha'nya
dengan puasa
setahun penuh." Lalu bagaimana mungkin mereka yang
mengatakan
bahwa dia harus mengqadha' sehari seperti yang
ditinggalkannya?
- Karena
ibadah yang sah seperti yang dijelaskan pembawa syariat, maka
tidak ada yang
bisa diketahui tentang sah tidaknya kecuali berdasarkan
pengabaran
beliau dan yang sesuai dengan perintah beliau. Maka
bagaimana
mungkin mereka bisa mengklaim sahnya shalat itu?
- Sah atau
tidak sah itu merupakan dua hukum syariat, yang dikembalikan
kepada pembawa
syariat. Yang sah adalah yang dipersaksikan bahwa
memang ibadah
itu sah atau diketahui sejalan dengan perintahnya.
Sementara
shalat fardhu yang sengaja ditinggalkan ini tidak sejalan
dengan kaidah
ini. Letak kesalahannya, karena mereka membandingkannya
dengan
penundaan shalat karena memang ada alasan
yang
diperbolehkan. Dengan kata lain, mereka membandingkan
sesuatu justru
dengan sesuatu yang berlawanan. Berarti ini merupakan
qiyas yang
tidak sah.
- Dalil yang
mereka pergunakan, yaitu sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, "Barangsiapa tertidur dan ketinggalan mendirikan
shalat atau
melalaikannya,
maka hendaklah dia mendirikannya jika sudah
mengingatnya",
bahwa qadha' diwajibkan terhadap orang yang
meninggalkan
shalat karena alasan tertentu, sehingga siapa yang
meninggalkannya
justru lebih wajib, ini merupakan hujjah yang justru
menjadi
bumerang. Beliau mensyaratkan dua alasan meninggalkan
pelaksanaan
shalat itu hingga setelah lewat dari waktunya, yaitu tertidur
dan lalai.
Sesuatu yang digantungkan kepada syarat, akan dianggap tidak
ada jika
syaratnya juga tidak ada. Berarti qiyas yang seharusnya mereka
pergunakan
ialah membandingkannya dengan orang durhaka yang layak
mendapat
hukuman.
- Waktu shalat
bisa dibagi menjadi tiga macam: Pertama, waktu bagi
orang yang
mampu, terjaga, ingat dan tidak ada rintangan, yang
jumlahnya ada
lima. Kedua, waktu bagi orang yang ingat, terjaga dan ada
rintangan,
yang jumlahnya ada tiga: Waktu zhuhur dan ashar, maghrib
dan isya' dan
subuh. Ketiga, waktu bagi orang yang tidak dianggap
mukallaf,
yaitu karena tertidur dan lalai. Yang ketiga ini tidak ada
batasannya
sama sekali. Waktunya ialah setelah dia terjaga dan ingat.
Tidak ada
waktu shalat selain yang tiga macam ini.
- Menurut
hujjah golongan yang pertama, bahwa ada dua kewajiban
yang
ditanggungnya, yaitu shalat dan pelaksanaannya pada waktunya.
Jika satu
ditinggalkan, maka akan menyisakan satunya lagi. Yang seperti
ini berlaku
jika yang satu tidak berkait dengan satunya lagi dalam kaitan
syarat,
seperti orang yang diperintahkan untuk menunaikan haji dan
zakat. Jika
satu dikerjakan, tidak akan menggugurkan satunya lagi. Tapi
jika salah
satu merupakan syarat bagi yang lain, maka bagaimana mungkin
dia
diperintahkan untuk mengerjakan yang satu tanpa yang lainnya?
- Tentang
sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Apabila aku memerintahkan
kalian dengan
suatu perintah, maka kerjakanlah menurut
kesanggupan
kalian", terlalu jauh untuk dijadikan hujjah. Sabda beliau
ini
menunjukkan bahwa orang yang mukallaf dalam keadaan tidak mampu
untuk
mengerjakan sejumlah perintah, sehingga dia cukup mengerjakan
apa yang
disanggupinya, seperti orang yang tidak mampu berdiri
sewaktu
shalat, atau menyempurnakan anggota wudhu', atau
menginfakkan
harta yang wajib diinfakkan, atau lain-lainnya, sehingga
dia bisa
mengerjakannya menurut kesanggupannya dan dia dimaafkan
tentang apa
yang ada di luar kesanggupannya. Tapi orang yang tidak
melaksanakan
apa yang diperintahkan hingga keluar dari waktunya
secara sengaja
atau meremehkannya tanpa ada alasan, maka tidak perlu
dibicarakan
lagi di sini, karena permasalahannya sudah jelas.
- Perkataan
golongan pertama, "Apa anggapan orang terhadap syariat,
karena ia
membebaskan orang yang sengaja meninggalkan fardhu dan
durhaka kepada
Allah untuk meninggalkan fardhu itu, sementara ia
mewajibkannya
kepada orang meninggalkan fardhu itu dengan alasan",
sulit
diterima. Karena orang yang berhalangan melaksanakan shalat itu
melaksanakannya
sesuai dengan perintah seperti pada saat-nya.
- Perkataan
golongan pertama, "Shalat di luar waktu merupakan pengganti
daripada
shalat pada waktunya. Jika ibadah ada penggantinya dan
ada alasan
dari apa yang diganti, maka apa yang diwajibkan bisa beralih
kepada
penggantinya", hanya sekedar isapan jempol dan pernyataan
yang dibuat
sepintas lalu saja. Apa dalil yang menunjukkan bahwa shalat
orang yang
mengabaikan itu ada penggantinya? Sesuatu dianggap
sebagai
pengganti bisa diketahui dari apa yang ditetapkan syariat,
seperti
pensyariatan tayammum saat tidak sanggup menggunakan air
dan makan saat
tidak kuat berpuasa.
- Mengerjakan
shalat di luar waktunya dianggap sah, yang diqiyaskan
kepada
pembayaran hutang di antara manusia, yang dianggap sah jika
dilaksanakan
di luar waktu yang telah ditetapkan, jelas merupakan
qiyas yang
tidak tepat. Sebab waktu pembayaran hutang tidak memiliki
batasan seperti
halnya shalat.
- Tentang Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menunda shalat ashar
hingga setelah
tenggelamnya matahari sewaktu perang Ahzab, maka
ada dua
pendapat di antara para ulama, apakah hal ini mansukh (dihapus)
atau tidak?
Jumhur, seperti Ahmad, Asy-Syafi'y dan Malik berpendapat,
ini terjadi
sebelum turunnya shalat khauf. Karena itu masalah
ini pun
dianggap hangus dengan datangnya shalat khauf. Penundaan
itu mirip
dengan penundaan karena ada dua shalat yang dijama'. Jadi
tidak shalat
ashar pada waktunya jangan dianggap sama dengan sesuatu
yang
diharamkan. Pendapat kedua mengatakan bahwa kejadian
ini tidak
dihapus. Orangyang sedang berperang mempunyai hak untuk
menunda
shalatnya, karena dia sibuk dengan urusan peperangan, lalu
mengerjakannya
pada saat yang memungkinkan. Ini merupakan
pendapat Abu
Hanifah dan juga ada riwayat dari Ahmad. Berdasarkan
dua pendapat
ini, maka menunda shalat dengan sengaja tidak diang
gap sah.
Begitu pula
yang dilakukan para shahabat saat menunda shalat ashar
sewaktu perang
Bani Quraizhah. Bahkan penundaan itu berdasarkan
perintah dari
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini menurut
pendapat Ahli
Zhahir. Sementara ada pula yang menganggap penundaan
itu memerlukan
ta'wil. Karena itu beliau tidak menghardik salah
satu pihak di
antara para shahabat.
- Tentang
perkataan golongan pertama, "Setiap orang yang bertaubat
mempunyai
jalan untuk bertaubat. Lalu mengapa jalan taubat ini harus
ditutup dan
dosa kesia-siaan harus ditanggungnya?", tentu saja tidak
mungkin bagi
Allah untuk menutup pintu yang telah dibukakan-Nya
bagi semua
hamba yang berdosa, hingga mereka meninggal dunia,
semenjak
matahari terbit dari tempat tenggelamnya. Tapi yang perlu
dipertimbangkan
adalah cara taubat dan penerapannya. Apakah jelas
ada kepastian hukum
bahwa shalat itu memang perlu diqadha' dan
apa yang telah
dilakukannya itu dianggap angin lalu, bukan merupa
kan pahala
baginya dan bukan merupakan dosa di pundaknya? Apa
kah hukumnya
seperti orang kafir yang masuk Islam, sehingga amalnya
dianggap tidak
ada dan taubatnya langsung diterima?
Sedangkan
taubat orang yang tidak sanggup memenuhi hak, yang
berkaitan
dengan hak manusia, bisa digambarkan lewat beberapa masalah
berikut ini.
Pertama: Seseorang mengambil harta orang lain, kemudian pada
kesempatan
lain dia bertaubat namun tidak mampu mengembalikan apa
yang telah
diambilnya itu kepada pemiliknya atau kepada ahli warisnya,
karena dia
tidak mengenal mereka atau alasan lainnya. Ada perbedaan
pendapat dalam
masalah ini.
Ada golongan
yang berpendapat, taubatnya tidak berarti sama sekali
kecuali dengan
mengembalikan hak kepada orang yang berhak menerimanya.
Jika dia tidak
sanggup, maka taubatnya juga tidak bisa diterima.
Maka pada hari
kiamat nanti akan diberlakukan qishash berdasarkan
kebaikan dan
keburukannya.
Menurut
pendapat mereka, karena hal ini berkait dengan hak manu-sia
yang lepas
darinya. Sementara Allah tidak membiarkan sedikit pun di antara
hak-hak hamba,
sehingga sebagian memenuhi hak itu terhadap sebagian
yang lain,
tidak ada kezhaliman orang yang zhalim. Orang yang dizhalimi
harus
mengambil hak dari orang yang menzhaliminya, seka-lipun itu
hanya berupa
satu tamparan, serangan kata-kata atau lemparan kerikil.
Cara lain yang
bisa dilakukan orang yang zhalim ialah dengan
memperbanyak
kebaikan, agar dia dapat memenuhi hak yang telah dirampasnya
pada hari yang
harta tidak bermanfaat apa-apa. Dia harus berbis-nis
agar dapat
memenuhi hak. Ada pula yang sangat bermanfaat baginya, yaitu
bersabar jika
kemudian dia dizhalimi orang lain, disakiti, digunjing dan
dituduh
macam-macam. Dia tidak perlu meminta haknya di dunia dan
tidak perlu
membalasnya, supaya kebaikannya tidak habis. Sebab selagi
dia menuntut
pemenuhan hak, maka keduanya dalam posisi yang sama.
Ada perbedaan
pendapat tentang harta yang ada di tangannya. Segolongan
orang
mengatakan, harta itu harus dibekukan dan tidak boleh
dipergunakanuntukkeperluanapapun.
Golonganlainberpendapat, harta itu
diserahkan
kepada penguasa atau kepada wakil yang sudah ditunjuk,
menunggu
sampai menemukan ahli warisnya. Jadi hukumnya seperti
harta yang
hilang.
Kedua: Jika seseorang mengambil hak orang lain, lalu dia
bertaubat
dan ingin
mengembalikan hak itu, namun dia tidak mampu. Kemudian ada
orang lain
yang sanggup membantunya, namun bantuannya berasal dari
harta yang
haram, seperti dari hasil melacur, bernyanyi, menjual khamr
dan
lain-lainnya. Sementara uang ganti rugi itu masih ada di tangannya.
Maka bagaimana
hukumnya?
Segolongan
orang berpendapat, dia harus mengembalikan harta itu
kepada
pemiliknya, karena dia tidak berhak menerimanya kecuali menurut
ketentuan yang
diperbolehkan syariat. Ada pula yang berpendapat, uang itu
harus
dishadaqahkan.
Ketiga: Seseorang mengambil harta, lalu pemiliknya meninggal
dunia,
sehingga dia
tidak bisa mengembalikan lagi kepada pemiliknya. Seperti
yang sudah
ditentukan, dia harus menyerahkannya kepada ahli warisnya. Jika
ahli warisnya
juga sudah meninggal dunia, maka dia harus menyerahkan
kepada ahli
waris berikutnya. Begitu seterusnya. Jika dia tidak bisa
mengembalikan
kepada pemiliknya atau pun kepada salah seorang ahli
warisnya,
siapakah yang berhak menuntut di akhirat? Apakah pemilik
aslinya
ataukah ahli warisnya yang menerima pengalihan hak itu?
Ada dua
pendapat di kalangan fuqaha' dan dua pendapat dalam
madzhab
Asy-Syafi'y Namun pertanyaan ini dapat dijawab sebagai berikut:
Penuntutan itu
menjadi hak pewaris yang menjadi pemilik asli dan juga hak
masing-masing
ahli waris, karena mereka semua mempunyai hak untuk
itu. Orang
yang mengambil tetap berkewajiban mengembalikan-nya. Jika
tidak
mengembalikan, berarti dia telah berbuat zhalim. Maka di akhirat dia
akan dituntut
atas hak tersebut.
Lalu
bagaimanakah caranya bertaubat agar dia terbebas dari tuntutan
mereka?
Ada yang
berpendapat, caranya dengan menshadaqahkan harta itu
atas nama pemilik
aslinya dan ahli warisnya, sehingga harta itu terus
berkembang
manfaatnya dan mendatangkan pahala bagi mereka, sesuai
dengan manfaat
yang seharusnya mereka peroleh dari harta tersebut.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan