IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH
Di antara
macam-macam tempat persinggahan iyyaka na'budu wa
iyyaka nasta'in adalah sima' yang berarti mendengarkan. Sima'
merupakan
mashdar seperti kata niyat. Allah telah memerintahkan sima'
ini di dalam
Kitab-Nya,
memuji para pelakunya dan mengabarkan bahwa mereka akan
mendapat kabar
gembira. Firman-Nya,
"Sekiranya mereka mengatakan, 'Kami
mendengar dan patuh, dengarlah
dan perhatikanlah kami', tentulah itu
lebih baik bagi mereka dan lebih
tepat." (An-Nisa': 46
"Maka sampaikanlah berita gembira
itu kepada hamba-hamba-Ku, yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti
apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah
diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang-orang yangmempunyai
akal."(Az-Zumar. 17-18).
Pendengaran
yang diberikan Allah dan mereka yang bisa mendengar
merupakan
bukti bahwa mereka mengetahui pengabaran tentang diri
mereka. Jika
tidak, berarti mereka tidak mempunyai bukti itu. Firman-
Nya,
"Kalau kiranya Allah mengetahui
kebaikan ada pada diri mereka, tentulah
Allah menjadikan mereka dapat mendengar,
dan jikalau Allah
menjadikan mereka dapat mendengar,
niscaya mereka berpaling juga."
(Al-Anfal: 23).
Allah
mengabarkan tentang musuh-musuh-Nya, bahwa mereka
tidak mau
menden gar dan menghalangi orang lain untuk mendengar,
"Dan orang-orang yang kafir
berkata, 'Janganlah kalian mendengar dengan
sungguh-sungguh akan Al-Qur'an ini dan
buatlah hiruk pikuk
terhadapnya supaya kamu dapat
mengalahkan (mereka)."
(Fushshilat: 26).
Sima' merupakan utusan iman ke hati, penyeru dan
pengajarnya.
Berapa banyak
disebutkan di dalam Al-Qur'an, "Tidakkah kalian mendengar?"
Sima' merupakan dasar akal dan asas iman untuk sesuatu yang
dibangun di
atasnya, juga merupakan penuntun, tangan kanan dan pendampingnya.
Tapi yang
lebih penting lagi adalah apa jenis yang didengarkan.
Inilah yang
menjadi pangkal perbedaan pendapat dan juga kesalahan
di kalangan
manusia.
Hakikat sima'
merupakan peringatan bagi hati tentang makna yang
didengarkan.
Penggeraknya adalah pencarian, penghindaran, cinta dan
kebencian,
yang merupakan pendorong bagi setiap orang hingga dia
berada di
tempat berpijaknya. Di antara mereka ada yang mendengar
dengan naluri,
hasrat jiwa dan nafsunya. Tentu saja yang demikian ini
sejalan dengan
pembawaannya. Di antara mereka ada yang mendengar
beserta Allah
dan tidak mau mendengar dengan selain Allah. Yang pasti,
pembicaraan
tentang sima' harus dikaitkan dengan pujian dan celaan,
yang berarti
harus ada kejelasan tentang gambaran yang didengarkan,
hakikat,
sebab, pendorong, hasil dan tujuannya. Dengan uraian di bawah ini
bisa dirinci
masalah sima' ini, dapat dibedakan mana yang berman-faat dan
mana yang
berbahaya, mana yang haq dan mana yang batil, mana yang
terpuji dan
mana yang tercela.
Apa (obyek)
yang didengarkan bisa dibagi menjadi tiga macam:
1 Sima' Yang Dicintai dan Diridhai Allah
Ini merupakan sima'
yang diperintahkan Allah di Kitab-Nya, yang
pelakunya
dipuji dan disanjung, yang berpaling darinya dicela dan dilak-nat,
bahkan mereka
dianggap lebih sesat daripada binatang dan mereka
menjadi
penghuni neraka. Firman-Nya,
"Dan mereka berkata, 'Sekiranya
kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) niscaya kami tidak
termasuk penghuni-penghuni neraka
yang menyala-nyala." (Al-Mulk: 10)
.
Sima' merupakan dasar bangunan yang didirikan di atasnya.
Ada tiga
macam sima':
Sima' pengetahuan dengan indera pendengaran, sima'
pemahaman dan
akal, sima' pemahaman, pemenuhan dan penerimaan.
Tiga macam ini
disebutkan di dalam Al-Qur'an. Sima' pengetahuan disebutkan
dalam firman
Allah yang mengisahkan para jin yang beriman,
yang berkata,
"Sesungguhnya kami telah
mendengarkan Al-Qur'an yang menakjub-kan,
(yang) memberi petunjuk kepada jalan
yang benar, lalu kami beriman
kepadanya." (Al-Jinn: 1-2).
Ini merupakan sima'
pengetahuan yang membawa kepada iman dan
pemenuhan.
Sedangkan sima' pemahaman adalah sima'yang dinafi-kan dari
orang-orang
yang berpaling dan lalai, sebagaimana firman Allah,
"Maka sesungguhnya kamu tidak akan
sanggup menjadikan orangorang
yang mati dapat mendengar dan menjadikan
orang-orang yang tuli
dapat mendengar." (Ar-Rum: 52).
Sedangkan sima'
penerimaan dan pemenuhan terdapat di dalam
firman Allah
yang mengisahkan hamba-hamba-Nya yang beriman, yang
berkata, "Kami
mendengar dan kami taat". Ini merupakan sima' penerimaan
dan pemenuhan
yang menghasilkan ketaatan. Yang pasti, sima' ini
mencakup tiga
macam sima' ini, mereka tahu apa yang didengarkan,
memahami dan
memenuhinya.
Di antara
gambaran sima' penerimaan seperti firman Allah,
"Sedang di antara kalian ada
orang-orang yang amat suka mendengarkan
perkataan mereka (orang-orang
munafik)." (At-Taubah: 47).
Artinya mereka
menerima apa pun yang dikatakan orang-orang
munafik dan
menelannya begitu saja. Ini merupakan satu pendapat yang
paling benar
dari dua pendapat tentang makna ayat ini. Tentang pendapat
orang yang
mengatakan, bahwa artinya mereka mempunyai mata-mata,
maka ini
adalah pendapat yang lemah. Allah hendak mengabarkan hikmah
keterlibatan
orang-orang munafik dalam pasukan perang, bahwa mereka
hanya ingin
menciptakan kekacauan dan kerusakan serta menyebarkan isu
di tengah
pasukan. Sementara dalam pasukan Muslimin ada orang-orang
yang suka
menerima perkataan orang-orang munafik itu. Istilah mata-mata
seperti yang
lazim digunakan tidak disebut dengan kata samma' (orang
yang amat suka
mendengarkan), tapi disebut dengan kata jasus.
Maksud lebih
jauh, bahwa sima'-nya orang-orang yang khusus dan
suka
mendekatkan diri kepada Allah ialah dengan mendengarkan Al-
Qur'an dan
menggunakan tiga istilah ini: Mengetahui, memahami dan
memenuhi.
Allah memuji orang yang mendengarkan Al-Qur'an dan memerintahkan
para wali-Nya
untuk melakukannya, yaitu mendengarkan
ayat-ayat
Al-Qur'an dan bukan bait-bait syair, mendengarkan Al-Qur'an
dan bukan
lagu-lagu, mendengarkan kalam Allah yang menguasai langit
dan bumi,
bukan kasidah-kasidah para penyair, mendengarkan para nabi
dan rasul,
bukan para penyanyi.
Inilah Sima'
pendorong hati agar menuju sisi Allah, penggerak yang
membangkitkan
tekad agar mendapatkan derajat yang paling tinggi, penyeru
kepada iman,
penunjuk jalan yang menuntun ke surga, yang menyeru
hati setiap
pagi dan petang dengan alunan Hayya alal-falah.
2. Sima' Yang Dibenci dan Dimurkai Allah
Yaitu
mendengarkan segala sesuatu yang mendatangkan mudharat
terhadap
hamba, hati dan agamanya, seperti mendengarkan semua jenis
kebatilan,
kecuali jika ada maksud untuk menghambat, membatilkan dan
melarangnya
atau untuk tujuan kebalikan dari kebatilan itu. Sebab sesuatu
akan tampak
kebaikannya dengan kebalikannya, seperti yang dikatakan
dalam sebuah
syair,
"Cinta ini
semakin mekar karena mendengar kata-katamu justru pada
saat aku mendengar
perkataan selain dirimu."
Contohnya
adalah orang yang mendengarkan perkataan yang tidak
bermanfaat,
lalu dia menyuruh orang-orang untuk mendengarkannya dan
berpaling
darinya, sebagaimana dia juga berpaling darinya. Firman Allah,
"Dan, apabila mereka mendengar
perkataan yang tidak bermanfaat,
mereka berpaling daripadanya." (Al-Qashash: 55).
Muhammad bin
Al-Hanafiyah berkata, "Maksud perkataan yang
tidak
bermanfaat di dalam ayat ini adalah nyanyian."
Ibnu Mas'ud
berkata, "Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan
di dalam hati
sebagaimana air yang dapat menumbuhkan bawang."
Ini merupakan
pernyataan tentang dampak negatif nyanyian yang
bisa dirasakan
secara langsung. Selagi seseorang terbiasa mendengarkan
nyanyian, maka
di dalam hatinya tumbuh kemunafikan, sementara dia
tidak
menyadarinya. Andaikan dia tahu hakikat kemunafikan, tentu dia
akan
mengetahuinya di dalam hatinya. Di dalam hati seseorang tidak akan
tumbuh cinta
kepada Al-Qur'an dan cinta kepada nyanyian. Yang satu
tentu akan
menyisihkan yang lain. Kita bisa melihat bagaimana beratnya
Al-Qur'an ini
bagi orang-orang yang suka terhadap nyanyian, terlebih lagi
bagi
penyanyinya, bagaimana mereka merasa tersiksa jika ada bacaan Al-
Qur'an yang
terlalu lama atau hati mereka yang sama sekali tidak bisa
memetik
manfaat dari bacaan Al-Qur'an. Minimal hatinya tidak tersentuh
dan tidak
tergerak. Maka bagaimana mungkin hati mereka menjadi tentram,
menangis dan
menggigil jika mereka lebih suka berjaga di waktu malam
untuk
mendengarkan nyanyian dan mengumbar angan-angan? Kalaupun
hal ini bukan
merupakan kemunafikan, maka ini merupakan cikal bakal
kemunafikan.
Bagaimana
mungkin sesuatu yang didengarkan seorang hamba,
sesuai dengan
tabiat dan hawa nafsunya, dikatakan lebih bermanfaat dari
apa yang
didengarnya karena Allah dan berasal dari Allah? Tentu saja ini
merupakan
upaya pemutarbalikan fakta. Oleh karena itu kami katakan
bahwa
pembahasan tentang masalah ini tidak bisa netral dan obyektif
kecuali dengan
mengetahui gambaran apa yang didengarkan, hakikat,
sebab dan
tingkatannya. Allah telah menjadikan balasan untuk setiap
sesuatu.
Sekali-kali Allah tidak menjadikan bagian untuk orang yang mendengarkan
ayat-ayat-Nya,
sama dengan bagian orang yang biasa mendengarkan
nyanyian dan
lagu.
Yang paling
menggelikan, alasan yang dipergunakan orang-orang
yang
menghalalkan nyanyian ini, karena mendengarkan nyanyian sudah
menjadi
kebiasaan manusia, mereka bisa menikmatinya, jiwa merasa
tenang,
anak-anak juga merasa nyaman karena mendengarkan suara yang
mengalun
lembut, sehingga bisa menghilangkan rasa penat di badan saat
mengadakan
perjalanan jauh umpamanya. Suara merdu dan yang mengalun
lembut ini pun
merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada
pemiliknya dan
menambah keagungan dalam ciptaan-Nya. Sementara
Allah mencela
suara yang bising seperti suara keledai. Suara yang merdu ini
pun merupakan
nikmat Allah yang diberikan kepada para penghuni surga.
Maka bagaimana
mungkin nyanyian yang merdu ini diharamkan,
sementara ini
juga merupakan nikmat di dalam surga? Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam pun terpesona mendengar suara Abu Musa Al-
Asy'ary yang
sedang membaca Al-Qur'an dan memujinya, seraya bersabda,
"Orang
ini telah dianugerahi kemerduan di antara kemerduan keluarga
Daud."
Lalu Abu Musa
menimpali, "Andaikata aku tahu engkau sedang menyimak,
tentu aku akan
lebih membaguskannya lagi."
Beliau juga
bersabda,
"Hiasilah Al-Qur'an dengan suara kalian."
"Bukan termasuk golongan kami yang tidak pernah melagukan Al-
Qur'an."
Makna yang
benar tentang hadits ini, bahwa melagukan di sini
adalah
membaguskan suara. Maka Al-Imam Ahmad menafsirinya dengan
berkata,
"Membaguskan suara menurut kesanggupannya."
Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam juga memperkenankan bagi Aisyah
untuk
memanggil dua penyanyi dari budak perempuan pada led. Beliau
berkata kepada
Abu Bakar, "Biarkan saja mereka berdua. Karena setiap
kaum itu
mempunyai hari raya, dan sekarang inilah hari raya para pemeluk
Islam."
Beliau juga
pernah mengizinkan nyanyian dalam jamuan pengantin
dan
menyebutnya al-lahwu. Beliau pernah mendengar nyanyian dan
mengizinkannya.
Beliau pernah mendengar Anas dan shahabat lainnya
yang
melantunkan syair saat menggali parit sebelum perang Ahzab,
"Kepada Muhammad kami menyatakan sumpah setia untuk berjihad
selagi kami masih ada di dunia."
Sewaktu pulang
dari perang Khaibar, ada seseorang yang melantunkan
syair di dekat
beliau,
"Demi Allah,
kalau bukan karena-Nya kami tak mendapat petunjuk
kami tidak shalat dan tidak pula berinfak
turunkanlah ketenangan kepada kami
di medan perang kokohkan pijakan kaki
orang-orang yang akan melakukan penindasan
tak kan berhasil jika menimpakan cobaan
kami berteriak lantang saat datang
karena itu mereka lari tunggang langgang
hanya karunia-Mu yang kami harapkan."
Beliau pernah
berdoa bagi Hassan, agar Allah menguatkannya dengan
Ruhul-Qudus
dan meniupkan kepadanya, karena beliau sangat kagum
terhadap
syair-syairnya.
Ibnu Umar,
Abdullah bin Ja'far dan penduduk Madinah menetapkan
keringanan
hukum untuk nyanyian ini, dan masih banyak orang-orang
lain yang
pernah menghadiri dan mendengarkan nyanyian. Maka
barangsiapa
mengharamkan nyanyian, berarti dia telah melecehkan orangorang
yang tehormat
ini.
Pendengaran
bisa mendorong jiwa dan hati pendengarnya kepada
sesuatu yang
dicintainya. Jika yang dicintainya itu haram, maka pendengarannya
merupakan
penolong kepada sesuatu yang haram. Namun jika
yang
dicintainya mubah, maka pendengaran itu hukumnya juga mubah.
Jika
kecintaannya itu untuk menggugah rasa kasih sayang, maka itu
merupakan
taqarrub dan ketaatan, karena hal itu menggerakkan rasa kasih
sayang dan
cinta.
Kenikmatan
telinga mendengarkan suara yang merdu sama dengan
kenikmatan
mata melihat pemandangan yang indah, kenikmatan mulut
merasakan
makanan yang lezat, kenikmatan hidung mencium aroma yang
harum dan
sedap. Jika nyanyian ini haram, maka semua bentuk kenikmatan
ini pun juga
haram.
Jawaban dari
alasan yang mereka pergunakan, dapat dikatakan
sebagai
berikut: Bahwa alasan ini merupakan upaya menyimpangkan
tujuan,
mengalihkan masalah dari inti perselisihan dan bergantung kepada
sesuatu yang
tidak ada kaitannya.
Keberadaan
sesuatu yang bisa dinikmati indera dan sesuai dengannya,
tidak
menunjukkan pembolehan dan pengharaman, kemakruhan dan
anjurannya.
Kenikmatan mendengarkan nyanyian ini harus dikait-kan
secara tepat
kepada lima dasar hukum: Haram, wajib, makruh, sunat dan
mubah. Maka
bagaimanakah orang yang mengetahui syarat-syarat dalil
dan
penempatannya, melandaskan kenikmatan kepada dasar hukum ini?
Bukankah
alasan ini sama dengan orang yang membolehkan perzinaan
karena alasan
kenikmatan? Karena siapa pun yang mempu-nyai naluri
yang normal
tidak akan mengingkari kenikmatan hubungan seksual.
Apakah sekian
banyak hal-hal yang haram dihalalkan karena yang haram itu
nikmat dan
menyenangkan? Bukankah suara-suara alat musik yang
pengharamannya
telah disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para ulama pun
sudah menyepakati
pengharamannya,
termasuk kenikmatan yang dirasakan pendengaran?
Apakah
anak-anak yang menikmati suara merdu dapat dijadikan dalil atas
suatu
ketetapan hukum, halal atau haram?
Yang lebih
aneh lagi tentang alasan pembolehan nyanyian ini,
bahwa Allahlah
yang menciptakan suara yang merdu, yang berarti merupakan
tambahan
nikmat bagi pemiliknya. Rupa yang cantik menawan
juga merupakan
tambahan nikmat, dan Allahlah yang menciptakannya dan
memberikannya.
Apakah dengan begini boleh menikmati rupa yang cantik
tanpa ada
batasannya? Bukankah yang demikian ini merupakan pendapat
para penganut
paham permisivisme yang biasa mengikuti tuntutan naluri
dan birahi?
Apakah karena Allah mencela suara keledai bisa dijadikan dalil
pembolehan
musik, nyanyian dan lagu?
Yang lebih
aneh lagi ialah penggunaan dalil pembolehan mendengarkan
nyanyian,
karena para penghuni surga juga menikmatinya di
surga. Mungkin
yang lebih tepat lagi ialah membolehkan minum khamr,
karena para
penghuni surga juga menikmatinya di surga, membolehkan
kain sutera
karena para penghuni surga juga mengenakannya di surga.
Jika mereka
mengatakan, "Sudah ada dalil yang mengharamkan
khamr dan kain
sutera bagi kaum laki-laki. Sementara itu, tidak ada dalil
tentang
pengharaman mendengarkan." Maka dapat dijawab sebagai
berikut:
Penggunaan dalil ini lain dengan dalil yang digunakan tentang
pembolehannya
bagi penghuni surga. Dengan begitu jelas sudah bahwa
dalil yang
kalian gunakan tentang pembolehan nyanyian bagi penghuni
surga
merupakan tindakan yang salah dan batil, tidak bisa diterima. Tentang
tidak adanya
dalil pengharaman mendengarkan seperti anggapan kalian,
maka perlu
ditanyakan, pendengaran macam apa ini? Apa yang
didengarkan?
Harus ada pengaitan terhadap salah satu dasar hukum:
Haram, wajib,
makruh, sunat dan mubah. Tunjuk salah satu di antaranya
agar ada
kejelasan ketetapan dan penafiannya. Jika mendengarkan syair,
perlu
ditanyakan, syair macam apa? Jika isinya berupa pujian kepada Allah,
Rasul, agama
dan kitab-Nya, maka orang-orang Muslim biasa mendengarkan
dan bahkan
mempelajarinya. Itu pula yang didengarkan Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam, diakui dan
dianjurkannya. Dari sinilah
banyak orang
yang terkecoh, terutama mereka yang biasa mendengarkan
suara-suara
yang dikemas syetan. Mereka berkata, "Itu adalah bait-bait
syair, dan
yang kami dengarkan juga bait-bait syair. Jadi sudah klop."
Sunnah adalah
perkataan, bid'ah juga perkataan. Tasbih adalah perkataan,
ghibah juga
perkataan. Doa adalah perkataan, tuduhan juga perkataan.
Apakah di
antara dua perkara yang berlawanan ini juga dikatakan sama?
Apakah yang
didengarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan
para shahabat
juga sama dengan apa yang kalian dengarkan, yang berupa
suara-suara
berbau syetan?
Hal ini tidak
jauh berbeda dengan sikap mereka yang menganggap
baik suara
bacaan Al-Qur'an, anjuran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam dan kecintaan Allah kepadanya, sebagaimana mereka
menganggap
baik suara
wanita dan penyanyi, yang diiringi alunan alat-alat musik, yang
isi nyanyian
itu menggambarkan cinta kasih, orang yang mabuk kepayang
dilanda cinta,
menggambarkan bibir wanita yang merekah, pipi yang ranum,
tubuh yang
indah semampai, perpisahan dengan kekasih tercinta,
keresahan,
kegundahan hati dan lain sebagainya, yang jauh le-bih
merusak hati
daripada meminum khamr. Apalah artinya kerusakan selama
satu hari
karena minum khamr jika dibandingkan dengan keseronokan
dalam nyanyian
itu yang berpengaruh sepanjang waktu dan pendengarnya
bisa menjadi
tawanannya?
Sungguh aneh
sekali jika kalian melandaskan dalil tentang pembolehan
mendengarkan
nyanyian yang sudah menjadi kebiasaan semua
orang, dengan
nyanyian dua gadis kecil yang belum baligh pada hari raya
semasa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang melantunkan baitbait
syair bangsa
Arab yang menggambarkan patriotisme di medan peperangan
dan akhlak
yang mulia. Lalu di mana letak kesesuaiannya? Yang
lebih aneh
lagi, inilah alasan yang paling kalian andalkan untuk membolehkan
nyanyian. Abu
Bakar Ash-Shbiddiq menyebut nyanyian sebagai
seruling
syetan, dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ikut menegaskan
sebutan ini.
Lalu beliau membuat keringanan hukum untuk dua gadis
kecil yang
belum baligh yang sama sekali tidak mendatangkan mudharat
jika keduanya
melantunkannya atau orang lain mendengarkannya. Apakah
hal ini
menunjukkan pembolehan apa yang kalian lakukan, yang
mendengarkan
nyanyian-nyanyian yang isinya tidak perlu dijelaskan lagi?
Tanggapan
tentang alasan-alasan lain yang mereka pergunakan tidak jauh
berbeda dengan
tanggapan ini.
Untuk
menuntaskan perselisihan pendapat tentang hukum masalah
ini, harus ada
rincian tiga kaidah, dan ini merupakan kaidah iman dan
perilaku yang
paling penting. Siapa yang tidak berdiri pada tiga kaidah
ini, maka
bangunannya seperti bangunan di pinggir jurang. Tiga kaidah ini
adalah:
1. Apakah
perasaan, kata hati dan keadaan merupakan penentu hukum
atau yang
diberi ketentuan hukum, yang berarti harus ada penentu
hukum yang
lain baginya?
Di sinilah
sumber kesesatan orang-orang yang rusak ketika mereka
hendak
mengikuti jalan orang-orang yang benar. Pasalnya, mereka
menjadikan
perasaan ini sebagai penentu hukum untuk sesuatu yang
dianjurkan
atau yang dilarang, yang benar atau yang rusak. Mereka
menjadikan
perasaan sebagai pemilah kebenaran dan kebatilan.
Sehingga tidak
heran jika permasalahannya menjadi berlarut-larut,
kerusakan dan
kejahatan ada di mana-mana, sendi-sendi iman dan perilaku
tercabut,
jalan menjadi sesat, manusia menyembah Allah hanya
dengan
dibungkus perasaan dan akhirnya mereka menyembah diri
mereka
sendiri.
Kerusakan ada
di mana-mana karena manusia menjadikan perasaan
sebagai
penentu hukum. Karena perasaan itu berbeda-beda dan amat
banyak
warnanya. Setiap orang dan setiap golongan mempunyai perasaan
dan keadaan
sendiri-sendiri, selaras dengan keyakinan dan peri-lakunya.
2. Jika ada
perselisihan dalam hukum suatu perbuatan, keadaan atau
perasaan,
apakah hal itu benar atau salah, haq atau batil, maka per
masalahannya
harus dikembalikan kepada hujjah yang bisa diterima
di sisi Allah
dan hamba-hamba-Nya yang Mukmin. Hujjah ini merupakan
wahyu yang
menjadi sumber pengambilan hukum untuk setiap
keadaan dan
menjadi timbangannya. Siapa yang tidak melandaskan
ilmu, perilaku
dan perbuatannya ke dasar ini, maka dia tidak mempu
nyai urusan
sedikit pun dengan agama, yang berarti dia tertipu dan
terkecoh. Firman
Allah,
"Dan, orang-orang yang kafir,
amal-amal mereka laksana fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi
bila air itu didatangi, dia tidak
mendatapi sesuatu apa pun dan
didapatinya (ketetapan) Allah di
sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup dan
Allah adalah sangat
cepat perhitungan-Nya." (An-Nur: 39).
3. Jika hukum
sesuatu dianggap rumit atau samar-samar, apakah boleh
atau haram,
maka hendaklah dia melihat sisi kerusakan, hasil dan akibatnya.
Jika akibatnya
jelas mendatangkan kerusakan, maka mustahil
pembawa
syariat memerintahkannya dan membolehkannya. Terlebih
lagi jika hal
itu merupakan jalan yang bisa mendatangkan kemurkaan
Allah dan
Rasul-Nya serta menjauhkan dari-Nya. Tidak diragukan
bahwa yang
semacam ini diharamkan. Bagaimana mungkin
Allah Yang
Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui segala sesuatu
mengharamkan
barang yang memabukkan, sedikit apa pun, karena
yang sedikit
ini bisa menyeret kepada yang banyak, lalu Dia menghalalkan
yang lebih
besar akibatnya bagi jiwa, yang bisa menyeret kepa
da
perbuatan-perbuatan dosa lainnya?
Jika kalian
tidak mempunyai kesempatan untuk menyerahkan ketetapan
hukum kepada
perasaan, maka kami akan menghukumi kalian dengan
perasaan yang
tidak bisa kita ingkari. Marilah kita simak berikut ini.
Hati mempunyai
dua keadaan: Keadaan sedih dan berduka saat
kehilangan,
keadaan gembira dan suka saat mendapatkan apa yang
disu-kai.
Masing-masing dari dua keadaan ini mempunyai ubudiyah.
Dalam keadaan
yang pertama (sedih), maka ubudiyahnya adalah ridha
dan sa-bar.
Dalam keadaan yang kedua (gembira), maka ubudiyahnya
adalah syukur.
Dua ubudiyah ini dirintangi nafsu dan syetan, dengan
dua jenis
suara yang menunjukkan kebodohan dan keburukan, yang
keduanya
diperuntukkan bagi syetan dan bukan bagi Allah, yaitu:
Suara ratapan
saat sedih dan kehilangan sesuatu atau orang yang
dicintai,
suara yang tidak bermanfaat, musik dan nyanyian saat
gembira dan
mendapatkan sesuatu yang dicintai. Syetan mengganti dua
macam ubudiyah
dengan dua suara ini. Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam telah mengisyaratkan secara langsung dua makna ini
dalam hadits
dari Anas Radhiyallahu
Anhu, beliau bersabda,
"Aku hanya melarang dua jenis suara
yang bodoh dan buruk: Suara
kutukan saat mendapat musibah dan suara
musik saat mendapat
nikmat."
Siapa yang
lebih sedikit mendapatkan cahaya Nabawy tentu akan
mendapatkan
kesenangan dan kenikmatan dari nyanyian itu, atau bahkan
dia menjadikan
nyanyian itu sebagai sesembahannya. Akibatnya,
hatinya
menjadi keras saat mendengar nasihat orang yang
mengingkari-nya,
tabiatnya menjadi kaku, jiwanya terasa berat.
Untuk
mengobati hati orang yang keadaannya semacam ini, maka
secara
bertahap dia dapat beralih dengan mendengarkan bacaan Al-Qur'an
yang dibaca
dengan alunan lagu dan suara yang merdu, disertai pemahaman
makna-maknanya
dan mendalami seruan-seruannya. Hal ini bisa
dilakukan
secara perlahan-lahan dan bertahap, sampai akhirnya dia
bisa
meninggalkan kebiasaan lamanya yang suka mendengarkan lagulagu.
Mengganti
ratapan dengan sabar dan nyanyian dengan syukur merupakan
masalah yang
sangat penting dalam agama. Siapa yang menolak
hal ini adalah
orang yang jauh dari iman dan ilmu. Sebab syukur merupakan
kesibukan
dalam ketaatan kepada Allah, bukan dengan suara-suara
yang
menggambarkan kebodohan dan keburukan, yang hanya diperuntukkan
bagi syetan.
Begitu pula ratapan yang kebalikan dari sabar. Maka
dari itu Umar
bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu pernah menempeleng
seorang wanita
yang meratap tangis hingga kelihatan rambutnya,
seraya
berkata, "Wanita ini tidak mempunyai kehormatan diri, karena
dia menyuruh
kepada kegelisahan, padahal Allah melarangnya. Dia
melarang
sabar, padahal Allah memerintahkannya. Dia mendatangkan
cobaan bagi
orang yang hidup dan menyakiti orang yang meninggal. Dia
menjual peringatannya
dan menggugah kesedihan selainnya."
Semua orang
sudah tahu bahwa mudharat nyanyian dan lagu lebih besar
daripada
mudharat ratapan. Pengalaman menunjukkan bahwa di tempat
yang banyak
diisi dengan lagu dan nyanyian, tentu banyak terda-pat
musuh-musuh
Allah dan syetan, kejahatan dan keburukan. Orang yang
berakal
tentunya bisa melihat gambaran hal ini atau keadaan di
sekitarnya.
Pengarang Manazilus-Sa'irin
menjelaskan, bahwa sima' itu ada tiga
derajat:
1. Sima'-nya
orang-orang awam, yang meliputi tiga hal: Mengikuti
pemenuhan
celaan terhadap peringatan, mengusahakan pemenuhan
seruan janji,
dan memperhatikan pencapaian kesaksian karunia.
Peringatan di
sini bisa berarti meninggalkan apa yang diperintahkan
dan
mengerjakan apa yang dilarang. Mengikuti ini merupakan ketaatan
kepada Allah,
karena Allahlah yang memerintah, melarang dan
menjanjikan.
Mengerjakan apa yang diperintahkan didasarkan pada
cahaya iman
dan mengharap pahala. Meninggalkan apa yang dilarang
pun juga
didasarkan kepada cahaya iman, karena takut siksaan.
Mengusahakan
pemenuhan janji maksudnya melakukan perintah kare
na
mengharapkan apa yang dijanjikan, dengan berusaha semampu
mungkin.
Sedangkan
maksud memperhatikan pencapaian kesaksian karunia ialah
memperhatikan
bahwa semua kebaikan yang diperoleh merupakan
karunia dari
Allah, padahal belum tentu dia berhak mendapatkan
karunia itu.
Firman Allah,
"Mereka merasa telah memberikan
nikmat kepadamu dengan keislaman
mereka. Katakanlah, 'Janganlah kalian
merasa telah memberi nikmat
kepadaku dengan keislaman kalian,
sebenarnya Allahlah yang melimpahkan
nikmat kepada kalian dengan menunjuki
kalian kepada
keimanan jika kalian adalah orang-orang
yang benar'." (Al-Hujurat: 17).
Begitu pula
keduniaan yang tidak didapatkannya atau musibah yang
menimpanya,
maka semua itu dari Allah, yang harus diterima dengan
nalar yang
sehat. Di antara orang salaf berkata, "Wahai anak Adam,
kamu tidak
tahu mana di antara dua nikmat yang paling baik bagimu:
Nikmat Allah
yang diberikan kepadamu ataukah nikmat-Nya yang
disingkirkan
darimu."
Umar bin
Al-Khaththab berkata, "Aku tidak peduli apa yang terjadi pada
diriku di
waktu pagi atau petang hari. Jika ada kekayaan, maka itu perlu
disyukuri, dan
jika ada kemiskinan, maka harus sabar."
2 Sima'-nya orang-orang khusus, yang meliputi tiga hal:
Mempersaksikan
maksud dalam
setiap simbol, memperhatikan tujuan di setiap waktu,
dan tidak
membebaskan diri dari kenikmatan perpisahan.
Mempersaksikan
maksud dalam setiap simbol artinya mempersaksikan
keberadaan
Allah dalam segala sesuatu, karena semua yang bisa didengar
memperkenalkan
Allah, sifat, asma', janji, ancaman, perbuatan,
hukum,
perintah, larangan, keadilan dan karunia-Nya.
Memperhatikan
tujuan di setiap waktu artinya mencari dan mengadakan
perjalanan
agar dengan apa yang didengarkan dapat menghantarkan ke
tujuan, yaitu
Allah. Sedangkan tidak membebaskan diri dari kenikmatan
perpisahan
artinya memisahkan diri dari makna-makna yang didengar,
karena dengan
mengalihkan hati darinya bisa mendatangkan
kenikmatan.
3. Si ma '-nya
orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus
ialah sima'yang
menyingkirkan penghambat hati untuk penyingkapan,
menghantarkan
keabadian ke keazalian dan mengembalikan kesudahan
ke permulaan.
Maksud
menyingkirkan penghambat hati untuk penyingkapan ialah
penyingkapan
hakikat apa yang didengarkan, sehingga tidak ada lagi
syubhat dan
tidak ada penghalang antara orang yang mendengar dan
apa yang
didengar.
Sedangkan yang
kedua dan ketiga, jika dipahami menurut zhahirnya
termasuk
sesuatu yang mustahil.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan