Catatan Popular

Sabtu, 15 Ogos 2015

KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 29 : SIMA’



IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH

Di antara macam-macam tempat persinggahan iyyaka na'budu wa
iyyaka nasta'in adalah sima' yang berarti mendengarkan. Sima' merupakan
mashdar seperti kata niyat. Allah telah memerintahkan sima' ini di dalam
Kitab-Nya, memuji para pelakunya dan mengabarkan bahwa mereka akan
mendapat kabar gembira. Firman-Nya,

"Sekiranya mereka mengatakan, 'Kami mendengar dan patuh, dengarlah
dan perhatikanlah kami', tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih
tepat." (An-Nisa': 46

"Maka sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang-orang yangmempunyai akal."(Az-Zumar. 17-18).

Pendengaran yang diberikan Allah dan mereka yang bisa mendengar
merupakan bukti bahwa mereka mengetahui pengabaran tentang diri
mereka. Jika tidak, berarti mereka tidak mempunyai bukti itu. Firman-
Nya,

"Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada diri mereka, tentulah
Allah menjadikan mereka dapat mendengar, dan jikalau Allah
menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka berpaling juga."
(Al-Anfal: 23).

Allah mengabarkan tentang musuh-musuh-Nya, bahwa mereka
tidak mau menden gar dan menghalangi orang lain untuk mendengar,

"Dan orang-orang yang kafir berkata, 'Janganlah kalian mendengar dengan
sungguh-sungguh akan Al-Qur'an ini dan buatlah hiruk pikuk
terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)."
(Fushshilat: 26).

Sima' merupakan utusan iman ke hati, penyeru dan pengajarnya.
Berapa banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an, "Tidakkah kalian mendengar?"
Sima' merupakan dasar akal dan asas iman untuk sesuatu yang
dibangun di atasnya, juga merupakan penuntun, tangan kanan dan pendampingnya.
Tapi yang lebih penting lagi adalah apa jenis yang didengarkan.
Inilah yang menjadi pangkal perbedaan pendapat dan juga kesalahan
di kalangan manusia.
Hakikat sima' merupakan peringatan bagi hati tentang makna yang
didengarkan. Penggeraknya adalah pencarian, penghindaran, cinta dan
kebencian, yang merupakan pendorong bagi setiap orang hingga dia
berada di tempat berpijaknya. Di antara mereka ada yang mendengar
dengan naluri, hasrat jiwa dan nafsunya. Tentu saja yang demikian ini
sejalan dengan pembawaannya. Di antara mereka ada yang mendengar
beserta Allah dan tidak mau mendengar dengan selain Allah. Yang pasti,
pembicaraan tentang sima' harus dikaitkan dengan pujian dan celaan,
yang berarti harus ada kejelasan tentang gambaran yang didengarkan,
hakikat, sebab, pendorong, hasil dan tujuannya. Dengan uraian di bawah ini
bisa dirinci masalah sima' ini, dapat dibedakan mana yang berman-faat dan
mana yang berbahaya, mana yang haq dan mana yang batil, mana yang
terpuji dan mana yang tercela.
Apa (obyek) yang didengarkan bisa dibagi menjadi tiga macam:


1 Sima' Yang Dicintai dan Diridhai Allah

Ini merupakan sima' yang diperintahkan Allah di Kitab-Nya, yang
pelakunya dipuji dan disanjung, yang berpaling darinya dicela dan dilak-nat,
bahkan mereka dianggap lebih sesat daripada binatang dan mereka
menjadi penghuni neraka. Firman-Nya,

"Dan mereka berkata, 'Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) niscaya kami tidak termasuk penghuni-penghuni neraka
yang menyala-nyala." (Al-Mulk: 10)
.
Sima' merupakan dasar bangunan yang didirikan di atasnya. Ada tiga
macam sima': Sima' pengetahuan dengan indera pendengaran, sima'
pemahaman dan akal, sima' pemahaman, pemenuhan dan penerimaan.
Tiga macam ini disebutkan di dalam Al-Qur'an. Sima' pengetahuan disebutkan
dalam firman Allah yang mengisahkan para jin yang beriman,
yang berkata,

"Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur'an yang menakjub-kan,
(yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman
kepadanya." (Al-Jinn: 1-2).

Ini merupakan sima' pengetahuan yang membawa kepada iman dan
pemenuhan. Sedangkan sima' pemahaman adalah sima'yang dinafi-kan dari
orang-orang yang berpaling dan lalai, sebagaimana firman Allah,

"Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orangorang
yang mati dapat mendengar dan menjadikan orang-orang yang tuli
dapat mendengar." (Ar-Rum: 52).

Sedangkan sima' penerimaan dan pemenuhan terdapat di dalam
firman Allah yang mengisahkan hamba-hamba-Nya yang beriman, yang
berkata, "Kami mendengar dan kami taat". Ini merupakan sima' penerimaan
dan pemenuhan yang menghasilkan ketaatan. Yang pasti, sima' ini
mencakup tiga macam sima' ini, mereka tahu apa yang didengarkan,
memahami dan memenuhinya.
Di antara gambaran sima' penerimaan seperti firman Allah,

"Sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan
perkataan mereka (orang-orang munafik)." (At-Taubah: 47).

Artinya mereka menerima apa pun yang dikatakan orang-orang
munafik dan menelannya begitu saja. Ini merupakan satu pendapat yang
paling benar dari dua pendapat tentang makna ayat ini. Tentang pendapat
orang yang mengatakan, bahwa artinya mereka mempunyai mata-mata,
maka ini adalah pendapat yang lemah. Allah hendak mengabarkan hikmah
keterlibatan orang-orang munafik dalam pasukan perang, bahwa mereka
hanya ingin menciptakan kekacauan dan kerusakan serta menyebarkan isu
di tengah pasukan. Sementara dalam pasukan Muslimin ada orang-orang
yang suka menerima perkataan orang-orang munafik itu. Istilah mata-mata
seperti yang lazim digunakan tidak disebut dengan kata samma' (orang
yang amat suka mendengarkan), tapi disebut dengan kata jasus.
Maksud lebih jauh, bahwa sima'-nya orang-orang yang khusus dan
suka mendekatkan diri kepada Allah ialah dengan mendengarkan Al-
Qur'an dan menggunakan tiga istilah ini: Mengetahui, memahami dan
memenuhi. Allah memuji orang yang mendengarkan Al-Qur'an dan memerintahkan
para wali-Nya untuk melakukannya, yaitu mendengarkan
ayat-ayat Al-Qur'an dan bukan bait-bait syair, mendengarkan Al-Qur'an
dan bukan lagu-lagu, mendengarkan kalam Allah yang menguasai langit
dan bumi, bukan kasidah-kasidah para penyair, mendengarkan para nabi
dan rasul, bukan para penyanyi.
Inilah Sima' pendorong hati agar menuju sisi Allah, penggerak yang
membangkitkan tekad agar mendapatkan derajat yang paling tinggi, penyeru
kepada iman, penunjuk jalan yang menuntun ke surga, yang menyeru
hati setiap pagi dan petang dengan alunan Hayya alal-falah.


2. Sima' Yang Dibenci dan Dimurkai Allah

Yaitu mendengarkan segala sesuatu yang mendatangkan mudharat
terhadap hamba, hati dan agamanya, seperti mendengarkan semua jenis
kebatilan, kecuali jika ada maksud untuk menghambat, membatilkan dan
melarangnya atau untuk tujuan kebalikan dari kebatilan itu. Sebab sesuatu
akan tampak kebaikannya dengan kebalikannya, seperti yang dikatakan
dalam sebuah syair,

"Cinta ini semakin mekar karena mendengar kata-katamu justru pada
saat aku mendengar perkataan selain dirimu."

Contohnya adalah orang yang mendengarkan perkataan yang tidak
bermanfaat, lalu dia menyuruh orang-orang untuk mendengarkannya dan
berpaling darinya, sebagaimana dia juga berpaling darinya. Firman Allah,

"Dan, apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat,
mereka berpaling daripadanya." (Al-Qashash: 55).

Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata, "Maksud perkataan yang
tidak bermanfaat di dalam ayat ini adalah nyanyian."
Ibnu Mas'ud berkata, "Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan
di dalam hati sebagaimana air yang dapat menumbuhkan bawang."
Ini merupakan pernyataan tentang dampak negatif nyanyian yang
bisa dirasakan secara langsung. Selagi seseorang terbiasa mendengarkan
nyanyian, maka di dalam hatinya tumbuh kemunafikan, sementara dia
tidak menyadarinya. Andaikan dia tahu hakikat kemunafikan, tentu dia
akan mengetahuinya di dalam hatinya. Di dalam hati seseorang tidak akan
tumbuh cinta kepada Al-Qur'an dan cinta kepada nyanyian. Yang satu
tentu akan menyisihkan yang lain. Kita bisa melihat bagaimana beratnya
Al-Qur'an ini bagi orang-orang yang suka terhadap nyanyian, terlebih lagi
bagi penyanyinya, bagaimana mereka merasa tersiksa jika ada bacaan Al-
Qur'an yang terlalu lama atau hati mereka yang sama sekali tidak bisa
memetik manfaat dari bacaan Al-Qur'an. Minimal hatinya tidak tersentuh
dan tidak tergerak. Maka bagaimana mungkin hati mereka menjadi tentram,
menangis dan menggigil jika mereka lebih suka berjaga di waktu malam
untuk mendengarkan nyanyian dan mengumbar angan-angan? Kalaupun
hal ini bukan merupakan kemunafikan, maka ini merupakan cikal bakal
kemunafikan.
Bagaimana mungkin sesuatu yang didengarkan seorang hamba,
sesuai dengan tabiat dan hawa nafsunya, dikatakan lebih bermanfaat dari
apa yang didengarnya karena Allah dan berasal dari Allah? Tentu saja ini
merupakan upaya pemutarbalikan fakta. Oleh karena itu kami katakan
bahwa pembahasan tentang masalah ini tidak bisa netral dan obyektif
kecuali dengan mengetahui gambaran apa yang didengarkan, hakikat,
sebab dan tingkatannya. Allah telah menjadikan balasan untuk setiap
sesuatu. Sekali-kali Allah tidak menjadikan bagian untuk orang yang mendengarkan
ayat-ayat-Nya, sama dengan bagian orang yang biasa mendengarkan
nyanyian dan lagu.
Yang paling menggelikan, alasan yang dipergunakan orang-orang
yang menghalalkan nyanyian ini, karena mendengarkan nyanyian sudah
menjadi kebiasaan manusia, mereka bisa menikmatinya, jiwa merasa
tenang, anak-anak juga merasa nyaman karena mendengarkan suara yang
mengalun lembut, sehingga bisa menghilangkan rasa penat di badan saat
mengadakan perjalanan jauh umpamanya. Suara merdu dan yang mengalun
lembut ini pun merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada
pemiliknya dan menambah keagungan dalam ciptaan-Nya. Sementara
Allah mencela suara yang bising seperti suara keledai. Suara yang merdu ini
pun merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada para penghuni surga.
Maka bagaimana mungkin nyanyian yang merdu ini diharamkan,
sementara ini juga merupakan nikmat di dalam surga? Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam pun terpesona mendengar suara Abu Musa Al-
Asy'ary yang sedang membaca Al-Qur'an dan memujinya, seraya bersabda,
"Orang ini telah dianugerahi kemerduan di antara kemerduan keluarga
Daud."
Lalu Abu Musa menimpali, "Andaikata aku tahu engkau sedang menyimak,
tentu aku akan lebih membaguskannya lagi."
Beliau juga bersabda,
"Hiasilah Al-Qur'an dengan suara kalian."
"Bukan termasuk golongan kami yang tidak pernah melagukan Al-
Qur'an."
Makna yang benar tentang hadits ini, bahwa melagukan di sini
adalah membaguskan suara. Maka Al-Imam Ahmad menafsirinya dengan
berkata, "Membaguskan suara menurut kesanggupannya."
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga memperkenankan bagi Aisyah
untuk memanggil dua penyanyi dari budak perempuan pada led. Beliau
berkata kepada Abu Bakar, "Biarkan saja mereka berdua. Karena setiap
kaum itu mempunyai hari raya, dan sekarang inilah hari raya para pemeluk
Islam."
Beliau juga pernah mengizinkan nyanyian dalam jamuan pengantin
dan menyebutnya al-lahwu. Beliau pernah mendengar nyanyian dan
mengizinkannya. Beliau pernah mendengar Anas dan shahabat lainnya
yang melantunkan syair saat menggali parit sebelum perang Ahzab,
"Kepada Muhammad kami menyatakan sumpah setia untuk berjihad
selagi kami masih ada di dunia."
Sewaktu pulang dari perang Khaibar, ada seseorang yang melantunkan
syair di dekat beliau,

"Demi Allah,
kalau bukan karena-Nya kami tak mendapat petunjuk
kami tidak shalat dan tidak pula berinfak
turunkanlah ketenangan kepada kami
di medan perang kokohkan pijakan kaki
orang-orang yang akan melakukan penindasan
tak kan berhasil jika menimpakan cobaan
kami berteriak lantang saat datang
karena itu mereka lari tunggang langgang
hanya karunia-Mu yang kami harapkan."

Beliau pernah berdoa bagi Hassan, agar Allah menguatkannya dengan
Ruhul-Qudus dan meniupkan kepadanya, karena beliau sangat kagum
terhadap syair-syairnya.
Ibnu Umar, Abdullah bin Ja'far dan penduduk Madinah menetapkan
keringanan hukum untuk nyanyian ini, dan masih banyak orang-orang
lain yang pernah menghadiri dan mendengarkan nyanyian. Maka
barangsiapa mengharamkan nyanyian, berarti dia telah melecehkan orangorang
yang tehormat ini.
Pendengaran bisa mendorong jiwa dan hati pendengarnya kepada
sesuatu yang dicintainya. Jika yang dicintainya itu haram, maka pendengarannya
merupakan penolong kepada sesuatu yang haram. Namun jika
yang dicintainya mubah, maka pendengaran itu hukumnya juga mubah.
Jika kecintaannya itu untuk menggugah rasa kasih sayang, maka itu
merupakan taqarrub dan ketaatan, karena hal itu menggerakkan rasa kasih
sayang dan cinta.
Kenikmatan telinga mendengarkan suara yang merdu sama dengan
kenikmatan mata melihat pemandangan yang indah, kenikmatan mulut
merasakan makanan yang lezat, kenikmatan hidung mencium aroma yang
harum dan sedap. Jika nyanyian ini haram, maka semua bentuk kenikmatan
ini pun juga haram.
Jawaban dari alasan yang mereka pergunakan, dapat dikatakan
sebagai berikut: Bahwa alasan ini merupakan upaya menyimpangkan
tujuan, mengalihkan masalah dari inti perselisihan dan bergantung kepada
sesuatu yang tidak ada kaitannya.
Keberadaan sesuatu yang bisa dinikmati indera dan sesuai dengannya,
tidak menunjukkan pembolehan dan pengharaman, kemakruhan dan
anjurannya. Kenikmatan mendengarkan nyanyian ini harus dikait-kan
secara tepat kepada lima dasar hukum: Haram, wajib, makruh, sunat dan
mubah. Maka bagaimanakah orang yang mengetahui syarat-syarat dalil
dan penempatannya, melandaskan kenikmatan kepada dasar hukum ini?
Bukankah alasan ini sama dengan orang yang membolehkan perzinaan
karena alasan kenikmatan? Karena siapa pun yang mempu-nyai naluri
yang normal tidak akan mengingkari kenikmatan hubungan seksual.
Apakah sekian banyak hal-hal yang haram dihalalkan karena yang haram itu
nikmat dan menyenangkan? Bukankah suara-suara alat musik yang
pengharamannya telah disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para ulama pun sudah menyepakati
pengharamannya, termasuk kenikmatan yang dirasakan pendengaran?
Apakah anak-anak yang menikmati suara merdu dapat dijadikan dalil atas
suatu ketetapan hukum, halal atau haram?
Yang lebih aneh lagi tentang alasan pembolehan nyanyian ini,
bahwa Allahlah yang menciptakan suara yang merdu, yang berarti merupakan
tambahan nikmat bagi pemiliknya. Rupa yang cantik menawan
juga merupakan tambahan nikmat, dan Allahlah yang menciptakannya dan
memberikannya. Apakah dengan begini boleh menikmati rupa yang cantik
tanpa ada batasannya? Bukankah yang demikian ini merupakan pendapat
para penganut paham permisivisme yang biasa mengikuti tuntutan naluri
dan birahi? Apakah karena Allah mencela suara keledai bisa dijadikan dalil
pembolehan musik, nyanyian dan lagu?
Yang lebih aneh lagi ialah penggunaan dalil pembolehan mendengarkan
nyanyian, karena para penghuni surga juga menikmatinya di
surga. Mungkin yang lebih tepat lagi ialah membolehkan minum khamr,
karena para penghuni surga juga menikmatinya di surga, membolehkan
kain sutera karena para penghuni surga juga mengenakannya di surga.
Jika mereka mengatakan, "Sudah ada dalil yang mengharamkan
khamr dan kain sutera bagi kaum laki-laki. Sementara itu, tidak ada dalil
tentang pengharaman mendengarkan." Maka dapat dijawab sebagai
berikut: Penggunaan dalil ini lain dengan dalil yang digunakan tentang
pembolehannya bagi penghuni surga. Dengan begitu jelas sudah bahwa
dalil yang kalian gunakan tentang pembolehan nyanyian bagi penghuni
surga merupakan tindakan yang salah dan batil, tidak bisa diterima. Tentang
tidak adanya dalil pengharaman mendengarkan seperti anggapan kalian,
maka perlu ditanyakan, pendengaran macam apa ini? Apa yang
didengarkan? Harus ada pengaitan terhadap salah satu dasar hukum:
Haram, wajib, makruh, sunat dan mubah. Tunjuk salah satu di antaranya
agar ada kejelasan ketetapan dan penafiannya. Jika mendengarkan syair,
perlu ditanyakan, syair macam apa? Jika isinya berupa pujian kepada Allah,
Rasul, agama dan kitab-Nya, maka orang-orang Muslim biasa mendengarkan
dan bahkan mempelajarinya. Itu pula yang didengarkan Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam, diakui dan dianjurkannya. Dari sinilah
banyak orang yang terkecoh, terutama mereka yang biasa mendengarkan
suara-suara yang dikemas syetan. Mereka berkata, "Itu adalah bait-bait
syair, dan yang kami dengarkan juga bait-bait syair. Jadi sudah klop."
Sunnah adalah perkataan, bid'ah juga perkataan. Tasbih adalah perkataan,
ghibah juga perkataan. Doa adalah perkataan, tuduhan juga perkataan.
Apakah di antara dua perkara yang berlawanan ini juga dikatakan sama?
Apakah yang didengarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan
para shahabat juga sama dengan apa yang kalian dengarkan, yang berupa
suara-suara berbau syetan?
Hal ini tidak jauh berbeda dengan sikap mereka yang menganggap
baik suara bacaan Al-Qur'an, anjuran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam dan kecintaan Allah kepadanya, sebagaimana mereka menganggap
baik suara wanita dan penyanyi, yang diiringi alunan alat-alat musik, yang
isi nyanyian itu menggambarkan cinta kasih, orang yang mabuk kepayang
dilanda cinta, menggambarkan bibir wanita yang merekah, pipi yang ranum,
tubuh yang indah semampai, perpisahan dengan kekasih tercinta,
keresahan, kegundahan hati dan lain sebagainya, yang jauh le-bih
merusak hati daripada meminum khamr. Apalah artinya kerusakan selama
satu hari karena minum khamr jika dibandingkan dengan keseronokan
dalam nyanyian itu yang berpengaruh sepanjang waktu dan pendengarnya
bisa menjadi tawanannya?
Sungguh aneh sekali jika kalian melandaskan dalil tentang pembolehan
mendengarkan nyanyian yang sudah menjadi kebiasaan semua
orang, dengan nyanyian dua gadis kecil yang belum baligh pada hari raya
semasa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang melantunkan baitbait
syair bangsa Arab yang menggambarkan patriotisme di medan peperangan
dan akhlak yang mulia. Lalu di mana letak kesesuaiannya? Yang
lebih aneh lagi, inilah alasan yang paling kalian andalkan untuk membolehkan
nyanyian. Abu Bakar Ash-Shbiddiq menyebut nyanyian sebagai
seruling syetan, dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ikut menegaskan
sebutan ini. Lalu beliau membuat keringanan hukum untuk dua gadis
kecil yang belum baligh yang sama sekali tidak mendatangkan mudharat
jika keduanya melantunkannya atau orang lain mendengarkannya. Apakah
hal ini menunjukkan pembolehan apa yang kalian lakukan, yang
mendengarkan nyanyian-nyanyian yang isinya tidak perlu dijelaskan lagi?
Tanggapan tentang alasan-alasan lain yang mereka pergunakan tidak jauh
berbeda dengan tanggapan ini.

Untuk menuntaskan perselisihan pendapat tentang hukum masalah
ini, harus ada rincian tiga kaidah, dan ini merupakan kaidah iman dan
perilaku yang paling penting. Siapa yang tidak berdiri pada tiga kaidah
ini, maka bangunannya seperti bangunan di pinggir jurang. Tiga kaidah ini
adalah:

1. Apakah perasaan, kata hati dan keadaan merupakan penentu hukum
atau yang diberi ketentuan hukum, yang berarti harus ada penentu
hukum yang lain baginya?
Di sinilah sumber kesesatan orang-orang yang rusak ketika mereka
hendak mengikuti jalan orang-orang yang benar. Pasalnya, mereka
menjadikan perasaan ini sebagai penentu hukum untuk sesuatu yang
dianjurkan atau yang dilarang, yang benar atau yang rusak. Mereka
menjadikan perasaan sebagai pemilah kebenaran dan kebatilan.
Sehingga tidak heran jika permasalahannya menjadi berlarut-larut,
kerusakan dan kejahatan ada di mana-mana, sendi-sendi iman dan perilaku
tercabut, jalan menjadi sesat, manusia menyembah Allah hanya
dengan dibungkus perasaan dan akhirnya mereka menyembah diri
mereka sendiri.
Kerusakan ada di mana-mana karena manusia menjadikan perasaan
sebagai penentu hukum. Karena perasaan itu berbeda-beda dan amat
banyak warnanya. Setiap orang dan setiap golongan mempunyai perasaan
dan keadaan sendiri-sendiri, selaras dengan keyakinan dan peri-lakunya.

2. Jika ada perselisihan dalam hukum suatu perbuatan, keadaan atau
perasaan, apakah hal itu benar atau salah, haq atau batil, maka per
masalahannya harus dikembalikan kepada hujjah yang bisa diterima
di sisi Allah dan hamba-hamba-Nya yang Mukmin. Hujjah ini merupakan
wahyu yang menjadi sumber pengambilan hukum untuk setiap
keadaan dan menjadi timbangannya. Siapa yang tidak melandaskan
ilmu, perilaku dan perbuatannya ke dasar ini, maka dia tidak mempu
nyai urusan sedikit pun dengan agama, yang berarti dia tertipu dan
terkecoh. Firman Allah,

"Dan, orang-orang yang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi
bila air itu didatangi, dia tidak mendatapi sesuatu apa pun dan
didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat
cepat perhitungan-Nya." (An-Nur: 39).

3. Jika hukum sesuatu dianggap rumit atau samar-samar, apakah boleh
atau haram, maka hendaklah dia melihat sisi kerusakan, hasil dan akibatnya.
Jika akibatnya jelas mendatangkan kerusakan, maka mustahil
pembawa syariat memerintahkannya dan membolehkannya. Terlebih
lagi jika hal itu merupakan jalan yang bisa mendatangkan kemurkaan
Allah dan Rasul-Nya serta menjauhkan dari-Nya. Tidak diragukan
bahwa yang semacam ini diharamkan. Bagaimana mungkin
Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui segala sesuatu
mengharamkan barang yang memabukkan, sedikit apa pun, karena
yang sedikit ini bisa menyeret kepada yang banyak, lalu Dia menghalalkan
yang lebih besar akibatnya bagi jiwa, yang bisa menyeret kepa
da perbuatan-perbuatan dosa lainnya?
Jika kalian tidak mempunyai kesempatan untuk menyerahkan ketetapan
hukum kepada perasaan, maka kami akan menghukumi kalian dengan
perasaan yang tidak bisa kita ingkari. Marilah kita simak berikut ini.
Hati mempunyai dua keadaan: Keadaan sedih dan berduka saat
kehilangan, keadaan gembira dan suka saat mendapatkan apa yang
disu-kai. Masing-masing dari dua keadaan ini mempunyai ubudiyah.
Dalam keadaan yang pertama (sedih), maka ubudiyahnya adalah ridha
dan sa-bar. Dalam keadaan yang kedua (gembira), maka ubudiyahnya
adalah syukur. Dua ubudiyah ini dirintangi nafsu dan syetan, dengan
dua jenis suara yang menunjukkan kebodohan dan keburukan, yang
keduanya diperuntukkan bagi syetan dan bukan bagi Allah, yaitu:
Suara ratapan saat sedih dan kehilangan sesuatu atau orang yang
dicintai, suara yang tidak bermanfaat, musik dan nyanyian saat
gembira dan mendapatkan sesuatu yang dicintai. Syetan mengganti dua
macam ubudiyah dengan dua suara ini. Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam telah mengisyaratkan secara langsung dua makna ini dalam hadits
dari Anas Radhiyallahu Anhu, beliau bersabda,

"Aku hanya melarang dua jenis suara yang bodoh dan buruk: Suara
kutukan saat mendapat musibah dan suara musik saat mendapat
nikmat."

Siapa yang lebih sedikit mendapatkan cahaya Nabawy tentu akan
mendapatkan kesenangan dan kenikmatan dari nyanyian itu, atau bahkan
dia menjadikan nyanyian itu sebagai sesembahannya. Akibatnya,
hatinya menjadi keras saat mendengar nasihat orang yang
mengingkari-nya, tabiatnya menjadi kaku, jiwanya terasa berat.
Untuk mengobati hati orang yang keadaannya semacam ini, maka
secara bertahap dia dapat beralih dengan mendengarkan bacaan Al-Qur'an
yang dibaca dengan alunan lagu dan suara yang merdu, disertai pemahaman
makna-maknanya dan mendalami seruan-seruannya. Hal ini bisa
dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap, sampai akhirnya dia
bisa meninggalkan kebiasaan lamanya yang suka mendengarkan lagulagu.
Mengganti ratapan dengan sabar dan nyanyian dengan syukur merupakan
masalah yang sangat penting dalam agama. Siapa yang menolak
hal ini adalah orang yang jauh dari iman dan ilmu. Sebab syukur merupakan
kesibukan dalam ketaatan kepada Allah, bukan dengan suara-suara
yang menggambarkan kebodohan dan keburukan, yang hanya diperuntukkan
bagi syetan. Begitu pula ratapan yang kebalikan dari sabar. Maka
dari itu Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu pernah menempeleng
seorang wanita yang meratap tangis hingga kelihatan rambutnya,
seraya berkata, "Wanita ini tidak mempunyai kehormatan diri, karena
dia menyuruh kepada kegelisahan, padahal Allah melarangnya. Dia
melarang sabar, padahal Allah memerintahkannya. Dia mendatangkan
cobaan bagi orang yang hidup dan menyakiti orang yang meninggal. Dia
menjual peringatannya dan menggugah kesedihan selainnya."
Semua orang sudah tahu bahwa mudharat nyanyian dan lagu lebih besar
daripada mudharat ratapan. Pengalaman menunjukkan bahwa di tempat
yang banyak diisi dengan lagu dan nyanyian, tentu banyak terda-pat
musuh-musuh Allah dan syetan, kejahatan dan keburukan. Orang yang
berakal tentunya bisa melihat gambaran hal ini atau keadaan di
sekitarnya.

Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan, bahwa sima' itu ada tiga
derajat:

1. Sima'-nya orang-orang awam, yang meliputi tiga hal: Mengikuti
pemenuhan celaan terhadap peringatan, mengusahakan pemenuhan
seruan janji, dan memperhatikan pencapaian kesaksian karunia.
Peringatan di sini bisa berarti meninggalkan apa yang diperintahkan
dan mengerjakan apa yang dilarang. Mengikuti ini merupakan ketaatan
kepada Allah, karena Allahlah yang memerintah, melarang dan
menjanjikan. Mengerjakan apa yang diperintahkan didasarkan pada
cahaya iman dan mengharap pahala. Meninggalkan apa yang dilarang
pun juga didasarkan kepada cahaya iman, karena takut siksaan.
Mengusahakan pemenuhan janji maksudnya melakukan perintah kare
na mengharapkan apa yang dijanjikan, dengan berusaha semampu
mungkin.
Sedangkan maksud memperhatikan pencapaian kesaksian karunia ialah
memperhatikan bahwa semua kebaikan yang diperoleh merupakan
karunia dari Allah, padahal belum tentu dia berhak mendapatkan
karunia itu. Firman Allah,

"Mereka merasa telah memberikan nikmat kepadamu dengan keislaman
mereka. Katakanlah, 'Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat
kepadaku dengan keislaman kalian, sebenarnya Allahlah yang melimpahkan
nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada
keimanan jika kalian adalah orang-orang yang benar'." (Al-Hujurat: 17).

Begitu pula keduniaan yang tidak didapatkannya atau musibah yang
menimpanya, maka semua itu dari Allah, yang harus diterima dengan
nalar yang sehat. Di antara orang salaf berkata, "Wahai anak Adam,
kamu tidak tahu mana di antara dua nikmat yang paling baik bagimu:
Nikmat Allah yang diberikan kepadamu ataukah nikmat-Nya yang
disingkirkan darimu."
Umar bin Al-Khaththab berkata, "Aku tidak peduli apa yang terjadi pada
diriku di waktu pagi atau petang hari. Jika ada kekayaan, maka itu perlu
disyukuri, dan jika ada kemiskinan, maka harus sabar."

2 Sima'-nya orang-orang khusus, yang meliputi tiga hal: Mempersaksikan
maksud dalam setiap simbol, memperhatikan tujuan di setiap waktu,
dan tidak membebaskan diri dari kenikmatan perpisahan.
Mempersaksikan maksud dalam setiap simbol artinya mempersaksikan
keberadaan Allah dalam segala sesuatu, karena semua yang bisa didengar
memperkenalkan Allah, sifat, asma', janji, ancaman, perbuatan,
hukum, perintah, larangan, keadilan dan karunia-Nya.
Memperhatikan tujuan di setiap waktu artinya mencari dan mengadakan
perjalanan agar dengan apa yang didengarkan dapat menghantarkan ke
tujuan, yaitu Allah. Sedangkan tidak membebaskan diri dari kenikmatan
perpisahan artinya memisahkan diri dari makna-makna yang didengar,
karena dengan mengalihkan hati darinya bisa mendatangkan
kenikmatan.

3. Si ma '-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus
ialah sima'yang menyingkirkan penghambat hati untuk penyingkapan,
menghantarkan keabadian ke keazalian dan mengembalikan kesudahan
ke permulaan.
Maksud menyingkirkan penghambat hati untuk penyingkapan ialah
penyingkapan hakikat apa yang didengarkan, sehingga tidak ada lagi
syubhat dan tidak ada penghalang antara orang yang mendengar dan
apa yang didengar.
Sedangkan yang kedua dan ketiga, jika dipahami menurut zhahirnya
termasuk sesuatu yang mustahil.

Tiada ulasan: