Catatan Popular

Jumaat, 14 Ogos 2015

KITAB RAHSIA BERSUCI IHYA ULUMUDDIN : MUKADIMMAH RAHSIA BERSUCI (BAH MUKADIMMAH)



Iaitu: Kitab Ke-3 dari Rubu’ ‘Ibadah Dalam Ihya Ulumuddin

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah yang berlemah lembut dengan hambaNya. Maka dianugerahiNya ibadah kepada mereka dengan kebersihan. Dicurahkannya ke dalam hati mereka untuk mensucikan bathinnya, nur dan kasih sayangNya. Dan disediakanNya bagi zahiriyah mereka, untuk mensucikan yang zhahir itu, air yang tertentu dengan cair dan bening. Rahmat Allah kepada Nabi Muhammad yang meratai seluruh pelosok dan penjuru alam dengan nur hidayah dan kepada keluarganya yang baik lagi suci, rahmat yang oleh berkahnya melepaskan kita pada hari ketakutan dan menegakkan benteng diantara kita dan setiap bahaya. Kemudian, maka bersabda Nabi saw: “Dibangun agama di atas kebersihan”. Dan bersabda Nabi saw: “Kunci shalat ialah kesucian”.

Berfirman Allah Ta’ala: “Didalamnya ada beberapa orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. S 2 Al Baqarah ayat 108. Bersabda Nabi saw: “Kesucian itu setengah iman”. Berirman Allah Ta’ala: “Allah tidak hendak menyusahkan kamu, tetapi hendak mensucikan kamu”. S 5 Al Maa-idah ayat 6. Maka berpikirlah orang-orang yang mempunyai mata hati dengan yang zahiriyah dari ayat-ayat dan hadits-hadits tadi, bahwa pekerjaan yang terpenting ialah mensucikan segala rahasia hati (as-saraair). Karena rasanya jauhlah dari paham yang benar, bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi saw: “Kesucian itu setengah iman”, adalah membangun zahiriyah dengan pembersihan dengan menyiram dan menuangkan air. Dan meruntuhkan bathiniah serta membiarkannya berlumuran dengan barang-barang keji dan kotor.

Amat jauhlah dari itu bersuci itu 4 tingkat:

Tingkat pertama:   mensucikan zhahir dari segala hadats, kotoran dan benda yang menjijikan.
Tingkat kedua:  mensucikan anggota badan dari segala perbuatan jahat dan dosa.
Tingkat ketiga: mensucikan hati dari segala pekerti yang tercela dan sifat-sifat rendah yang terkutuk.
Tingkat keempat:  mensucikan sirr (rahasia atau batihn) dari sesuatu selain dari Allah Ta’ala. Iaitu: besuci para nabi as dan para shiddiq.

Bersuci pada tiap-tiap tingkat tadi adalah setengah dari amal perbuatan yang ada di dalamnya. Dan tujuan penghabisan pada amalan sirr ialah terbuka baginya kebesaran dan keagungan Allah Ta’ala. Dan tidaklah bertempat ma’rifah kepada Allah dengan sebenarnya pada bathin, selama belum berangkat daripadanya segala sesuatu selain Allah.
Dari itu berfirman Allah Ta’ala: “Katakan: yang menurunkan itu Allah. Kemudian biarkanlah mereka main-main dengan pecakapan kosongnya”. S 6 Al An’aam ayat 91.  
Karena keduanya itu tidak dapat berkumpul di dalam hati.
“Allah tidak menjadikan seseorang mempunyai dua hati di dalam dadannya”.
S 33 Al Ahzab ayat 4.

Adapun amalan hati, maka tujuannya yang terakhir ialah membangunnya dengan budi pekerti yang terpuji dan akidah yang disuruh agama. Dan tidak bersifat hati itu dengan sifat-sifat tersebut, sebelum dibersihkan dari lawan-lawannya. Yaitu akidah yang salah dan sifat-sifat rendah yang terkutuk. Maka pensucian hati itu adalah salah satu dari dua bahagian, di mana dia adalah bahagian pertama yang menjadi syarat pada bahagian kedua. Maka adalah kesucian itu setengah iman menurut pengertian ini. Begitu pula, pensucian anggota badan dari segala yang dilarang, adalah salah satu dari 2 bahagian. Yaitu: bahagian pertama yang menjadi syarat pada bahagian kedua. Maka pensucian hati adalah dari dua bahagian, yaitu bahagian pertama. Dan pembangunan anggota badan dengan segala macam taat, adalah bahagian kedua. Maka inilah maqam-maqam iman itu. Tiap-tiap maqam, mempunyai tingkat. Dan tidaklah sampai seorang hamba ke tingkat yang tinggi, melainkan setelah melampaui tingkat yang dibawah.

Tidak sampai ia kepada kesucian bathin dari segala sifat yang tercela dan membangunnya dengan sifat yang terpuji, selama ia belum selesai dari pensucian hati dari budi pekerti yang tercela dan membangunnya dengan budi pekerti yang terpuji. Dan tidak sampai ke situ orang-orang yang belum menyelesaikan dari pensucian anggota badan dari segala yang dilarang dan membangunnya dari segala amalan taat. Tiap-tiap yang dicari itu tinggi dan mulia, maka sulit dan jauhlah jalannya dan banyaklah halangannya. Janganlah anda menyangka bahwa hal ini didapati dengan angan-angan dan dicapai dengan keinginan saja. Ya, siapa yang buta mata hatinya daripada berlebih-kurangnya tingkatan-tingkatan ini, niscaya ia tidak memahami dari tingkatan-tingkatan bersuci itu selain daripada tingkatan akhir, di mana dia merupakan seperti kulit terakhir yang zahir, dibandingkan kepada isinya yang dicari.

Maka jadilah dia memperhatikan pada kulit itu dan memeriksa jalan-jalannya. Dan menghabiskan segala waktunya pada beristinja’ mencuci kain, membersihkan zahiriah dan mencari air banyak yang mengalir. Karena timbul sangkaan daripadanya, karena bisikan setan dan khayalan akal pikiran, bahwa kesucian yang dicari lagi mulia, itulah saja. Dan tidak mengerti akan perjalanan hidup orang-orang dahulu dan mereka menghabiskan segala energi dan pikiran pada pensucian hati dan tidak mementingkan pada urusan zahir. Sehingga Umar ra dengan kedudukannya yang tinggi itu, berwudlu’ dari air di dalam kendi seorang Nasrani. Sehingga sesungguhnya orang-orang dahulu itu tidak membasuhkan tangannya itu dari debu dan bekas makanan. Tetapi mereka menyapukan tangannya dengan tumit kakinya. Dan mereka menghitung kain serbet (kain lap) itu termasuk bid’ah yang diada-adakan. Mereka melakukan shalat di atas lantai di masjid, berjalan dengan kaki telanjang di jalan-jalan. Siapa yang tidak membuat alas diantaranya dan lantai pada tempat tidur, maka adalah dia termasuk orang besar daripada mereka. Dan mereka mencukupkan dengan batu saja pada beristinja’. Berkata Abu Hurairah dan lainnya dari ahli tasawwuf: “Adalah kami memakan daging bakar, lalu dibacakan iqamat untuk shalat. Maka kami masukkan jari-jari kami di dalam batu-batu kecil.

Kemudian kami gosok-gosokkan dia dengan tanah lalu bertakbir. Berkata Umar ra: “Tidak adalah kami mengenal kain lap pada masa Rasulullah saw. dan sesungguhnya sapu tangan kami adalah tapak kaki kami. Adalah kami apabila sudah memakan makanan yang beminyak, lalu kami sapukan dengan tapak kaki itu”. Ada orang mengatakan bahwa bid’ah yang pertama-tama lahir sesudah Rasulullah saw adalah 4: ayakan tepung, kain lap, meja makan dan kenyang. Dan adalah kesungguhan mereka seluruhnya pada kebersihan bathin. Sehingga berkatalah setengah mereka: “Mengerjakan shalat di dalam dua alas kaki adalah lebih utama !”. Karena Rasulullah saw tatkala membuka kedua alas kakinya di dalam shalat, karena diterangkan oleh Jibril as kepadanya, bahwa pada kedua alas kakinya itu najis dan orang lainpun membuka alas kakinya, maka kemudian Nabi saw bertanya: “Mengapa kamu membuka alas kakimu ?”. Berkata An-Nakha’i, tentang orang yang membuka alas kakinya: “Aku suka, jikalau adalah orang yang memerlukan, lalu datang kepada alas-alas kaki itu dan mengambilnya”. Perkataan ini adalah sebagai pertanda bahwa An-Nakha’i menentang dibuka alas-alas kaki itu. Begitulah orang-orang dahulu itu memandang enteng dalam hal-hal tadi, bahkan adalah mereka berjalan kaki di atas tanah jalan dengan kaki terbuka. Mereka duduk diatasnya, mengerjakan shalat di masjid-masjid atas lantai. Mereka makan dari tepung gandum dan syair yang sudah dipijak dan dikencingi hewan.

Tiada mereka memperdulikan dari keringat unta dan kuda serta banyak jatuhnya di dalam najis. Dan tidak adalah sekali-kali dinukilkan dari salah seorang dari mereka pertanyaan, mengenai najis yang halus-halus. Begitulah mereka memandang enteng pada najis-najis itu. Sekarang telah sampai giliran pada suatu golongan, yang menamakan berdandan itu kebersihan. Lalu mereka mengatakan, kebersihan itu tempat tegaknya agama. Maka dipergunakannya sebagian besar waktunya untuk menghiasi zahiriah, seperti yang diperbuat oleh penghias rambut dengan anak daranya. Sedang bathinnya rusak, penuh dengan segala macam kekejian: takabur, ‘ujub, bodoh, ria dan nifaq. Mereka tidak membantah yang demikian dan merasa heran akan hal itu. Jikalau orang yang hanya beristinja’ dengan batu atau berjalan di atas tanah dengan kaki terbuka atau mengerjakan shalat di atas lantai atau berada masjid tanpa tikar sajadah yang terbentang atau berjalan pada lapangan luas tanpa alas tapak kaki dari kulit atau berwudlu’ dari kendi air seorang wanita tua atau lelaki yang berpakaian kumuh maka golongan itu tegak bangun berdiri, menentang orang ini. Dan menggelarkannya “kotor” serta mengusirkannya dari golongan mereka, menolak untuk makan bersama dan bergaul. Mereka menamakan sederhana yang menjadi sebahagian dari iman itu kotor dan berdandan itu kebersihan. Lihatlah, bagaimana yang munkar itu telah menjadi ma’ruf dan yang ma’ruf telah menjadi munkar. Dan bagaimana telah terbenam dari agama tandanya, sebagaimana telah terbenam hakikat dan ilmunya. Jika anda bertanya: “Apakah kata tuan, mengenai adat kebiasaan yang diadakan kaum shufi tentang keadaan dan kebersihan mereka, termasuk yang dilarang atau mungkar ?”. Maka aku menjawab, di mana aku berlindung dengan Allah dari memberi penjelasan tanpa perincian. Dengan tegas aku mengatakan bahwa membersihkan diri, memberatkan diri dengan perbuatan-perbuatan itu, menyediakan tempat-tempat air dan perkakas-perkakasnya, memakai sarung kaki dan kain sarung yang mencukupi untuk menolak debu dll daripada sebab-sebab itu maka kalau dipandang kepada diri hal-hal itu semata-mata, adalah termasuk barang mubah (dibolehkan).

Kadang-kadang dia disertai oleh hal-hal dan niat-niat yang menghubungkannya, sekali dengan yang ma’ruf dan sekali dengan yang munkar. Adapun adanya itu mubah pada dirinya maka tidaklah tersembunyi, bahwa orang itu adalah bertindak dengan hal-hal yang tersebut di atas pada hartanya, badannya dan kainnya. Maka ia berbuat sekehendaknya apabila tidak ada padanya perbuatan yang sia-sia dan pemborosan. Adapun menjadi munkar, maka yaitu dengan menjadikan yang demikian itu pokok agama. Dan menafsirkan dengan demikian, sabda Nabi saw: “Agama itu dibangun atas kebersihan”. Sehingga dengan itu ditantangnya orang-orang yang mempermudah-mudahkannya seperti yang dipermudah-mudahkan oleh orang-orang terdahulu. Atau bermaksud dengan yang demikian itu, menghiasi zahiriah bagi manusia dan mencantikkan pandangan kepada mereka. Maka yang demikian itu adalah ria yang terlarang. Lalu jadilah dia itu mungkar dengan dua pandangan tadi. Adapun adanya itu ma’ruf maka adalah maksud daripadanya kebaikan, bukan penghiasan. Dan tidak ditantang terhadap yang meninggalkannya dan tidak dikemudiankan sembahyang dari awal waktu, karenanya. Dan tidak terhalang dengan sebabnya, daripada mengerjakan perbuatan yang lebih utama daripadanya atau tidak terhalang daripada ilmu pengetahuan atau lainnya. Apabila tidak disertai oleh sesuatu daripada yang tersebut tadi, maka adalah mubah, yang mungkin dijadikan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan niat. Tetapi tiadalah mudah yang demikian, kecuali bagi orang-orang yang berani di mana jikalau mereka itu tidak bekerja dengan menggunakan segala waktu untuknya, niscaya mereka menghabiskan waktunya dengan tidur ataupun berbicara yang tidak penting. Sehingga jadilah pekerjaan mereka dengan membersihkan itu lebih utama. Karena bekerja dengan bersuci itu adalah membaharukan ingatan kepada Allah Ta’ala dan mengingatkan kepada ibadah. Maka tiada mengapa, apabila tidak menimbulkan kemungkaran atau pemborosan. Adapun ahli ilmu dan amal maka tiada seyogyalah menyerahkan waktunya kepada membersihkan itu melainkan sekedar perlu saja.

Melebihkan dari itu adalah mungkar terhadap mereka dan membuang-buang umur yang amat berharga dan amat mulia bagi diri orang yang dapat menggunakannya. Dan tidaklah mengherankan yang demikian itu karena perbuatan baik bagi orang-orang baik, adalah kejahatan bagi orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah (al-muqarrabin). Dan tidaklah layak bagi pahlawan, meninggalkan kebersihan dan menentang orang shufi. Dan mendakwakan bahwa dia menyerupai dengan sahabat-sahabat. Karena menyerupai mereka itu adalah tentang tidak menggunakan waktunya selain untuk sesuatu yang lebih penting. Sebagaimana ditanyakan kepada Daud Ath-Tha’i: “Mengapakah engkau tidak menyisirkan janggut engkau ?”. Lalu ia menjawab: “Jadi saja ini orang yang berbuat batil !”. Karena itulah saya tidak melihat bagi orang yang berilmu, yang belajar dan yang beramal, bahwa menyia-nyiakan waktunya untuk mencuci kain. Karena menjaga daripada memakai kain-kain yang dipakai oleh orang-orang yang rendah dan memberi sangkaan buruk dengan kerendahan itu, karena lengah menyucikannya”. Adalah mereka pada masa pertama dahulu, mengerjakan shalat pada kulit hewan yang disamak. Dan tidak diketahui dari mereka orang-orang yang membedakan antara pakaian yang tidak dicuci dan pakaian dari kulit yang disamak, tentang suci dan najisnya.

 Tetapi adalah mereka menjauhkan diri daripada najis apabila dilihatnya dan tiada memperhatikan benar-benar untuk meneliti kemungkinan-kemungkinan kecil. Malahan mereka adalah amat memperhatikan mengenai ria dan zalim sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Sehingga berkatalah Sufyan Ats-Tsuri kepada seorang kawannya yang berjalan bersama-sama lalu memandang ke pintu sebuah rumah yang tinggi lagi besar: “Janganlah engkau perbuat yang demikian ! karena jikalau tidaklah manusia memandang kepada rumah itu, niscaya tidaklah pemiliknya berbuat pemborosan seperti itu. Maka orang yang memandang kepadanya adalah menolong kepada pemiliknya untuk melakukan pemborosan”. Orang-orang pada masa pertama dahulu itu, menyediakan seluruh jiwanya untuk memahami yang halus-halus seperti itu, tidak mengenai kemungkinan-kemungkinan ada najis. Kalau orang yang berilmu memperoleh seorang awam yang bekerja untuknya menyucikan kain untuk menjaga kebersihan, maka adalah yang demikian itu lebih utama. Karena yang demikian adalah lebih baik daripada menyia-nyiakan kebersihan. Dan orang awam itu memperoleh manfaat dengan perbuatannya karena dapat menggunakan dirinya yang mungkin terperosok kepada perbuatan jahat, dengan mengerjakan yang mubah tadi pada dirinya.

Sehingga ia tercegah dari perbuatan maksiat di dalam hal tersebut. Diri, jikalau tidak sibuk dengan sesuatu, maka akan menyibukkan yang mempunyai diri itu sendiri. Dan apabila orang awam tadi bermaksud dengan perbuatan itu, mendekatkan diri kepada orang yang berilmu itu, niscaya jadilah yang demikian baginya pengorbanan yang sebaik-baiknya dan waktu bagi orang yang berilmu itu adalah lebih mulia daripada diserahkannya kepada pekerjaan yang seperti itu (mencuci kain). Sehingga tinggalah waktu itu terpelihara baginya. Dan waktu bagi orang awam tadi adalah lebih mulia untuk berbuat seperti itu. Maka sempurnalah kebajikan kepadanya dari segala segi. Dan hendaklah diperhatikan dengan contoh di atas, kepada contoh-contoh yang lain yang seirama dengan itu, dari segala amal perbuatan. Dan menyusun segala kelebihannya dan segi kelebihan sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain. Penelitian benar-benar dengan menghitung dan menjaga segala detik umur, dengan menggunakannya kepada yang lebih utama, adalah lebih penting daripada meneliti segala urusan duniawi dengan suka dukanya. Apabila telah dipahami pendahuluan ini dan telah tegas bahwa bersuci itu mempunyai 4 tingkat, maka ketahuilah bahwa kami pada kitab ini, tidak akan memperkatakan, melainkan mengenai tingkat ke-4 saja. Yaitu: kebersihan zahir, karena kami dalam bahagian pertama dari kitab ini, dengan sengaja tidak mengetengahkan melainkan persoalan-persoalan zahir saja.

Maka kami jelaskah sekarang bahwa kesucian zahir itu 3 bahagian: kesucian dari najis, kesucian dari hadats dan kesucian dari benda-benda yang jijik pada badan. Yaitu yang diperoleh dengan pemotongan kuku, penajaman pisau, pemakaian obat yang menghilangkan bulu, pengkhitanan dan lainnya.

Tiada ulasan: