BAHAGIAN KETIGA : Tentang kebersihan dan pembersihan
dari sisa-sisa sesuatu yang nyata. Iaitu dua macam: daki
dan bahagian-bahagian dari sisa sesuatu.
MEGANDUNGI EMPAT (4) FASAL:
FASAL PERTAMA
DAKI DAN SEGALA YANG BASAH YANG MENYERUPAI PELUH, IAITU 8 PERKARA:
Perkara Pertama: yang berkumpul di dalam rambut kepala, dari kotoran
dan kutu. Maka membersihkan daripadanya itu disunatkan, dengan mandi, disisir
dan diberi minyak untuk menghilangkan kotoran itu. Dan: “Adalah Nabi saw
meminyaki rambutnya, menyisirkannya sekali-sekali dan menyuruh dengan yang
demikian”. Dan bersabda ia saw: “Siapa yang mempunyai rambut maka hendaklah
memuliakannya”. Artinya: memeliharanya daripada daki. Datang menghadap Nabi
saw, seorang laki-laki, yang rambutnya kusut-musut, janggutnya
centang-perenang, maka bersabda Nabi saw: “Apakah orang ini tidak mempunyai
minyak untuk membereskan rambutnya ?”. Kemudian Nabi saw terus menyambung:
“Salah seorang kamu masuk seolah-olah seperti setan”.
Perkara Kedua: daki yang berkumpul dalam lipatan-lipatan telinga.
Dengan disapu, hilanglah yang zhahir daripadanya. Dan yang terkumpul di dalam
lobang telinga itu, maka seyogyalah dibersihkan dengan pelan-pelan ketika
keluar dari kamar mandi. Karena apabila daki itu banyak, kadang-kadang membawa
melarat kepada pendengaran.
Perkara Ketiga: yang
berkumpul di dalam hidung, daripada benda-benda basah dan keras, yang melekat
pada tepi-tepi hidung. Menghilangkannya adalah dengan menghisap air ke hidung
(istinsyaq) dan dengan membersihkan air tersebut (istintsar).
Pekara Keempat: kotoran yang berkumpul pada gigi & pinggir lidah.
Maka menghilangkannya adalah dengan bersugi & berkumur-kumur. Keduanya itu
telah kami terangkan dahulu.
Perkara
Kelima: daki dan kutu yang berkumpul pada janggut apabila
tiada diusahakan membersihkannya. Maka disunatkan menghilangkannya dengan mandi
dan menyisirkannya dengan sisir. Pada suatu hadits yang masyhur, tersebut bahwa
Nabi saw: “Tiada pernah berpisah dengan sisir, pisau kecil dan cermin muka, di
dalam perjalanan atau di tempat tinggal”. Dan itu memang menjadi kebiasaan bagi
orang-orang Arab. Pada suatu hadits yang tidak begitu terkenal (hadits gharib),
bahwa Nabi saw menyisirkan janggutnya sehari dua kali dan adalah Nabi saw itu
berjanggut tebal. Dan seperti itu pula Abu Bakar. Dan Usman adalah berjanggut
panjang tetapi tipis. Dan Ali berjanggut lebar memenuhi diantara kedua
tulang-rahangnya. Pada suatu hadits yang lebih tiada terkenal lagi, berkata
‘Aisyah: “Berkumpul suatu kaum pada pintu Rasulullah saw lalu beliau keluar
menjumpai mereka. Saya melihat beliau kelihatan memakai baju kurung panjang
dengan bersisir rambut dan janggutnya. Maka saya bertanya: “Mengapakah berbuat
demikian ya Rasulullah ? maka menjawab beliau: “Ya, sesungguhnya Allah menyukai
daripada hambaNya, berbuat keelokan untuk saudara-saudaranya apabila keluar ia
menemui mereka”. Orang bodoh, kadang-kadang menyangka bahwa yang demikian itu
karena suka menghias diri untuk memperlihatkan kepada manusia, karena
membanding kepada budi pekerti orang-orang lain dan karena menyerupakan
malaikat dengan tukang-tukang besi. Amat jauhlah yang demikian ! sesungguhnya
adalah Rasulullah saw disuruh melakukan dakwah. Dan sebahagian dari tugasnya,
ialah berusaha membesarkan keadaan dirinya dalam hati mereka, supaya mereka itu
tidak menghinakannya. Dan baguslah bentuknya pada mata mereka.
Supaya
mereka tidak memandang kecil kepadanya, lalu menjauhkan mereka daripadannya.
Dan orang-orang munafik itu bergantung dengan demikian, pada menjauhkan mereka.
Maksud yang seperti itu harus ada pada tiap-tiap orang yang berilmu
pengetahuan, yang menggunakannya untuk mengajakan manusia kepada Allah ‘Azza Wa
Jalla. Yaitu harus menjaga sesuatu yang zhahiriyah, yang tiada membawa manusia
lari daripadanya. Dan berpegang di dalam keadaan yang seperti ini dengan niat
yang baik. Karena itu adalah segala perbuatan, di dalam perbuatan itu sendiri
diusahakan sifat-sifat daripada yang dimaksud. Maka menghias diri atas maksud
yang tersebut tadi adalah disukai. Membiarkan janggut di dalam keadaan kusut
sebagai menyatakan zuhud dan kurang menghiraukan diri itu, dilarang. Dan kalau
dibiarkan yang demikian disebabkan ada sesuatu yang lebih penting, maka itu disukai.
Inilah keadaan-keadaan bathiniyah diantara hamba dan Allah ‘Azza Wa Jalla.
Orang yang bersifat kritis adalah bermata hati. Dan yang suka
mencampur-baurkan, adalah tiada beruntung dalam keadaan manapun juga. Berapa
banyak orang bodoh yang memperbuat segala perbuatan itu karena memandang kepada
manusia. Maka dia adalah mengacau terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang
lain. Dan mendakwakan bahwa maksudnya itu baik. Maka kita melihat segolongan
dari ulama, memakai pakaian mewah dan mendakwakan bahwa maksudnya adalah untuk
menghinakan orang-orang bid’ah dan orang-orang yang suka berdebat dan dengan
itu ia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Yang demikian adalah suatu perkara
yang akan terbuka di hari segala rahasia terbuka, di hari dibongkar apa yang di
dalam kubur dan dibukakan apa yang di dalam dosa, maka pada ketika itu
berbedalah emas murni daripada tembaga. Kita berlindung dengan Allah daripada
kehinaan pada hari kedatangan (hari mahsyar) yang agung itu.
Perkara Keenam: daki pada
lipatan punggung anak-anak jari. Adalah orang Arab tidak banyak menyucikannya
karena membiarkan tangannya tiada berbasuh sesudah makan. Maka berkumpullah
daki pada tempat-tempat itu. Maka Rasulullah saw menyuruh mereka, dengan
membersihkan sendi anak-anak jari.
Perkara Ketujuh: membersihkan ujung anak-anak jari dan di bawah
kuku-kuku. Rasulullah saw menyuruh orang Arab membersihkannya. Yaitu: ujung
anak-anak jari dan daki yang dibawah kuku. Karena tidak membawa pisau pemotong
kuku, maka berkumpullah daki padanya. Lalu Rasulullah saw memberikan waktu bagi
mereka untuk memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan di
dalam 40 hari. Tetapi Rasulullah saw terus menyuruh mereka membersihkan daki
yang ada di bawah kuku. Tersebut pada atsar, bahwa: “Nabi saw merasa lambat
datangnya wahyu. Maka tatkala turun Jibril as kepadanya, lalu berkata ia kepada
Nabi saw: “Bagaimana kami turun kepadamu, sedang kamu tiada membasuhkan lipatan
belakang anak-anak jarimu dan tiada membersihkan ujung anak-anak jari dan bawah
kuku-kukumu dan tiada bersugi dari kotoran gigimu ? suruhlah umatmu dengan yang
demikian itu !”. Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah engkau mengatakan kepada
ibu bapak perkataan uff (cis)”. S 17 Al Israa’ ayat 23. “Uff” itu menurut
aslinya berarti: daki kuku. Jadi: janganlah dihinakan keduanya dengan: daki
yang di bawah kuku itu. Adapula yang mengatakan bahwa maksudnya: janganlah
engkau merasa disakiti dengan keduanya seperti engkau merasa disakiti dengan
daki yang di bawah kuku.
Perkara Kedelapan: daki badan yang terdapat pada seluruh badan karena
keringat dan debu jalan. Daki itu dapat dihilangkan dengan mandi. Dari itu,
tiada mengapa memasuki tempat pemandian umum (hammam). Para sahabat Rasulullah
saw memasuki tempat-tempat pemandian umum di negeri Syam (syiria) dan berkata
sebagian dari mereka: “Sebaik-baik rumah ialah rumah yang mempunyai hamam, yang
menyucikan badan dan mengingatkan kepada api neraka”. Diriwayatkan yang
demikian dari Abid-Darda dan Abi Ayyub Al-Anshari ra berkata setengah mereka:
“Sejahat-jahat rumah, ialah rumah yang menjadi tempat pemandian umum, yang
menampakkan aurat dan menghilangkan malu”. Yang ini membentangkan bahayanya dan
yang itu (di atas tadi) membentangkan faedahnya. Dan tiada mengapa mencari
faedahnya ketika terpelihara daripada bahayanya. Tetapi orang yang masuk hammam
itu, mempunyai beberapa tugas, yang merupakan sunat dan wajib. Ia mempunyai 2
kewajiban terhadap auratnya sendiri dan 2 kewajiban terhadap aurat orang lain.
Adapun 2 kewajiban terhadap auratnya sendiri, yaitu menjaganya dari pandangan
orang lain dan memeliharanya daripada sentuhan orang lain. Maka tiada yang
mengurus auratnya dan membersihkan daki auratnya melainkan tangannya sendiri.
Dan mencegah tukang gosok badan daripada menyentuh paha dan diantara pusat
sampai kepada bulu kemaluannya. Dan mengenai mubahnya selain anggota dari
menyentuh keluar najis, muka dan belakang (sau-ah), untuk menghilangkan daki,
itu ada kemungkinan. Tetapi yang lebih dapat dikiaskan itu haram, karena
dihubungkan menyentuh kedua sau-ah (baik yang dimuka dan yang dibelakang) itu,
tentang haramnya, dengan memandang. Begitu pula hendaknya dengan bahagian aurat
yang lain, yakni: kedua paha. Dan dua kewajiban mengenai aurat orang lain,
yaitu memejamkan matanya sendiri daripada melihat aurat orang lain dan melarang
orang lain daripada membuka auratnya. Karena melarang dari perbuatan mungkar
itu, wajib. Dari itu harus atasnya mengingatkan yang demikian dan tidak harus
atasnya menerima. Kewajiban memperingatkan itu tidak hilang, kecuali karena takut
dipukul atau dimaki atau akan dilakukan terhadap dirinya suatu yang haram. Maka
tidak boleh ia menantang yang haram itu, yang dipaksakan kepadanya nanti oleh
orang yang ditantang, kepada mengerjakan suatu haram yang lain. Adapun sekedar
mengatakan: ketahuilah bahwa perbuatan itu tiada berfaedah dan janganlah
dikerjakan perbuatan yang demikian maka yang seperti itu tiada mengapa.
Bahkan harus
diperingati secara yang demikian. Maka tiada terlepas hati, daripada berkesan
dengan mendengar tantangan dan merasa berjaga-jaga diri ketika disebut
perbuatan maksiat. Dan yang demikian memberi kesan tentang menjelekkan
perbuatan itu dan menjauhkan diri daripadanya. Maka tidak boleh ditinggalkan !.
Dan karena alasan yang seperti itulah, maka tidak memasuki tempat pemandian
umum pada waktu sekarang menjadi tanda berhati-hati. Karena tiada terlepas
daripada melihat aurat terbuka, lebih-lebih yang di bawah pusat hingga yang di
atas bulu kemaluan. Karena manusia sekarang tidak memandangnya aurat lagi.
Sedang agama menghitungkannya aurat dan menjadikan sebagai anggota yang
terhormat bagi aurat itu. Dari itu, disunnatkan mengosongkan tempat pemandian
umum itu.
Berkata Bisyr bin Al-Harts: “Alangkah sulitnya
seseorang yang tidak mempunyai wang selain sedirham yang dibayarkannya supaya
boleh ia memakai tempat pemandian umum !”. Dilihat orang Ibnu Umar ra pada
tempat pemandian umum dan mukanya ke dinding. Ia menutup kedua matanya dengan
sepotong kain. Berkata setengah mereka: “Tidak mengapa masuk ke tempat
pemandian umum, asal dengan dua helai kain, sehelai untuk penutup aurat dan
sehelai lagi untuk penutup kepala, yang mencukupi untuk kepala itu dan untuk
memelihara kedua matanya”.
FASAL KEDUA
Adapun sunat, maka 10 Perkara:
Pertama: niat. Iaitu bahwa
ia tidak masuk hammam/tempat pemandian umum itu karena dunia dan tidak untuk
bermain-main karena dorongan hawa nafsu. Tetapi maksudnya ialah kebersihan yang
amat disukai, karena penghiasan bagi shalat. Kemudian memberikan kepada penjaga
tempat pemandian umum itu sewanya sebelum masuk. Maka sesungguhnya apa yang
akan dipakai oleh orang itu secara maksimalnya tiada diketahui. Dan begitu pula
apa yang ditunggu oleh penjaga tempat pemandian umum itu.
Maka menyerahkan sewanya sebelum masuk adalah
menolakkan kebodohan dari salah satu dari dua yang dipertukarkan itu dan untuk
membaikkan bagi dirinya. Kemudian orang yang masuk ke dalam pemandian umum itu,
mendahulukan kakinya yang kiri, ketika masuk seraya membaca doa yang artinya:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku berlindung
dengan Allah dari kotoran yang najis, keji lagi dikejikan, setan yang
terkutuk”. Kemudian masuk ke tempat pemandian itu di dalam keadaan yang sunyi
atau menunggu kesunyian tempat pemandian umum itu. Karena jikalau tidak ada
pada tempat pemandian umum itu, selain dari ahli agama dan orang-oarng yang
memelihara auratnya, maka memandang kepada badan-badan yang terbuka, adalah
banyak sedikitnya bercampur dengan perasaan malu. Dan itu mengingatkan kepada
memandang aurat-aurat orang. Kemudian tidaklah terlepas manusia itu dalam
gerak-geriknya dari terbuka aurat, disebabkan terangkat tepi kain sarungnya,
lalu jatuhlah pandangan kepada aurat dengan tidak disengaja.
Karena itulah Ibnu Umar ra menutup kedua matanya. Dan
membasuh kedua bahagian tubuh ketika masuk. Dan janganlah bersegera masuk
tempat pemandian yang sedang panas, sehingga keluarlah peluhnya pada
pertamanya. Dan tidak membanyakkan penuangan air, tetapi menyingkatkan sekedar
perlu saja. Karena demikianlah yang diizinkan, menurut tanda-tanda dari keadaan
yang berlaku. Dan melebihkan air daripada yang diperlukan, kalau diketahui oleh
penjaga tempat pemandian itu, niscaya tidak disukainya, lebih-lebih air panas.
Karena memerlukan perongkosan yang lebih banyak dan tenaga yang meletihkan. Dan
bahwa mengingati akan panasnya api neraka dengan panasnya tempat pemandian umum
itu. Dan mengumpamakan dirinya terkurung pada tempat yang panas itu satu jam
dan membandingkannya kepada neraka jahannam. Karena tempat pemandian umum itu
adalah rumah yang lebih menyerupai dengan neraka jahannam, di mana, apinya di
bawah dan gelapnya di atas.
Kita berlindung dengan Allah dari yang demikian !.
Bahkan, orang yang berakal, tidak lalai daripada mengingati akhirat pada tiap
detik, karena akhirat itu adalah tempat kembali dan tempat ketetapannya. Maka
pada tiap-tiap yang dilihatnya, baik air atau api ataupun lainnya, adalah
menjadi ibarat dan pengajaran baginya. Manusia itu memandang sesuatu menurut
cita-citanya. Apabila masuklah seorang penjual kain, seorang tukang kayu,
seorang pembangun gedung-gedung dan seorang tukang tenun ke dalam sebuah rumah
besar yang terhias cantik, maka apabila kita perhatikan keadaan mereka itu
masing-masing, niscaya kita lihat penjual kain itu memandang kepada alas
lantai, memperhatikan nilainya. Tukang tenun itu memandang kepada kain-kain,
memperhatikan tenunannya. Tukang kayu itu memandang ke atap, memperhatikan
bagaimana susunannya. Dan pembangun gedung-gedung itu memandang kepada dinding
batu, memperhatikan bagaimana keteguhan dan kelurusan bangunannya. Maka seperti
itu pulalah orang yang berjalan di jalan akhirat, tidak memandang dari
barang-barang yang banyak itu sesuatu, melainkan yang mengandung pengajaran dan
peringatan bagi akhirat. Bahkan ia tiada melihat kepada sesuatu, melainkan
dibukakan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla, jalan ibarat baginya. Jika ia melihat
kepada sesuatu yang hitam, lalu teringatlah ia akan kegelapan di dalam kubur.
Jika ia melihat kepada seekor ular, lalu teringatlah ia akan ular-ular di
neraka jahannam. Jika ia melihat kepada suatu bentuk yang buruk lagi
menakutkan, lalu teringatlah ia akan malaikat Munkar, Nakir dan Az-Zabaniah.
Jika ia mendengar suatu suara yang dahsyat, lalu teringatlah akan bunyi
sangkakala. Jika melihat sesuatu yang cantik, lalu teringatlah ia akan kenikmatan
sorga. Jika ia mendengar kata bersoal-jawab di pasar atau di rumah, lalu
teringatlah ia akan apa yang akan terbuka, dari akhir urusannya, setelah
dihisab, ditolak atau diterima. Alangkah layaknya, kalaulah ini yang menjadi
kebiasaan di dalam jiwa orang yang berakal ! karena sebetulnya tiadalah yang
memalingkan dia daripadanya selain oleh kepentingan-kepentingan duniawi.
Apabila dibandingkan lama berdiam di dunia dengan lama
berdiam di akhirat, niscaya dipandangnya hina dunia ini, kalau ia bukan
termasuk orang yang telah lalai jiwanya dan buta mata hatinya. Setengah
daripada sunat, bahwa tiada memberi salam, ketika masuk ke tempat pemandian
umum itu. Jika orang memberi salam kepadanya, maka jangan dijawabnya dengan
kata-kata salam, tetapi berdiam diri saja, jika ada orang lain yang
menjawabnya. Dan kalau ia suka, maka baiklah menjawab: “Kiranya Allah
memberikan kesehatan kepadamu !”. Tiada mengapa ia berjabat tangan dengan orang
yang masuk, seraya mengucapkan sebagai permulaan percakapan: “Kiranya Allah memberikan
kesehatan kepadamu !”. Kemudian, tiada membanyakkan percakapan di dalam tempat
pemandian umum itu dan tiada membaca ayat Alquran, kecuali dengan hati saja.
Tiada mengapa membaca A’udzu billah, artinya memohonkan perlindungan dengan
Allah daripada setan, dengan suara keras. Dimakruhkan masuk ke tempat pemandian
umum diantara Maghrib dan ‘Isya dan mendekati matahari terbenam. Karena ketika
itu adalah waktu berkeliaran setan-setan. Tiada mengapa badannya digosok orang
lain.
Telah dinukilkan demikian dari Yusuf bin ‘Asbath bahwa
ia meninggalkan wasiat untuk dimandikan dia oleh orang yang bukan sahabatnya.
Dia berkata: “Bahwa orang itu telah menggosokkan badanku sekali di tempat
pemandian umum, maka aku bermaksud membalaskan jasanya dengan sesuatu yang
disukainya. Dan sesungguhnya dia akan bergembira dengan yang demikian itu”. Dan
dibuktikan kepada bolehnya, oleh apa yang diriwayatkan oleh sebahagian sahabat:
“Bahwa Rasulullah saw bertempat pada suatu rumah dalam sebahagian
perjalanannya. Maka tidurlah ia dengan menungkup dan seorang budak hitam
memijit-mijit belakangnya. Maka aku bertanya: “Apakah ini ya Rasulullah ?”.
Menjawab Nabi saw: “Bahwa unta ini mencebur kepadaku”. Kemudian, tatkala telah
siap dari tempat pemandian umum itu, maka bersyukurlah kepada Allah ‘Azza Wa
Jalla atas nikmatNya. Orang mengatakan bahwa air yang panas pada musim dingin
adalah suatu nikmat yang diminta. Berkata Ibnu Umar ra: “Tempat pemandian umum
itu adalah termasuk nikmat yang diadakan oleh manusia ramai”. Ini semuanya dari
segi agama. Adapun dari segi kesehatan, maka orang mengatakan bahwa mandi di
tempat pemandian umum itu sesudah memakai obat yang membersihkan rambut kepala,
menjamin daripada penyakit kusta. Dan ada yang mengatakan bahwa membersihkan
rambut kepala pada tiap-tiap bulan sekali, menghilangkan bintik-bintik kuning
pada badan, membersihkan warna kulit dan menambahkan kekuatan tenaga
bersetubuh. Dan orang mengatakan bahwa membuang air kecil di tempat pemandian
umum itu, dengan berdiri pada musim dingin, adalah lebih bermanfaat daripada
minum obat.
Dan ada yang mengatakan bahwa tidur pada musim panas
sesudah mandi di halaman itu, menyamai dengan minum obat. Dan membasuh dua
tapak kaki dengan air dingin, setelah keluar dari hammam, adalah menjamin
daripada penyakit bengkak pada otot kaki. Dimakruhkan menuang air dingin ke
atas kepala ketika keluar dari hammam. Demikian juga meminumnya. Yang tersebut
itu adalah hukumnya mengenai laki-laki. Adapun wanita, maka telah bersabda Nabi
saw: “Tidak halal bagi laki-laki memasukkan isterinya ke hammam dan dalam
rumahnya mempunyai hammam”. Dan hadits masyhur: “Bahwa haram kepada laki-laki
memasuki hammam, selain dengan berkain sarung. Dan haram atas wanita memasuki
hammam, kecuali dia sedang bernifas atau sakit”. Dan ‘Aisyah telah memasuki
hammam di waktu dia menderita sakit. Kalau wanita itu masuk hammam karena
sesuatu kepentingan, maka janganlah masuk kecuali dengan kain sarung yang
lengkap. Dimakruhkan bagi laki-laki memberikan kepada wanita sewa hammam,
karena yang demikian itu adalah merupakan pertolongan kepada wanita untuk
berbuat yang makruh.
FASAL KETIGA
Segala sesuatu yang mendatang pada tubuh
manusia, dari bahagian-bahagian. Iaitu 8 perkara.
Pertama: rambut kepala. Dan tiada mengapa mencukurnya bagi orang yang
bermaksud kebersihan. Dan tiada mengapa membiarkannya bagi orang yang dapat
meminyaki dan menyisirkannya. Kecuali apabila ditinggalkannya dengan memotong
sebahagian dan tidak sebahagian, dari kepala. Dan itu adalah kebiasaan
orang-orang terkutuk dan keji (ahlisy-syath-tharah). Atau dilepaskannya rambut
terurai, ke kanan dan ke kiri seperti bentuk yang biasa diperbuat oleh golongan
bangsawan, sebagai simbul mereka. Maka apabila ia bukan orang bangsawan,
niscaya adalah yang demikian itu talbis (pemakai pakaian yang bukan pakaiannya).
Kedua: kumis @ Misai. Bersabda Nabi saw: “Guntinglah kumismu”. Pada riwayat
yang lain, berbunyi: “Potonglah kumismu”. Dan pada riwayat yang lain lagi,
berbunyi: “Buatlah kumismu di tepi bibir (huffu) dan biarkanlah janggutmu
sampai panjang (A’fu)”, artinnya: kumis itu dibuat dengan baik di keliling
bibir, karena Nabi saw mengatakan pada sabdanya yang di atas, menurut bahasa
aslinya dengan kata-kata “huffu”, yang berarti: buatlah kumis itu di keliling
bibir sebab kata-kata itu mengandung keliling. Diantaranya dapat diperhatikan
pada firman Allah Ta’ala: “Dan engkau akan melihat malaikat-malaikat berkerumun
di keliling ‘Arasy itu”. S 39 Az Zumar ayat 75. Pada kata-kata lain “uhfuu”,
dan ini memberitahukan dengan membuang sampai habis. Dan katanya “huffuu”,
menunjukkan kurang dari demikian.
Berfirman Allah Ta’ala: “Kalau itu dimintaNya kepada kamu, dan didesakNya kamu, niscaya kamu
akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37. Kata-kata “didesaknya”, bahasa Arabnya
ialah: “yuhfi”, kata asalnya “ihfa”, artinya: didesaknya sampai habis, maka ini
menunjukkan, menurut bahasa: membuang sampai habis. Adapun mencukur kumis itu,
tiada datang ketegasannya. Dan “ihfa”, tadi yang mendekati kepada mencukurnya,
dinukilkan dari sahabat-sahabat Nabi saw: dilihat oleh sebahagian tabi’in (para
pengikut sahabat), kepada seorang laki-laki yang membuat kumisnya demikian
pendek, mendekati kepada dicukur, lalu berkata: “Disebutkan yang demikian
kepadaku oleh sahabat-sahabat Rasulullah saw”. Berkata Al-Mughirah bin Syu’bah:
“Rasulullah saw memandang kepadaku dan telah panjanglah kumisku, seraya
bersabda: “Mari guntinglah dia karenaku, bukan karena orang lain !”. Dan tiada
mengapa membiarkan panjang kedua tepi kumis itu, yang telah diperbuat demikian
oleh Umar dan orang lain. Karena yang demikian tidaklah menutupkan mulut dan
tidak tertinggal padanya bekas makanan. Karena tepi kumis itu tidak sampai
kepada mulut. Dan mengenai sabda Nabi saw di atas mengenai janggut, yang
disuruhnya supaya dibiarkan, maksudnya adalah membiarkan janggut itu sampai
banyak. Pada suatu hadits tersebut: “Bahwa orang Yahudi itu membanyakkan
kumisnya dan mengguntingkan janggutnya. Maka hendaklah kamu berbeda dari mereka
!”. Sebagian ulama memandang makruh menggunting janggut dan berpendapat itu
bid’ah.
Ketiga: bulu ketiak. Disunatkan
mencabutnya sekali pada tiap-tiap 40 hari. Yang demikian itu adalah mudah bagi
orang yang telah membiasakan mencabutnya dari bermula. Adapun orang yang telah
membiasakan mencukurnya, maka memadailah dengan mencukurnya, karena kalau
dicabut, maka mendatangkan kesakitan dan penderitaan. Yang dimaksud adalah
kebersihan dan tidak berkumpul daki di celah-celah bulu ketiak itu. Dan yang
demikian berhasil dengan dicukur.
Keempat: bulu kemaluan. Disunatkan menghilangkannya, adakalanya dengan dicukur
atau dengan obat yang menghilangkan bulu. Dan tidak layaklah diperlambat
menghilangkan bulu itu daripada 40 hari.
Kelima: kuku. Memotong
kuku disunatkan karena buruk tampaknya apabila kuku itu panjang dan karena
berkumpul daki di bawahnya. Bersabda Nabi saw: “Hai Abu Hurairah ! potonglah
kukumu, karena setan duduk di atas kuku yang panjang itu”. Kalau ada daki di
bawah kuku, maka tidaklah yang demikian itu mencegah syahnya wudlu. Karena daki
itu tidak menghalangi sampainya air. Dan tidak diperkeras benar mengenai kuku
itu karena ada perlunya, lebih-lebih mengenai kuku laki-laki. Dan tidak
diperkeras benar mengenai daki yang berkumpul di atas punggung anak jari,
punggung kaki dan tangan dari orang-orang Arab dan bangsa hitam. Rasulullah saw
menyuruh mereka memotong kuku dan tidak senang melihat daki di bawah kuku
mereka. Dan tidak disuruhnya mereka mengulangi shalat. Kalau disuruhnya
demikian, maka menimbulkan faedah yang lain yaitu memberatkan dan menakutkan
dari berbuat yang demikian. Dan tidak saya melihat dalam kitab-kitab, satu
haditspun yang meriwayatkan tentang penertiban pemotongan kuku. Tetapi saya
mendengar: “Bahwa Nabi saw memulai dengan telunjuknya yang kanan dan menyudahi
dengan ibu jari yang kanan. Dan memulai tangan kiri dengan kelingking sampai
kepada ibu jari”. Kalau kita perhatikan ini, niscaya terlintaslah pada hati
kita, pengertian yang menunjukkan bahwa riwayat dari hadits-hadits itu benar.
Karena seumpama pengertian ini tidaklah terbuka pada mulanya melainkan dengan
Nur kenabian. Adapun orang yang berilmu, yang bermata hati, maka tujuannya
adalah memahami yang demikian itu dari akal sesudah dinukilkan perbuatan itu
kepadanya. Yang jelas bagi saya mengenai hal tersebut dan pengetahuan yang
sebenarnya adalah pada sisi Allah, bahwa tak boleh tidak memotong kuku tangan
dan kuku kaki. Dan tangan adalah lebih mulia daripada kaki. Maka dimulailah
dengan tangan. Kemudian yang kanan adalah lebih mulia dari yang kiri, maka
dimulailah dengan yang kanan itu. Kemudian pada yang kanan itu ada 5 anak jari.
Dan telunjuk adalah yang termulia diantara anak-anak jari itu, karena dialah
yang menunjukkan pada pengucapan dua kalimah syahadah, dari keseluruhan
anak-anak jari itu. Kemudian, sesudah telunjuk, seyogyalah dimulai dengan
anak-anak jari di sebelah kanannya, karena agama menyunatkan melakukan
penyucian dan lainnya atas yang kanan. Kalau diletakkan punggung tapak tangan
di atas lantai, maka adalah ibu jari itu yang kanan. Dan kalau diletakkan perut
tapak tangan, maka adalah jari tengah itu yang kanan. Apabila tangan itu
dilepaskan menurut keadaannya, maka adalah tapak tangan itu condong ke arah
bumi. Karena arah gerakan tangan kanan adalah ke kiri dan kesempurnaan gerakan
ke kiri itu membuat punggung tapak tangan menjadi lebih tinggi. Maka apa yang
dikehendaki oleh keadaan dari kejadian manusia itu sendiri, adalah lebih utama.
Kemudian apabila diletakkan tapak tangan yang satu ke atas tapak tangan yang
lain, maka jadilah anak-anak jari itu dalam bentuk lingkaran yang bundar.
Maka susunan gilirannya menghendaki akan perjalanan
dari kanan telunjuk sampai kembali kepada telunjuk itu. Lalu terjadilah
perrmulaan dengan kelingking tangan kiri dan disudahi dengan ibu jarinya. Dan
tinggallah ibu jari tangan kanan. Maka disudahilah pemotongan kuku itu dengan
ibu jari tangan kanan tadi. Sesungguhnya diumpamakan, tapak tangan yang satu
diletakkan di atas tapak tangan yang lain, sehingga anak-anak jari itu menjadi
seperti orang-orang dalam satu lingkaran, supaya jelaslah susunannya.
Perumpamaan yang demikian adalah lebih utama daripada perumpamaan meletakkan
tapak tangan yang satu atas punggung tapak tangan yang lain. Atau meletakkan
punggung tapak tangan yang satu atas punggung tapak tangan yang lain. Karena
yang demikian tidaklah menurut yang dikehendaki oleh sifat dari kejadian
manusia. Adapun anak-anak jari kaki maka yang lebih utama pada saya, kalau
tidak ada riwayat yang dinukilkan tentang itu, ialah dimulai dengan kelingking
kaki kanan dan disudahi dengan kelingking kaki kiri, seperti pada
menyelang-nyelangi air pada wudlu. Karena segala maksud yang telah kami
sebutkan pada tangan dahulu, tidaklah diperoleh di sini, sebab tak ada telunjuk
pada kaki. Dan anak-anak jari kaki itu adalah dalam keadaan satu baris yang
terletak di atas lantai (tanah). Maka dimulailah dari pihak yang kanan. Karena
mengumpamakannya sebagai suatu lingkaran dengan meletakkan tumit yang satu di
atas tumit yang satu lagi, tidaklah sesuai dengan alam kejadian manusia. Lain
halnya dengan dua tangan. Titik-titik halus dalam susunan ini, adalah terbuka
dengan nur kenabian dalam sekejap mata. Hanya lamanya kepayahan menimpa kita.
Kemudian kalau kita ditanyakan mengenai permulaan dari susunan mengenai hal
yang tersebut di atas, maka kadang-kadang tidaklah ia terlintas bagi kita.
Apabila kami sebutkan perbuatan Nabi saw dan susunan dari perbuatan itu,
kadang-kadang memudahkan bagi kita dengan pertolongan Nabi saw dengan kesaksian
hukum dan peringatannya kepada maksud, akan pemahaman maksud. Janganlah kita
menyangka bahwa segala perbuatan Nabi saw dalam segala gerak-geriknya, adalah
di luar timbangan, hukum dan tata tertib.
Tetapi seluruh pekerjaan yang berdasarkan kepada usaha
(ikhtiar), yang telah kami sebutkan itu, yang ragu-ragu orang yang
mengerjakannya, diantara dua macam atau beberapa macam, maka adalah Nabi saw
tidak mengerjakan suatu macam tertentu dengan kesepakatan. Tetapi adalah dengan
pengertian yang menghendaki untuk dikerjakan dan diutamakan. Maka melepaskan
begitu saja dengan menyia-nyiakan, sebagaimana yang biasa terjadi, adalah sifat
hewan. Dan membatasi segala gerak-gerik dengan mempertimbangkan segala arti
yang terkandung di dalamnya, adalah sifat bagi wali-wali Allah. Dan manakala
gerak-gerik dan gurisan hati manusia itu, lebih mendekati kepada pembatasan dan
lebih jauh daripada kelengahan dan pengabaian, maka adalah derajat manusia itu
sudah lebih banyak mendekati kepada derajat nabi-nabi dan wali-wali. Dan adalah
dekatnya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla lebih nyata lagi. Karena orang yang dekat
kepada Nabi saw ialah orang yang dekat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan orang
yang dekat kepada Allah, tak boleh tidak adalah dia yang dekat. Maka yang dekat
daripada yang dekat itu, adalah lebih dekat, dibandingkan dari orang lain. Maka
kita berlindung dengan Allah, bahwa ada genggaman gerak-gerik kita dan tetap
tenang kita di dalam tangan setan dengan godaan hawa nafsu. Ambillah ibarat
mengenai pembatasan gerak-gerik dengan Nabi saw memakai celak: “Maka
sesungguhnya Nabi saw adalah memakai celak pada matanya yang kanan 3 kali dan
pada matanya yang kiri 2 kali. Di mulai Nabi dengan yang kanan, adalah karena
mulianya”. Dan berlebih-kurang kiranya itu diantara dua mata, supaya jumlahnya
menjadi ganjil (3 pada mata kanan dan 2 pada kiri). Karena ganjil itu lebih
utama daripada genap. Bahwa Allah Ta’ala itu ganjil (ESA), menyukai yang
ganjil. Maka tidak layaklah perbuatan hamba itu terlepas daripada kesesuaian
dengan sesuatu dari sifat-sifat Allah. Dari itulah disunatkan ganjil pada
istinja’. Dan tiada dicukupkan oleh Nabi saw atas 3 saja, di mana 3 itu adalah
ganjil, karena kalau 3 saja maka berarti hanya satu kali saja bagi mata kiri.
Dan biasanya satu kali itu, tiadalah meratai segala tepi kelopak mata itu
dengan celak. Dan Nabi saw menentukan mata kanan dengan 3 kali, adalah
disebabkan keutamaan yang mengharuskan untuk adanya bilangan yang ganjil itu.
Dan kanan adalah lebih utama. Dari itu maka ia lebih berhak dengan lebih. Kalau
anda bertanya, mengapa Nabi saw menentukan dua kali untuk mata kiri, sedang dua
kali adalah genap. Maka jawabnya, adalah bahwa yang demikian itu karena
terpaksa. Karena jikalau untuk tiap-tiap mata, dibuat ganjil, maka jadilah
jumlahnya genap. Karena ganjil bersama ganjil, menjadi genap. Dan menjaganya
supaya ganjil dalam jumlah perbuatan, di mana perbuatan itu berada di dalam suatu
perkara, adalah lebih disukai daripada memeliharanya pada satu-satu. Karena itu
pula, ada paham yang berpendapat, yaitu: supaya diletakkan celak itu pada
tiap-tiap mata 3 kali, diqiaskan (dianalogikan) kepada wudlu. Pendapat ini
dinukilkkan dalam pendapat yang benar. Dan adalah pendapat ini lebih utama.
Jikalau aku teruskan pemeriksaan secara mendalam,
pengertian-pengertian yang halus dari perbuatan-perbuatan yang dijaga oleh Nabi
saw di dalam segala gerak-geriknya maka akan panjanglah urusannya. Dari itu
qiaskanlah dengan apa yang telah anda dengar, akan apa yang belum anda dengar.
Ketahuilah, bahwa orang yang berilmu (orang ‘alim) itu, tidaklah menjadi
pewaris bagi Nabi saw, kecuali apabila ia menjelajah segala pengertian
syari’at. Sehingga tidak ada diantara dia dan Nabi saw, melainkan satu tingkat
saja, yaitu tingkat kenabian. Itulah tingkat yang memisahkan diantara pewaris
dan orang yang diwarisi. Karena yang diwarisi itu, ialah orang yang mempunyai
harta, bekerja untuk memperoleh harta dan yang menguasai akan harta itu. Dan
pewaris ialah orang yang tidak berusaha memperoleh harta dan tidak
menguasainya, tetapi harta itu berpindah kepadanya dan diterimanya sesudah
harta itu menjadi haknya. Maka pengertian-pengertian yang seperti ini, serta
mudah memahaminya, dibandingkan dengan segala yang tersembunyi dan rahasia,
tidaklah dapat diperoleh sendiri pada permulaannya, selain oleh nabi-nabi. Dan
tidaklah terus dapat dipahami sendiri setelah ajaran dari nabi-nabi itu sampai,
selain oleh para ulama, di mana mereka itu adalah pewaris daripada nabi-nabi
as.
Keenam & ketujuh: lebihan pusat dan
ujung kemaluan. Adapun pusat
maka dipotong pada waktu mulai lahir. Adapun penyucian dengan khitan, maka
adalah adat kebiasaan Yahudi pada hari ke-7 dari kelahiran. Dan menyalahi
dengan Yahudi itu dengan mengemudiankan pengkhitanan sampai kepada masa
tanggalnya gigi susu anak-anak, adalah lebih disukai dan lebih menjauhkan
daripada bahaya. Bersabda Nabi saw: “Khitan itu adalah sunat bagi laki-laki dan
kemuliaan bagi wanita”. Dan seyogyalah tiada bersangatan pada pengkhitanan
wanita. Bersabda Nabi saw kepada Ummi ‘Athiyyah, di mana ia mengkhitankan
wanita: “Hai Ummi ‘Athiyyah ! sedangkanlah dan jangan engkau bersangatan !
karena itu menambah berseri-serinya muka dan bermesranya bagi suami”. Artinya:
tambah berseri air dan darah muka dan membaikkan pada persetubuhan. Maka
lihatlah kepada berisinya kata-kata Nabi saw secara kinayah (sindiran) dan
kepada cemerlangnya nur kenabian dari kemuslihatan akhirat yang menjadi maksud terpenting
dari kenabian, kepada kemuslihatan duniawi. Sehingga tersingkaplah baginya,
padahal dia nabi yang ummi (tidak tahu tulis baca), dari persoalan yang menurun
nilainya ini, di mana jikalau terjadilah kelalaian daripadanya, niscaya
ditakuti akan timbul melaratnya. Maha sucilah Allah yang mengutus RasulNya
menjadi rahmat bagi alam seluruhnya. Supaya dikumpulkannya untuk alam ini
dengan keberkatan kebangkitannya, segala kepentingan duniawi dan agama. Rahmat
Allah dan salamNya kepadanya !.
Kedelapan: janggut yang panjang. Kami kemudiankan membicarakannya, karena kami
hubungkan dengan janggut ini, beberapa sunat dan bid’ah mengenai janggut.
Karena ini adalah tempat yang terdekat, yang layak menerangkan janggut padanya.
Berselisih pendapat mengenai janggut yang panjang. Ada yang mengatakan, kalau
digenggam seseorang akan janggutnya dan diambilnya (dipotongnya) yang
berlebihan dari genggamannya itu, maka tidak mengapa. Telah dibuat yang
demikian, oleh Ibnu Umar dan segolongan tabi’in. Dan dipandang baik oleh
Asy-Sya’bi dan Ibnu Sirin. Dan dipandang makruh oleh Al-Hasan dan Qatadah, di
mana keduanya mengatakan: “Membiarkan janggut itu dalam keadaan sehat wal
‘afiat adalah lebih disukai, karena sabda Nabi saw: “Perbanyakkanlah
janggutmu”. Suruhan di sini adalah lebih mendekati, jika tidak berkesudahan
kepada menggunting janggut dan membuatnya bulat dari segala pinggir. Karena
panjang yang melewati batas kadang-kadang memburukkan bentuknya dan menjadi
buah mulut orang-orang yang suka mencaci dengan kata-kata yang tidak
menyedapkan, kepada yang empunya janggut itu. Dari itu tiada mengapa menjaga
dari kata-kata itu atas niat tadi. Berkata An-Nakha’i: “Aku heran bagi orang
yang berakal yang panjang janggutnya, bagaimana dia tidak mengambil dari
janggutnya itu dan dijadikannya diantara dua janggut ? karena kesederhanaan
pada tiap-tiap sesuatu itu adalah baik”. Dari itu orang mengatakan: “Semakin
bertambah panjanglah janggut, maka akalpun bergegas-gegas pergi (berkurang)”.
FASAL KEEMPAT
Mengenai janggut itu ada 10 perkara yang makruh. Sebahagiannya
lebih makruh dari sebahagian yang lain.
Iaitu:
mencatnya dengan warna hitam, memutihkannya dengan belerang,
mencabutkannya, mencabutkan yang putih daripadanya,
mengurangkan daripadanya dan menambahkan, menyisirkannya dengan dibuat-buat karena
ria, membiarkannya kusut-kusut untuk melahirkan zuhud, memandang kepada yang
hitam daripadanya dengan kebanggaan diri karena masih muda dan memandang kepada
yang putih daripadanya dengan takabur karena kelanjutan umur dan mencatnya
dengan warna merah dan kuning tanpa niat apa-apa karena menyerupakan dengan
orang-orang shalih.
Adapun yang pertama, yaitu mencatnya, dengan warna hitam, adalah
dilarang karena sabda Nabi saw: “Sebaik-baik mudamu, ialah orang yang
menyerupakan dengan yang tua daripada kamu. Dan sejahat-jahat orang tua
daripada kamu ialah orang yang menyerupakan dengan yang muda daripada kamu”.
Yang dimaksudkan dengan menyerupakan dengan orang tua, ialah mengenai
kehormatan diri, tidak mengenai memutihkan rambut. Nabi saw melarang mencatnya
dengan warna hitam dan bersabda: “Itu adalah penduduk neraka”. Dan pada riwayat
yang lain dengan kata-kata: “Mencat dengan warna hitam adalah cat orang-orang
kafir”. Seorang laki-laki kawin pada masa Umar ra dan adalah ia mencat
janggutnya dengan warna hitam. Maka lunturlah catnya dan tampaklah ubannya.
Lalu oleh keluarga wanita itu, disampaikan kepada Umar ra. Maka Umar ra
membatalkan nikahnya dan menderainya dengan pukulan, seraya Umar ra berkata:
“Engkau tipu mereka ini dengan kemudaanmu dan engkau sembunyikan ketuaanmu pada
mereka”. Orang mengatakan bahwa yang pertama mencat dengan warna hitam ialah
Fir’aun, yang kena kutukan Allah. Dari Ibnu Abbas ra, ia meriwayatkan dari Nabi
saw bahwa Nabi saw bersabda: “Akan ada pada akhir zaman suatu kaum yang mencat
dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka tidak mencium bau sorga”.
Yang kedua: mencat janggut itu dengan warna kuning
dan merah. Itu adalah jaiz (dibolehkan) untuk membuat keraguan tentang tua kepada
kafir di dalam peperangan dan perjuangan. Maka kalau bukan atas niat ini,
tetapi mau menyerupakan dengan ahli agama, maka ini tercela. Bersabda Nabi saw:
“Kuning adalah warna cat bagi orang muslim dan merah adalah warna cat bagi
orang mu’min”. Adalah mereka mencat dengan daun pacar untuk warna merah dan
dengan khaluq (semacam tumbuh-tumbuhan yang harum) dan al-katam (semacam
tumbuh-tumbuhan dipakai untuk rambut dan dapat diperbuat daripadanya dawat
untuk menulis) untuk warna kuning. Sebahagian ulama mencat janggutnya dengan
warna hitam untuk maju ke medan perang. Yang demikian itu tidak mengapa apabila
telah betul niat dan tak ada padanya hawa nafsu dan keinginan buruk.
Yang ketiga: memutihkan janggut itu dengan belerang
karena mau menyegerakan untuk melahirkan kelanjutan umur. Supaya
memperoleh penghormatan, diterima menjadi saksi, dibenarkan riwayatnya dari
orang-orang tua, mengangkat diri dari golongan muda dan melahirkan banyak ilmu
pengetahuan, karena menyangka, bahwa dengan telah lama hidup, memberikan
kepadanya keutamaan. Amat jauhlah dari yang demikian ! kelanjutan umur itu,
tiada menambahkan bagi orang yang bodoh melainkan kebodohan. Ilmu itu adalah
buah akal. Yaitu suatu gharizah (instinc) dan tidak berpengaruh kelanjutan umur
padanya. Siapa yang gharizahnya bebal, maka lamanya waktu itu menguatkan
kebebalannya. Dan adalah orang-orang tua itu mendahulukan akan orang-orang muda
disebabkan ilmu. Adalah Umar bin Al-Khaththab ra mendahulukan Ibnu Abbas,
padahal dia masih muda, daripada sahabat-sahabat yang terkemuka. Dan Umar ra
bertanya padanya dan tidak pada mereka. Berkata Ibnu Abbas ra: “Tidak
didatangkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla kepada seorang hamba akan ilmu
pengetahuan, melainkan dia seorang pemuda. Dan kebaikan seluruhnya adalah pada
pemuda”. Lalu Ibnu Abbas ra membaca firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Mereka
berkata: Kami dengar seorang pemuda yang menyebut-nyebut –menista tuhan-tuhan
itu, namanya Ibrahim”. S 21 Al ‘Anbiyaa’ ayat 60. Dan firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhannya dan
Kami tambahi mereka dengan petunjuk”. S 18 Al Kahfi ayat 13. Dan firman Allah
Ta’ala: “Dan Kami berikan kepadanya hikmah (kebijaksanaan) ketika dia masih
kanak-kanak”. S 19 Maryam ayat 12. Anas ra pernah berkata: “Telah wafat
Rasulullah saw dan tidak ada pada kepalanya dan pada janggutnya 20 helai rambut
putih”. Maka ditanyakan kepadanya: “Hai Abu Hamzah, sudah tuakah dia ?”. Maka
menjawab Anas: “Tiada diberi oleh Allah kepadanya kekurangan dengan tua !”.
Kemudian ditanyakan lagi: “Adakah tua itu suatu kekurangan ?”. Menjawab Anas:
“Semua kamu tiada menyukai tua”. Diceritakan orang, bahwa Yahya bin Aktsam
diangkat menjadi hakim (qadli) ketika berumur 21 tahun. Maka bertanyalah
kepadanya seorang laki-laki di dalam majlis dengan maksud hendak memberi malu
kepada Yahya disebabkan umurnya masih kecil: “Berapakah umur qadli ? kiranya
Allah memberi pertolongan kepadanya”. Maka menjawab Yahya: “Seperti umur ‘Attab
bin As-yad ketika diangkat oleh Rasulullah saw menjadi amir dan qadli Makkah”.
Maka hitamlah muka laki-laki itu. Diriwayatkan dari Malik ra, bahwa ia berkata:
“Saya baca di dalam sebahagian kitab-kitab: “Janganlah tertipu kamu oleh
janggut karena kambing jantanpun berjanggut”. Berkata Abu ‘Amr bin Al-‘Ula:
“Apabila engkau melihat orang laki-laki, berbadan tinggi kurus berjanggut
lebat, maka hukumlah dia dengan kebodohan, meskipun dia Umayyah bin Abdi
Syams”. Berkata Ayyub As-Sakhtayani: “Saya menjumpai seorang tua berumur 80
tahun mengikuti seorang anak-anak, di mana ia belajar padanya”. Berkata Ali bin
Al-Husain: “Siapa yang sudah lebih dahulu berilmu sebelum engkau, maka adalah
dia imam engkau pada ilmu itu, meskipun dia lebih muda dari engkau”. Ditanyakan
kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Ula: “Adakah baik bagi seorang tua belajar kepada anak
kecil ?”. Maka menjawab Abu ‘Amr: “Kalau kebodohan itu dipandang buruk, maka
belajar adalah baik pada anak kecil itu”. Berkata Yahya bin Mu’in kepada Ahmad
bin Hanbal, di mana dilihatnya Ahmad sedang berjalan kaki di belakang baghal
betina Asy-Syafi’i: “Hai Abu Abdillah ! engkau tinggalkan pembicaraan dengan
Sufyan dengan kebesarannya dan engkau berjalan kaki di belakang baghal betina
pemuda ini dan engkau mendengar segala perkataannya”. Maka menjawab Ahmad
kepada Yahya: “Kalaulah kiranya engkau mengetahui, maka sesungguhnya engkau akan
berjalan kaki pula dari yang sebelah lagi. Bahwa ilmu Sufyan kalau luput bagiku
dengan langsung, niscaya akan aku peroleh dengan perantaraan orang lain. Dan
akal pikiran pemuda ini kalau luput bagiku, niscaya tiada akan aku peroleh
lagi, baik dengan langsung atau dengan perantaraan.
Yang keempat: mencabut yang putih dari janggut,
karena menjaga dari tua. Dan: “Telah dilarang Nabi saw daripada mencabut yang
putih daripadanya. Dan bersabda ia: “Yang putih itu adalah nur bagi orang
mu’min”. Mencabut yang putih itu adalah searti dengan mencatnya dengan warna
hitam. Dan sebab makruhnya ialah yang telah tersebut dahulu. Dan yang putih itu
adalah nur Allah Ta’ala. Benci kepadanya berarti benci kepada nur.
Yang kelima: mencabut janggut atau sebahagian
daripadanya yang dapat merusakkan dan menjadikan kepala pening.
Yang
demikian itu makruh dan merusakkan bagi bentuk muka. Mencabut bulu di bawah
bibir bawah itu adalah bid’ah, di mana bulu itu tumbuh pada kedua belah bibir
bawah itu. Seorang laki-laki yang datang pada khalifah Umar bin Abdul-‘aziz,
sebagai saksi di dalam suatu perkara, maka ditolak kesaksiannya itu, karena dia
adalah mencabut bulu di bawah bibirnya, Umar bin Khaththab dan Ibnu Abi Laila
qadli madinah menolak menjadi saksi orang yang mencabut janggutnya. Adapun
mencabut pada permulaan tumbuh karena akan menyerupai dengan anak muda-belia,
maka termasuk diantara mungkar besar. Karena janggut itu adalah perhiasan bagi
laki-laki. Bahwa Allah Ta’ala mempunyai malaikat-malaikat yang bersumpah: “Demi
Allah yang telah menghiasi putra-putra Adam dengan janggut”. Janggut itu adalah
sebahagian dari tanda kesempurnaan kejadian. Dengan janggut itu dapat dibedakan
laki-laki daripada wanita. Ada orang yang mengatakan, dalam satu ta’wil yang
tidak begitu terkenal (gharib), bahwa janggut, yang dimaksud pada firman Allah
Ta’ala: “Tuhan menambah ciptaanNya sebagaimana yang dikehendakiNya”. S 35
Faathir ayat 1. Berkata para sahabat Al-Ahnaf bin Qais: “Kami ingin membeli
untuk Ahnaf janggut walaupun dengan harga 20 ribu”. Berkata Qadli Syuraih: “Aku
ingin mempunyai janggut, walapun dengan harga 10 ribu”. Bagaimana janggut itu
tidak disukai, padahal padanya tanda kebesaran seseorang dan memandang kepada
orang itu dengan pandangan pengetahuan, kemuliaan, ketinggian, di dalam
majlis-majlis, segala wajah menghadap kepadanya, didahulukan di dalam rombongan
dan dipeliharakan kehormatannya. Orang yang mencaci akan ditentang dengan
janggut, kalau yang dicaci itu mempunyai janggut. Ada yang mengatakan: “Bahwa
penduduk sorga itu terdiri dari anak-anak muda belia, selain Harun saudara Musa
as. Dia mempunyai janggut sampai ke pusatnya sebagai keistimewaan dan kelebihan
baginya.
Yang keenam: pengguntingan janggut sebagai
persediaan akan kemampuan atas kemampuan, untuk penghiasan bagi wanita dan
membuat-buat. Berkata Ka’ab: “Akan ada pada akhir zaman beberapa
kaum, yang menggunting janggutnya seperti ekor merpati dan mengusahakan alas
kakinya seperti arit. Mereka adalah orang yang tiada berbudi”.
Yang ketujuh: menambahkan pada janggut, yaitu
menambahkan pada bulu tudung dari dua pelipis, yakni dari
rambut kepala sehingga melewati tulang rahang dan berkesudahan kepada setengah
pipi. Dan yang demikian itu melaini keadaan orang-orang yang suka kepada
perbaikan.
Yang kedelapan: menyisir janggut itu karena manusia. Berkata
Bisyr: “Pada janggut itu ada kejahatan, yaitu menyisirkannya karena manusia dan
membiarkannya tersia-sia karena melahirkan zuhud”.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan