Catatan Popular

Jumaat, 14 Ogos 2015

KITAB RAHSIA BERSUCI IHYA ULUMUDDIN : TETANG PEMBERSIHAN DARI SISA (BAHAGIAN 3)



BAHAGIAN KETIGA : Tentang kebersihan dan pembersihan dari sisa-sisa sesuatu yang nyata. Iaitu dua macam: daki dan bahagian-bahagian dari sisa sesuatu.

MEGANDUNGI EMPAT (4) FASAL:

FASAL PERTAMA  

DAKI DAN SEGALA YANG BASAH YANG  MENYERUPAI PELUH, IAITU 8 PERKARA:

Perkara Pertama: yang berkumpul di dalam rambut kepala, dari kotoran dan kutu. Maka membersihkan daripadanya itu disunatkan, dengan mandi, disisir dan diberi minyak untuk menghilangkan kotoran itu. Dan: “Adalah Nabi saw meminyaki rambutnya, menyisirkannya sekali-sekali dan menyuruh dengan yang demikian”. Dan bersabda ia saw: “Siapa yang mempunyai rambut maka hendaklah memuliakannya”. Artinya: memeliharanya daripada daki. Datang menghadap Nabi saw, seorang laki-laki, yang rambutnya kusut-musut, janggutnya centang-perenang, maka bersabda Nabi saw: “Apakah orang ini tidak mempunyai minyak untuk membereskan rambutnya ?”. Kemudian Nabi saw terus menyambung: “Salah seorang kamu masuk seolah-olah seperti setan”.
Perkara Kedua: daki yang berkumpul dalam lipatan-lipatan telinga. Dengan disapu, hilanglah yang zhahir daripadanya. Dan yang terkumpul di dalam lobang telinga itu, maka seyogyalah dibersihkan dengan pelan-pelan ketika keluar dari kamar mandi. Karena apabila daki itu banyak, kadang-kadang membawa melarat kepada pendengaran.

Perkara Ketiga: yang berkumpul di dalam hidung, daripada benda-benda basah dan keras, yang melekat pada tepi-tepi hidung. Menghilangkannya adalah dengan menghisap air ke hidung (istinsyaq) dan dengan membersihkan air tersebut (istintsar).
              
Pekara Keempat: kotoran yang berkumpul pada gigi & pinggir lidah. Maka menghilangkannya adalah dengan bersugi & berkumur-kumur. Keduanya itu telah kami terangkan dahulu.
          
 Perkara Kelima: daki dan kutu yang berkumpul pada janggut apabila tiada diusahakan membersihkannya. Maka disunatkan menghilangkannya dengan mandi dan menyisirkannya dengan sisir. Pada suatu hadits yang masyhur, tersebut bahwa Nabi saw: “Tiada pernah berpisah dengan sisir, pisau kecil dan cermin muka, di dalam perjalanan atau di tempat tinggal”. Dan itu memang menjadi kebiasaan bagi orang-orang Arab. Pada suatu hadits yang tidak begitu terkenal (hadits gharib), bahwa Nabi saw menyisirkan janggutnya sehari dua kali dan adalah Nabi saw itu berjanggut tebal. Dan seperti itu pula Abu Bakar. Dan Usman adalah berjanggut panjang tetapi tipis. Dan Ali berjanggut lebar memenuhi diantara kedua tulang-rahangnya. Pada suatu hadits yang lebih tiada terkenal lagi, berkata ‘Aisyah: “Berkumpul suatu kaum pada pintu Rasulullah saw lalu beliau keluar menjumpai mereka. Saya melihat beliau kelihatan memakai baju kurung panjang dengan bersisir rambut dan janggutnya. Maka saya bertanya: “Mengapakah berbuat demikian ya Rasulullah ? maka menjawab beliau: “Ya, sesungguhnya Allah menyukai daripada hambaNya, berbuat keelokan untuk saudara-saudaranya apabila keluar ia menemui mereka”. Orang bodoh, kadang-kadang menyangka bahwa yang demikian itu karena suka menghias diri untuk memperlihatkan kepada manusia, karena membanding kepada budi pekerti orang-orang lain dan karena menyerupakan malaikat dengan tukang-tukang besi. Amat jauhlah yang demikian ! sesungguhnya adalah Rasulullah saw disuruh melakukan dakwah. Dan sebahagian dari tugasnya, ialah berusaha membesarkan keadaan dirinya dalam hati mereka, supaya mereka itu tidak menghinakannya. Dan baguslah bentuknya pada mata mereka.

Supaya mereka tidak memandang kecil kepadanya, lalu menjauhkan mereka daripadannya. Dan orang-orang munafik itu bergantung dengan demikian, pada menjauhkan mereka. Maksud yang seperti itu harus ada pada tiap-tiap orang yang berilmu pengetahuan, yang menggunakannya untuk mengajakan manusia kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Yaitu harus menjaga sesuatu yang zhahiriyah, yang tiada membawa manusia lari daripadanya. Dan berpegang di dalam keadaan yang seperti ini dengan niat yang baik. Karena itu adalah segala perbuatan, di dalam perbuatan itu sendiri diusahakan sifat-sifat daripada yang dimaksud. Maka menghias diri atas maksud yang tersebut tadi adalah disukai. Membiarkan janggut di dalam keadaan kusut sebagai menyatakan zuhud dan kurang menghiraukan diri itu, dilarang. Dan kalau dibiarkan yang demikian disebabkan ada sesuatu yang lebih penting, maka itu disukai. Inilah keadaan-keadaan bathiniyah diantara hamba dan Allah ‘Azza Wa Jalla. Orang yang bersifat kritis adalah bermata hati. Dan yang suka mencampur-baurkan, adalah tiada beruntung dalam keadaan manapun juga. Berapa banyak orang bodoh yang memperbuat segala perbuatan itu karena memandang kepada manusia. Maka dia adalah mengacau terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Dan mendakwakan bahwa maksudnya itu baik. Maka kita melihat segolongan dari ulama, memakai pakaian mewah dan mendakwakan bahwa maksudnya adalah untuk menghinakan orang-orang bid’ah dan orang-orang yang suka berdebat dan dengan itu ia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Yang demikian adalah suatu perkara yang akan terbuka di hari segala rahasia terbuka, di hari dibongkar apa yang di dalam kubur dan dibukakan apa yang di dalam dosa, maka pada ketika itu berbedalah emas murni daripada tembaga. Kita berlindung dengan Allah daripada kehinaan pada hari kedatangan (hari mahsyar) yang agung itu.

Perkara Keenam: daki pada lipatan punggung anak-anak jari. Adalah orang Arab tidak banyak menyucikannya karena membiarkan tangannya tiada berbasuh sesudah makan. Maka berkumpullah daki pada tempat-tempat itu. Maka Rasulullah saw menyuruh mereka, dengan membersihkan sendi anak-anak jari.

Perkara Ketujuh: membersihkan ujung anak-anak jari dan di bawah kuku-kuku. Rasulullah saw menyuruh orang Arab membersihkannya. Yaitu: ujung anak-anak jari dan daki yang dibawah kuku. Karena tidak membawa pisau pemotong kuku, maka berkumpullah daki padanya. Lalu Rasulullah saw memberikan waktu bagi mereka untuk memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan di dalam 40 hari. Tetapi Rasulullah saw terus menyuruh mereka membersihkan daki yang ada di bawah kuku. Tersebut pada atsar, bahwa: “Nabi saw merasa lambat datangnya wahyu. Maka tatkala turun Jibril as kepadanya, lalu berkata ia kepada Nabi saw: “Bagaimana kami turun kepadamu, sedang kamu tiada membasuhkan lipatan belakang anak-anak jarimu dan tiada membersihkan ujung anak-anak jari dan bawah kuku-kukumu dan tiada bersugi dari kotoran gigimu ? suruhlah umatmu dengan yang demikian itu !”. Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah engkau mengatakan kepada ibu bapak perkataan uff (cis)”. S 17 Al Israa’ ayat 23. “Uff” itu menurut aslinya berarti: daki kuku. Jadi: janganlah dihinakan keduanya dengan: daki yang di bawah kuku itu. Adapula yang mengatakan bahwa maksudnya: janganlah engkau merasa disakiti dengan keduanya seperti engkau merasa disakiti dengan daki yang di bawah kuku.

Perkara Kedelapan: daki badan yang terdapat pada seluruh badan karena keringat dan debu jalan. Daki itu dapat dihilangkan dengan mandi. Dari itu, tiada mengapa memasuki tempat pemandian umum (hammam). Para sahabat Rasulullah saw memasuki tempat-tempat pemandian umum di negeri Syam (syiria) dan berkata sebagian dari mereka: “Sebaik-baik rumah ialah rumah yang mempunyai hamam, yang menyucikan badan dan mengingatkan kepada api neraka”. Diriwayatkan yang demikian dari Abid-Darda dan Abi Ayyub Al-Anshari ra berkata setengah mereka: “Sejahat-jahat rumah, ialah rumah yang menjadi tempat pemandian umum, yang menampakkan aurat dan menghilangkan malu”. Yang ini membentangkan bahayanya dan yang itu (di atas tadi) membentangkan faedahnya. Dan tiada mengapa mencari faedahnya ketika terpelihara daripada bahayanya. Tetapi orang yang masuk hammam itu, mempunyai beberapa tugas, yang merupakan sunat dan wajib. Ia mempunyai 2 kewajiban terhadap auratnya sendiri dan 2 kewajiban terhadap aurat orang lain. Adapun 2 kewajiban terhadap auratnya sendiri, yaitu menjaganya dari pandangan orang lain dan memeliharanya daripada sentuhan orang lain. Maka tiada yang mengurus auratnya dan membersihkan daki auratnya melainkan tangannya sendiri. Dan mencegah tukang gosok badan daripada menyentuh paha dan diantara pusat sampai kepada bulu kemaluannya. Dan mengenai mubahnya selain anggota dari menyentuh keluar najis, muka dan belakang (sau-ah), untuk menghilangkan daki, itu ada kemungkinan. Tetapi yang lebih dapat dikiaskan itu haram, karena dihubungkan menyentuh kedua sau-ah (baik yang dimuka dan yang dibelakang) itu, tentang haramnya, dengan memandang. Begitu pula hendaknya dengan bahagian aurat yang lain, yakni: kedua paha. Dan dua kewajiban mengenai aurat orang lain, yaitu memejamkan matanya sendiri daripada melihat aurat orang lain dan melarang orang lain daripada membuka auratnya. Karena melarang dari perbuatan mungkar itu, wajib. Dari itu harus atasnya mengingatkan yang demikian dan tidak harus atasnya menerima. Kewajiban memperingatkan itu tidak hilang, kecuali karena takut dipukul atau dimaki atau akan dilakukan terhadap dirinya suatu yang haram. Maka tidak boleh ia menantang yang haram itu, yang dipaksakan kepadanya nanti oleh orang yang ditantang, kepada mengerjakan suatu haram yang lain. Adapun sekedar mengatakan: ketahuilah bahwa perbuatan itu tiada berfaedah dan janganlah dikerjakan perbuatan yang demikian maka yang seperti itu tiada mengapa.
 Bahkan harus diperingati secara yang demikian. Maka tiada terlepas hati, daripada berkesan dengan mendengar tantangan dan merasa berjaga-jaga diri ketika disebut perbuatan maksiat. Dan yang demikian memberi kesan tentang menjelekkan perbuatan itu dan menjauhkan diri daripadanya. Maka tidak boleh ditinggalkan !. Dan karena alasan yang seperti itulah, maka tidak memasuki tempat pemandian umum pada waktu sekarang menjadi tanda berhati-hati. Karena tiada terlepas daripada melihat aurat terbuka, lebih-lebih yang di bawah pusat hingga yang di atas bulu kemaluan. Karena manusia sekarang tidak memandangnya aurat lagi. Sedang agama menghitungkannya aurat dan menjadikan sebagai anggota yang terhormat bagi aurat itu. Dari itu, disunnatkan mengosongkan tempat pemandian umum itu.
Berkata Bisyr bin Al-Harts: “Alangkah sulitnya seseorang yang tidak mempunyai wang selain sedirham yang dibayarkannya supaya boleh ia memakai tempat pemandian umum !”. Dilihat orang Ibnu Umar ra pada tempat pemandian umum dan mukanya ke dinding. Ia menutup kedua matanya dengan sepotong kain. Berkata setengah mereka: “Tidak mengapa masuk ke tempat pemandian umum, asal dengan dua helai kain, sehelai untuk penutup aurat dan sehelai lagi untuk penutup kepala, yang mencukupi untuk kepala itu dan untuk memelihara kedua matanya”.


FASAL KEDUA

Adapun sunat, maka 10 Perkara:

Pertama: niat. Iaitu bahwa ia tidak masuk hammam/tempat pemandian umum itu karena dunia dan tidak untuk bermain-main karena dorongan hawa nafsu. Tetapi maksudnya ialah kebersihan yang amat disukai, karena penghiasan bagi shalat. Kemudian memberikan kepada penjaga tempat pemandian umum itu sewanya sebelum masuk. Maka sesungguhnya apa yang akan dipakai oleh orang itu secara maksimalnya tiada diketahui. Dan begitu pula apa yang ditunggu oleh penjaga tempat pemandian umum itu.
Maka menyerahkan sewanya sebelum masuk adalah menolakkan kebodohan dari salah satu dari dua yang dipertukarkan itu dan untuk membaikkan bagi dirinya. Kemudian orang yang masuk ke dalam pemandian umum itu, mendahulukan kakinya yang kiri, ketika masuk seraya membaca doa yang artinya: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku berlindung dengan Allah dari kotoran yang najis, keji lagi dikejikan, setan yang terkutuk”. Kemudian masuk ke tempat pemandian itu di dalam keadaan yang sunyi atau menunggu kesunyian tempat pemandian umum itu. Karena jikalau tidak ada pada tempat pemandian umum itu, selain dari ahli agama dan orang-oarng yang memelihara auratnya, maka memandang kepada badan-badan yang terbuka, adalah banyak sedikitnya bercampur dengan perasaan malu. Dan itu mengingatkan kepada memandang aurat-aurat orang. Kemudian tidaklah terlepas manusia itu dalam gerak-geriknya dari terbuka aurat, disebabkan terangkat tepi kain sarungnya, lalu jatuhlah pandangan kepada aurat dengan tidak disengaja.
Karena itulah Ibnu Umar ra menutup kedua matanya. Dan membasuh kedua bahagian tubuh ketika masuk. Dan janganlah bersegera masuk tempat pemandian yang sedang panas, sehingga keluarlah peluhnya pada pertamanya. Dan tidak membanyakkan penuangan air, tetapi menyingkatkan sekedar perlu saja. Karena demikianlah yang diizinkan, menurut tanda-tanda dari keadaan yang berlaku. Dan melebihkan air daripada yang diperlukan, kalau diketahui oleh penjaga tempat pemandian itu, niscaya tidak disukainya, lebih-lebih air panas. Karena memerlukan perongkosan yang lebih banyak dan tenaga yang meletihkan. Dan bahwa mengingati akan panasnya api neraka dengan panasnya tempat pemandian umum itu. Dan mengumpamakan dirinya terkurung pada tempat yang panas itu satu jam dan membandingkannya kepada neraka jahannam. Karena tempat pemandian umum itu adalah rumah yang lebih menyerupai dengan neraka jahannam, di mana, apinya di bawah dan gelapnya di atas.

Kita berlindung dengan Allah dari yang demikian !. Bahkan, orang yang berakal, tidak lalai daripada mengingati akhirat pada tiap detik, karena akhirat itu adalah tempat kembali dan tempat ketetapannya. Maka pada tiap-tiap yang dilihatnya, baik air atau api ataupun lainnya, adalah menjadi ibarat dan pengajaran baginya. Manusia itu memandang sesuatu menurut cita-citanya. Apabila masuklah seorang penjual kain, seorang tukang kayu, seorang pembangun gedung-gedung dan seorang tukang tenun ke dalam sebuah rumah besar yang terhias cantik, maka apabila kita perhatikan keadaan mereka itu masing-masing, niscaya kita lihat penjual kain itu memandang kepada alas lantai, memperhatikan nilainya. Tukang tenun itu memandang kepada kain-kain, memperhatikan tenunannya. Tukang kayu itu memandang ke atap, memperhatikan bagaimana susunannya. Dan pembangun gedung-gedung itu memandang kepada dinding batu, memperhatikan bagaimana keteguhan dan kelurusan bangunannya. Maka seperti itu pulalah orang yang berjalan di jalan akhirat, tidak memandang dari barang-barang yang banyak itu sesuatu, melainkan yang mengandung pengajaran dan peringatan bagi akhirat. Bahkan ia tiada melihat kepada sesuatu, melainkan dibukakan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla, jalan ibarat baginya. Jika ia melihat kepada sesuatu yang hitam, lalu teringatlah ia akan kegelapan di dalam kubur. Jika ia melihat kepada seekor ular, lalu teringatlah ia akan ular-ular di neraka jahannam. Jika ia melihat kepada suatu bentuk yang buruk lagi menakutkan, lalu teringatlah ia akan malaikat Munkar, Nakir dan Az-Zabaniah. Jika ia mendengar suatu suara yang dahsyat, lalu teringatlah akan bunyi sangkakala. Jika melihat sesuatu yang cantik, lalu teringatlah ia akan kenikmatan sorga. Jika ia mendengar kata bersoal-jawab di pasar atau di rumah, lalu teringatlah ia akan apa yang akan terbuka, dari akhir urusannya, setelah dihisab, ditolak atau diterima. Alangkah layaknya, kalaulah ini yang menjadi kebiasaan di dalam jiwa orang yang berakal ! karena sebetulnya tiadalah yang memalingkan dia daripadanya selain oleh kepentingan-kepentingan duniawi.
Apabila dibandingkan lama berdiam di dunia dengan lama berdiam di akhirat, niscaya dipandangnya hina dunia ini, kalau ia bukan termasuk orang yang telah lalai jiwanya dan buta mata hatinya. Setengah daripada sunat, bahwa tiada memberi salam, ketika masuk ke tempat pemandian umum itu. Jika orang memberi salam kepadanya, maka jangan dijawabnya dengan kata-kata salam, tetapi berdiam diri saja, jika ada orang lain yang menjawabnya. Dan kalau ia suka, maka baiklah menjawab: “Kiranya Allah memberikan kesehatan kepadamu !”. Tiada mengapa ia berjabat tangan dengan orang yang masuk, seraya mengucapkan sebagai permulaan percakapan: “Kiranya Allah memberikan kesehatan kepadamu !”. Kemudian, tiada membanyakkan percakapan di dalam tempat pemandian umum itu dan tiada membaca ayat Alquran, kecuali dengan hati saja. Tiada mengapa membaca A’udzu billah, artinya memohonkan perlindungan dengan Allah daripada setan, dengan suara keras. Dimakruhkan masuk ke tempat pemandian umum diantara Maghrib dan ‘Isya dan mendekati matahari terbenam. Karena ketika itu adalah waktu berkeliaran setan-setan. Tiada mengapa badannya digosok orang lain.

Telah dinukilkan demikian dari Yusuf bin ‘Asbath bahwa ia meninggalkan wasiat untuk dimandikan dia oleh orang yang bukan sahabatnya. Dia berkata: “Bahwa orang itu telah menggosokkan badanku sekali di tempat pemandian umum, maka aku bermaksud membalaskan jasanya dengan sesuatu yang disukainya. Dan sesungguhnya dia akan bergembira dengan yang demikian itu”. Dan dibuktikan kepada bolehnya, oleh apa yang diriwayatkan oleh sebahagian sahabat: “Bahwa Rasulullah saw bertempat pada suatu rumah dalam sebahagian perjalanannya. Maka tidurlah ia dengan menungkup dan seorang budak hitam memijit-mijit belakangnya. Maka aku bertanya: “Apakah ini ya Rasulullah ?”. Menjawab Nabi saw: “Bahwa unta ini mencebur kepadaku”. Kemudian, tatkala telah siap dari tempat pemandian umum itu, maka bersyukurlah kepada Allah ‘Azza Wa Jalla atas nikmatNya. Orang mengatakan bahwa air yang panas pada musim dingin adalah suatu nikmat yang diminta. Berkata Ibnu Umar ra: “Tempat pemandian umum itu adalah termasuk nikmat yang diadakan oleh manusia ramai”. Ini semuanya dari segi agama. Adapun dari segi kesehatan, maka orang mengatakan bahwa mandi di tempat pemandian umum itu sesudah memakai obat yang membersihkan rambut kepala, menjamin daripada penyakit kusta. Dan ada yang mengatakan bahwa membersihkan rambut kepala pada tiap-tiap bulan sekali, menghilangkan bintik-bintik kuning pada badan, membersihkan warna kulit dan menambahkan kekuatan tenaga bersetubuh. Dan orang mengatakan bahwa membuang air kecil di tempat pemandian umum itu, dengan berdiri pada musim dingin, adalah lebih bermanfaat daripada minum obat.
Dan ada yang mengatakan bahwa tidur pada musim panas sesudah mandi di halaman itu, menyamai dengan minum obat. Dan membasuh dua tapak kaki dengan air dingin, setelah keluar dari hammam, adalah menjamin daripada penyakit bengkak pada otot kaki. Dimakruhkan menuang air dingin ke atas kepala ketika keluar dari hammam. Demikian juga meminumnya. Yang tersebut itu adalah hukumnya mengenai laki-laki. Adapun wanita, maka telah bersabda Nabi saw: “Tidak halal bagi laki-laki memasukkan isterinya ke hammam dan dalam rumahnya mempunyai hammam”. Dan hadits masyhur: “Bahwa haram kepada laki-laki memasuki hammam, selain dengan berkain sarung. Dan haram atas wanita memasuki hammam, kecuali dia sedang bernifas atau sakit”. Dan ‘Aisyah telah memasuki hammam di waktu dia menderita sakit. Kalau wanita itu masuk hammam karena sesuatu kepentingan, maka janganlah masuk kecuali dengan kain sarung yang lengkap. Dimakruhkan bagi laki-laki memberikan kepada wanita sewa hammam, karena yang demikian itu adalah merupakan pertolongan kepada wanita untuk berbuat yang makruh.


FASAL KETIGA

Segala sesuatu yang mendatang pada tubuh manusia, dari bahagian-bahagian.  Iaitu  8 perkara.

Pertama: rambut kepala. Dan tiada mengapa mencukurnya bagi orang yang bermaksud kebersihan. Dan tiada mengapa membiarkannya bagi orang yang dapat meminyaki dan menyisirkannya. Kecuali apabila ditinggalkannya dengan memotong sebahagian dan tidak sebahagian, dari kepala. Dan itu adalah kebiasaan orang-orang terkutuk dan keji (ahlisy-syath-tharah). Atau dilepaskannya rambut terurai, ke kanan dan ke kiri seperti bentuk yang biasa diperbuat oleh golongan bangsawan, sebagai simbul mereka. Maka apabila ia bukan orang bangsawan, niscaya adalah yang demikian itu talbis (pemakai pakaian yang bukan pakaiannya).

Kedua: kumis @ Misai. Bersabda Nabi saw: “Guntinglah kumismu”. Pada riwayat yang lain, berbunyi: “Potonglah kumismu”. Dan pada riwayat yang lain lagi, berbunyi: “Buatlah kumismu di tepi bibir (huffu) dan biarkanlah janggutmu sampai panjang (A’fu)”, artinnya: kumis itu dibuat dengan baik di keliling bibir, karena Nabi saw mengatakan pada sabdanya yang di atas, menurut bahasa aslinya dengan kata-kata “huffu”, yang berarti: buatlah kumis itu di keliling bibir sebab kata-kata itu mengandung keliling. Diantaranya dapat diperhatikan pada firman Allah Ta’ala: “Dan engkau akan melihat malaikat-malaikat berkerumun di keliling ‘Arasy itu”. S 39 Az Zumar ayat 75. Pada kata-kata lain “uhfuu”, dan ini memberitahukan dengan membuang sampai habis. Dan katanya “huffuu”, menunjukkan kurang dari demikian.
Berfirman Allah Ta’ala: “Kalau itu dimintaNya kepada kamu, dan didesakNya kamu, niscaya kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37. Kata-kata “didesaknya”, bahasa Arabnya ialah: “yuhfi”, kata asalnya “ihfa”, artinya: didesaknya sampai habis, maka ini menunjukkan, menurut bahasa: membuang sampai habis. Adapun mencukur kumis itu, tiada datang ketegasannya. Dan “ihfa”, tadi yang mendekati kepada mencukurnya, dinukilkan dari sahabat-sahabat Nabi saw: dilihat oleh sebahagian tabi’in (para pengikut sahabat), kepada seorang laki-laki yang membuat kumisnya demikian pendek, mendekati kepada dicukur, lalu berkata: “Disebutkan yang demikian kepadaku oleh sahabat-sahabat Rasulullah saw”. Berkata Al-Mughirah bin Syu’bah: “Rasulullah saw memandang kepadaku dan telah panjanglah kumisku, seraya bersabda: “Mari guntinglah dia karenaku, bukan karena orang lain !”. Dan tiada mengapa membiarkan panjang kedua tepi kumis itu, yang telah diperbuat demikian oleh Umar dan orang lain. Karena yang demikian tidaklah menutupkan mulut dan tidak tertinggal padanya bekas makanan. Karena tepi kumis itu tidak sampai kepada mulut. Dan mengenai sabda Nabi saw di atas mengenai janggut, yang disuruhnya supaya dibiarkan, maksudnya adalah membiarkan janggut itu sampai banyak. Pada suatu hadits tersebut: “Bahwa orang Yahudi itu membanyakkan kumisnya dan mengguntingkan janggutnya. Maka hendaklah kamu berbeda dari mereka !”. Sebagian ulama memandang makruh menggunting janggut dan berpendapat itu bid’ah.
Ketiga: bulu ketiak. Disunatkan mencabutnya sekali pada tiap-tiap 40 hari. Yang demikian itu adalah mudah bagi orang yang telah membiasakan mencabutnya dari bermula. Adapun orang yang telah membiasakan mencukurnya, maka memadailah dengan mencukurnya, karena kalau dicabut, maka mendatangkan kesakitan dan penderitaan. Yang dimaksud adalah kebersihan dan tidak berkumpul daki di celah-celah bulu ketiak itu. Dan yang demikian berhasil dengan dicukur.

Keempat: bulu kemaluan. Disunatkan menghilangkannya, adakalanya dengan dicukur atau dengan obat yang menghilangkan bulu. Dan tidak layaklah diperlambat menghilangkan bulu itu daripada 40 hari.

Kelima: kuku. Memotong kuku disunatkan karena buruk tampaknya apabila kuku itu panjang dan karena berkumpul daki di bawahnya. Bersabda Nabi saw: “Hai Abu Hurairah ! potonglah kukumu, karena setan duduk di atas kuku yang panjang itu”. Kalau ada daki di bawah kuku, maka tidaklah yang demikian itu mencegah syahnya wudlu. Karena daki itu tidak menghalangi sampainya air. Dan tidak diperkeras benar mengenai kuku itu karena ada perlunya, lebih-lebih mengenai kuku laki-laki. Dan tidak diperkeras benar mengenai daki yang berkumpul di atas punggung anak jari, punggung kaki dan tangan dari orang-orang Arab dan bangsa hitam. Rasulullah saw menyuruh mereka memotong kuku dan tidak senang melihat daki di bawah kuku mereka. Dan tidak disuruhnya mereka mengulangi shalat. Kalau disuruhnya demikian, maka menimbulkan faedah yang lain yaitu memberatkan dan menakutkan dari berbuat yang demikian. Dan tidak saya melihat dalam kitab-kitab, satu haditspun yang meriwayatkan tentang penertiban pemotongan kuku. Tetapi saya mendengar: “Bahwa Nabi saw memulai dengan telunjuknya yang kanan dan menyudahi dengan ibu jari yang kanan. Dan memulai tangan kiri dengan kelingking sampai kepada ibu jari”. Kalau kita perhatikan ini, niscaya terlintaslah pada hati kita, pengertian yang menunjukkan bahwa riwayat dari hadits-hadits itu benar. Karena seumpama pengertian ini tidaklah terbuka pada mulanya melainkan dengan Nur kenabian. Adapun orang yang berilmu, yang bermata hati, maka tujuannya adalah memahami yang demikian itu dari akal sesudah dinukilkan perbuatan itu kepadanya. Yang jelas bagi saya mengenai hal tersebut dan pengetahuan yang sebenarnya adalah pada sisi Allah, bahwa tak boleh tidak memotong kuku tangan dan kuku kaki. Dan tangan adalah lebih mulia daripada kaki. Maka dimulailah dengan tangan. Kemudian yang kanan adalah lebih mulia dari yang kiri, maka dimulailah dengan yang kanan itu. Kemudian pada yang kanan itu ada 5 anak jari. Dan telunjuk adalah yang termulia diantara anak-anak jari itu, karena dialah yang menunjukkan pada pengucapan dua kalimah syahadah, dari keseluruhan anak-anak jari itu. Kemudian, sesudah telunjuk, seyogyalah dimulai dengan anak-anak jari di sebelah kanannya, karena agama menyunatkan melakukan penyucian dan lainnya atas yang kanan. Kalau diletakkan punggung tapak tangan di atas lantai, maka adalah ibu jari itu yang kanan. Dan kalau diletakkan perut tapak tangan, maka adalah jari tengah itu yang kanan. Apabila tangan itu dilepaskan menurut keadaannya, maka adalah tapak tangan itu condong ke arah bumi. Karena arah gerakan tangan kanan adalah ke kiri dan kesempurnaan gerakan ke kiri itu membuat punggung tapak tangan menjadi lebih tinggi. Maka apa yang dikehendaki oleh keadaan dari kejadian manusia itu sendiri, adalah lebih utama. Kemudian apabila diletakkan tapak tangan yang satu ke atas tapak tangan yang lain, maka jadilah anak-anak jari itu dalam bentuk lingkaran yang bundar.

Maka susunan gilirannya menghendaki akan perjalanan dari kanan telunjuk sampai kembali kepada telunjuk itu. Lalu terjadilah perrmulaan dengan kelingking tangan kiri dan disudahi dengan ibu jarinya. Dan tinggallah ibu jari tangan kanan. Maka disudahilah pemotongan kuku itu dengan ibu jari tangan kanan tadi. Sesungguhnya diumpamakan, tapak tangan yang satu diletakkan di atas tapak tangan yang lain, sehingga anak-anak jari itu menjadi seperti orang-orang dalam satu lingkaran, supaya jelaslah susunannya. Perumpamaan yang demikian adalah lebih utama daripada perumpamaan meletakkan tapak tangan yang satu atas punggung tapak tangan yang lain. Atau meletakkan punggung tapak tangan yang satu atas punggung tapak tangan yang lain. Karena yang demikian tidaklah menurut yang dikehendaki oleh sifat dari kejadian manusia. Adapun anak-anak jari kaki maka yang lebih utama pada saya, kalau tidak ada riwayat yang dinukilkan tentang itu, ialah dimulai dengan kelingking kaki kanan dan disudahi dengan kelingking kaki kiri, seperti pada menyelang-nyelangi air pada wudlu. Karena segala maksud yang telah kami sebutkan pada tangan dahulu, tidaklah diperoleh di sini, sebab tak ada telunjuk pada kaki. Dan anak-anak jari kaki itu adalah dalam keadaan satu baris yang terletak di atas lantai (tanah). Maka dimulailah dari pihak yang kanan. Karena mengumpamakannya sebagai suatu lingkaran dengan meletakkan tumit yang satu di atas tumit yang satu lagi, tidaklah sesuai dengan alam kejadian manusia. Lain halnya dengan dua tangan. Titik-titik halus dalam susunan ini, adalah terbuka dengan nur kenabian dalam sekejap mata. Hanya lamanya kepayahan menimpa kita. Kemudian kalau kita ditanyakan mengenai permulaan dari susunan mengenai hal yang tersebut di atas, maka kadang-kadang tidaklah ia terlintas bagi kita. Apabila kami sebutkan perbuatan Nabi saw dan susunan dari perbuatan itu, kadang-kadang memudahkan bagi kita dengan pertolongan Nabi saw dengan kesaksian hukum dan peringatannya kepada maksud, akan pemahaman maksud. Janganlah kita menyangka bahwa segala perbuatan Nabi saw dalam segala gerak-geriknya, adalah di luar timbangan, hukum dan tata tertib.

Tetapi seluruh pekerjaan yang berdasarkan kepada usaha (ikhtiar), yang telah kami sebutkan itu, yang ragu-ragu orang yang mengerjakannya, diantara dua macam atau beberapa macam, maka adalah Nabi saw tidak mengerjakan suatu macam tertentu dengan kesepakatan. Tetapi adalah dengan pengertian yang menghendaki untuk dikerjakan dan diutamakan. Maka melepaskan begitu saja dengan menyia-nyiakan, sebagaimana yang biasa terjadi, adalah sifat hewan. Dan membatasi segala gerak-gerik dengan mempertimbangkan segala arti yang terkandung di dalamnya, adalah sifat bagi wali-wali Allah. Dan manakala gerak-gerik dan gurisan hati manusia itu, lebih mendekati kepada pembatasan dan lebih jauh daripada kelengahan dan pengabaian, maka adalah derajat manusia itu sudah lebih banyak mendekati kepada derajat nabi-nabi dan wali-wali. Dan adalah dekatnya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla lebih nyata lagi. Karena orang yang dekat kepada Nabi saw ialah orang yang dekat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan orang yang dekat kepada Allah, tak boleh tidak adalah dia yang dekat. Maka yang dekat daripada yang dekat itu, adalah lebih dekat, dibandingkan dari orang lain. Maka kita berlindung dengan Allah, bahwa ada genggaman gerak-gerik kita dan tetap tenang kita di dalam tangan setan dengan godaan hawa nafsu. Ambillah ibarat mengenai pembatasan gerak-gerik dengan Nabi saw memakai celak: “Maka sesungguhnya Nabi saw adalah memakai celak pada matanya yang kanan 3 kali dan pada matanya yang kiri 2 kali. Di mulai Nabi dengan yang kanan, adalah karena mulianya”. Dan berlebih-kurang kiranya itu diantara dua mata, supaya jumlahnya menjadi ganjil (3 pada mata kanan dan 2 pada kiri). Karena ganjil itu lebih utama daripada genap. Bahwa Allah Ta’ala itu ganjil (ESA), menyukai yang ganjil. Maka tidak layaklah perbuatan hamba itu terlepas daripada kesesuaian dengan sesuatu dari sifat-sifat Allah. Dari itulah disunatkan ganjil pada istinja’. Dan tiada dicukupkan oleh Nabi saw atas 3 saja, di mana 3 itu adalah ganjil, karena kalau 3 saja maka berarti hanya satu kali saja bagi mata kiri. Dan biasanya satu kali itu, tiadalah meratai segala tepi kelopak mata itu dengan celak. Dan Nabi saw menentukan mata kanan dengan 3 kali, adalah disebabkan keutamaan yang mengharuskan untuk adanya bilangan yang ganjil itu. Dan kanan adalah lebih utama. Dari itu maka ia lebih berhak dengan lebih. Kalau anda bertanya, mengapa Nabi saw menentukan dua kali untuk mata kiri, sedang dua kali adalah genap. Maka jawabnya, adalah bahwa yang demikian itu karena terpaksa. Karena jikalau untuk tiap-tiap mata, dibuat ganjil, maka jadilah jumlahnya genap. Karena ganjil bersama ganjil, menjadi genap. Dan menjaganya supaya ganjil dalam jumlah perbuatan, di mana perbuatan itu berada di dalam suatu perkara, adalah lebih disukai daripada memeliharanya pada satu-satu. Karena itu pula, ada paham yang berpendapat, yaitu: supaya diletakkan celak itu pada tiap-tiap mata 3 kali, diqiaskan (dianalogikan) kepada wudlu. Pendapat ini dinukilkkan dalam pendapat yang benar. Dan adalah pendapat ini lebih utama.

Jikalau aku teruskan pemeriksaan secara mendalam, pengertian-pengertian yang halus dari perbuatan-perbuatan yang dijaga oleh Nabi saw di dalam segala gerak-geriknya maka akan panjanglah urusannya. Dari itu qiaskanlah dengan apa yang telah anda dengar, akan apa yang belum anda dengar. Ketahuilah, bahwa orang yang berilmu (orang ‘alim) itu, tidaklah menjadi pewaris bagi Nabi saw, kecuali apabila ia menjelajah segala pengertian syari’at. Sehingga tidak ada diantara dia dan Nabi saw, melainkan satu tingkat saja, yaitu tingkat kenabian. Itulah tingkat yang memisahkan diantara pewaris dan orang yang diwarisi. Karena yang diwarisi itu, ialah orang yang mempunyai harta, bekerja untuk memperoleh harta dan yang menguasai akan harta itu. Dan pewaris ialah orang yang tidak berusaha memperoleh harta dan tidak menguasainya, tetapi harta itu berpindah kepadanya dan diterimanya sesudah harta itu menjadi haknya. Maka pengertian-pengertian yang seperti ini, serta mudah memahaminya, dibandingkan dengan segala yang tersembunyi dan rahasia, tidaklah dapat diperoleh sendiri pada permulaannya, selain oleh nabi-nabi. Dan tidaklah terus dapat dipahami sendiri setelah ajaran dari nabi-nabi itu sampai, selain oleh para ulama, di mana mereka itu adalah pewaris daripada nabi-nabi as.

Keenam & ketujuh: lebihan pusat dan ujung kemaluan. Adapun pusat maka dipotong pada waktu mulai lahir. Adapun penyucian dengan khitan, maka adalah adat kebiasaan Yahudi pada hari ke-7 dari kelahiran. Dan menyalahi dengan Yahudi itu dengan mengemudiankan pengkhitanan sampai kepada masa tanggalnya gigi susu anak-anak, adalah lebih disukai dan lebih menjauhkan daripada bahaya. Bersabda Nabi saw: “Khitan itu adalah sunat bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita”. Dan seyogyalah tiada bersangatan pada pengkhitanan wanita. Bersabda Nabi saw kepada Ummi ‘Athiyyah, di mana ia mengkhitankan wanita: “Hai Ummi ‘Athiyyah ! sedangkanlah dan jangan engkau bersangatan ! karena itu menambah berseri-serinya muka dan bermesranya bagi suami”. Artinya: tambah berseri air dan darah muka dan membaikkan pada persetubuhan. Maka lihatlah kepada berisinya kata-kata Nabi saw secara kinayah (sindiran) dan kepada cemerlangnya nur kenabian dari kemuslihatan akhirat yang menjadi maksud terpenting dari kenabian, kepada kemuslihatan duniawi. Sehingga tersingkaplah baginya, padahal dia nabi yang ummi (tidak tahu tulis baca), dari persoalan yang menurun nilainya ini, di mana jikalau terjadilah kelalaian daripadanya, niscaya ditakuti akan timbul melaratnya. Maha sucilah Allah yang mengutus RasulNya menjadi rahmat bagi alam seluruhnya. Supaya dikumpulkannya untuk alam ini dengan keberkatan kebangkitannya, segala kepentingan duniawi dan agama. Rahmat Allah dan salamNya kepadanya !.

Kedelapan: janggut yang panjang. Kami kemudiankan membicarakannya, karena kami hubungkan dengan janggut ini, beberapa sunat dan bid’ah mengenai janggut. Karena ini adalah tempat yang terdekat, yang layak menerangkan janggut padanya. Berselisih pendapat mengenai janggut yang panjang. Ada yang mengatakan, kalau digenggam seseorang akan janggutnya dan diambilnya (dipotongnya) yang berlebihan dari genggamannya itu, maka tidak mengapa. Telah dibuat yang demikian, oleh Ibnu Umar dan segolongan tabi’in. Dan dipandang baik oleh Asy-Sya’bi dan Ibnu Sirin. Dan dipandang makruh oleh Al-Hasan dan Qatadah, di mana keduanya mengatakan: “Membiarkan janggut itu dalam keadaan sehat wal ‘afiat adalah lebih disukai, karena sabda Nabi saw: “Perbanyakkanlah janggutmu”. Suruhan di sini adalah lebih mendekati, jika tidak berkesudahan kepada menggunting janggut dan membuatnya bulat dari segala pinggir. Karena panjang yang melewati batas kadang-kadang memburukkan bentuknya dan menjadi buah mulut orang-orang yang suka mencaci dengan kata-kata yang tidak menyedapkan, kepada yang empunya janggut itu. Dari itu tiada mengapa menjaga dari kata-kata itu atas niat tadi. Berkata An-Nakha’i: “Aku heran bagi orang yang berakal yang panjang janggutnya, bagaimana dia tidak mengambil dari janggutnya itu dan dijadikannya diantara dua janggut ? karena kesederhanaan pada tiap-tiap sesuatu itu adalah baik”. Dari itu orang mengatakan: “Semakin bertambah panjanglah janggut, maka akalpun bergegas-gegas pergi (berkurang)”.


FASAL KEEMPAT

Mengenai janggut itu ada 10 perkara yang makruh. Sebahagiannya lebih makruh dari sebahagian yang lain.

Iaitu:
mencatnya dengan warna hitam, memutihkannya dengan belerang,
mencabutkannya, mencabutkan yang putih daripadanya, mengurangkan daripadanya dan menambahkan, menyisirkannya dengan dibuat-buat karena ria, membiarkannya kusut-kusut untuk melahirkan zuhud, memandang kepada yang hitam daripadanya dengan kebanggaan diri karena masih muda dan memandang kepada yang putih daripadanya dengan takabur karena kelanjutan umur dan mencatnya dengan warna merah dan kuning tanpa niat apa-apa karena menyerupakan dengan orang-orang shalih.

Adapun yang pertama, yaitu mencatnya, dengan warna hitam, adalah dilarang karena sabda Nabi saw: “Sebaik-baik mudamu, ialah orang yang menyerupakan dengan yang tua daripada kamu. Dan sejahat-jahat orang tua daripada kamu ialah orang yang menyerupakan dengan yang muda daripada kamu”. Yang dimaksudkan dengan menyerupakan dengan orang tua, ialah mengenai kehormatan diri, tidak mengenai memutihkan rambut. Nabi saw melarang mencatnya dengan warna hitam dan bersabda: “Itu adalah penduduk neraka”. Dan pada riwayat yang lain dengan kata-kata: “Mencat dengan warna hitam adalah cat orang-orang kafir”. Seorang laki-laki kawin pada masa Umar ra dan adalah ia mencat janggutnya dengan warna hitam. Maka lunturlah catnya dan tampaklah ubannya. Lalu oleh keluarga wanita itu, disampaikan kepada Umar ra. Maka Umar ra membatalkan nikahnya dan menderainya dengan pukulan, seraya Umar ra berkata: “Engkau tipu mereka ini dengan kemudaanmu dan engkau sembunyikan ketuaanmu pada mereka”. Orang mengatakan bahwa yang pertama mencat dengan warna hitam ialah Fir’aun, yang kena kutukan Allah. Dari Ibnu Abbas ra, ia meriwayatkan dari Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Akan ada pada akhir zaman suatu kaum yang mencat dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka tidak mencium bau sorga”.

Yang kedua: mencat janggut itu dengan warna kuning dan merah. Itu adalah jaiz (dibolehkan) untuk membuat keraguan tentang tua kepada kafir di dalam peperangan dan perjuangan. Maka kalau bukan atas niat ini, tetapi mau menyerupakan dengan ahli agama, maka ini tercela. Bersabda Nabi saw: “Kuning adalah warna cat bagi orang muslim dan merah adalah warna cat bagi orang mu’min”. Adalah mereka mencat dengan daun pacar untuk warna merah dan dengan khaluq (semacam tumbuh-tumbuhan yang harum) dan al-katam (semacam tumbuh-tumbuhan dipakai untuk rambut dan dapat diperbuat daripadanya dawat untuk menulis) untuk warna kuning. Sebahagian ulama mencat janggutnya dengan warna hitam untuk maju ke medan perang. Yang demikian itu tidak mengapa apabila telah betul niat dan tak ada padanya hawa nafsu dan keinginan buruk.

Yang ketiga: memutihkan janggut itu dengan belerang karena mau menyegerakan untuk melahirkan kelanjutan umur. Supaya memperoleh penghormatan, diterima menjadi saksi, dibenarkan riwayatnya dari orang-orang tua, mengangkat diri dari golongan muda dan melahirkan banyak ilmu pengetahuan, karena menyangka, bahwa dengan telah lama hidup, memberikan kepadanya keutamaan. Amat jauhlah dari yang demikian ! kelanjutan umur itu, tiada menambahkan bagi orang yang bodoh melainkan kebodohan. Ilmu itu adalah buah akal. Yaitu suatu gharizah (instinc) dan tidak berpengaruh kelanjutan umur padanya. Siapa yang gharizahnya bebal, maka lamanya waktu itu menguatkan kebebalannya. Dan adalah orang-orang tua itu mendahulukan akan orang-orang muda disebabkan ilmu. Adalah Umar bin Al-Khaththab ra mendahulukan Ibnu Abbas, padahal dia masih muda, daripada sahabat-sahabat yang terkemuka. Dan Umar ra bertanya padanya dan tidak pada mereka. Berkata Ibnu Abbas ra: “Tidak didatangkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla kepada seorang hamba akan ilmu pengetahuan, melainkan dia seorang pemuda. Dan kebaikan seluruhnya adalah pada pemuda”. Lalu Ibnu Abbas ra membaca firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Mereka berkata: Kami dengar seorang pemuda yang menyebut-nyebut –menista tuhan-tuhan itu, namanya Ibrahim”. S 21 Al ‘Anbiyaa’ ayat 60. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhannya dan Kami tambahi mereka dengan petunjuk”. S 18 Al Kahfi ayat 13. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan Kami berikan kepadanya hikmah (kebijaksanaan) ketika dia masih kanak-kanak”. S 19 Maryam ayat 12. Anas ra pernah berkata: “Telah wafat Rasulullah saw dan tidak ada pada kepalanya dan pada janggutnya 20 helai rambut putih”. Maka ditanyakan kepadanya: “Hai Abu Hamzah, sudah tuakah dia ?”. Maka menjawab Anas: “Tiada diberi oleh Allah kepadanya kekurangan dengan tua !”. Kemudian ditanyakan lagi: “Adakah tua itu suatu kekurangan ?”. Menjawab Anas: “Semua kamu tiada menyukai tua”. Diceritakan orang, bahwa Yahya bin Aktsam diangkat menjadi hakim (qadli) ketika berumur 21 tahun. Maka bertanyalah kepadanya seorang laki-laki di dalam majlis dengan maksud hendak memberi malu kepada Yahya disebabkan umurnya masih kecil: “Berapakah umur qadli ? kiranya Allah memberi pertolongan kepadanya”. Maka menjawab Yahya: “Seperti umur ‘Attab bin As-yad ketika diangkat oleh Rasulullah saw menjadi amir dan qadli Makkah”. Maka hitamlah muka laki-laki itu. Diriwayatkan dari Malik ra, bahwa ia berkata: “Saya baca di dalam sebahagian kitab-kitab: “Janganlah tertipu kamu oleh janggut karena kambing jantanpun berjanggut”. Berkata Abu ‘Amr bin Al-‘Ula: “Apabila engkau melihat orang laki-laki, berbadan tinggi kurus berjanggut lebat, maka hukumlah dia dengan kebodohan, meskipun dia Umayyah bin Abdi Syams”. Berkata Ayyub As-Sakhtayani: “Saya menjumpai seorang tua berumur 80 tahun mengikuti seorang anak-anak, di mana ia belajar padanya”. Berkata Ali bin Al-Husain: “Siapa yang sudah lebih dahulu berilmu sebelum engkau, maka adalah dia imam engkau pada ilmu itu, meskipun dia lebih muda dari engkau”. Ditanyakan kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Ula: “Adakah baik bagi seorang tua belajar kepada anak kecil ?”. Maka menjawab Abu ‘Amr: “Kalau kebodohan itu dipandang buruk, maka belajar adalah baik pada anak kecil itu”. Berkata Yahya bin Mu’in kepada Ahmad bin Hanbal, di mana dilihatnya Ahmad sedang berjalan kaki di belakang baghal betina Asy-Syafi’i: “Hai Abu Abdillah ! engkau tinggalkan pembicaraan dengan Sufyan dengan kebesarannya dan engkau berjalan kaki di belakang baghal betina pemuda ini dan engkau mendengar segala perkataannya”. Maka menjawab Ahmad kepada Yahya: “Kalaulah kiranya engkau mengetahui, maka sesungguhnya engkau akan berjalan kaki pula dari yang sebelah lagi. Bahwa ilmu Sufyan kalau luput bagiku dengan langsung, niscaya akan aku peroleh dengan perantaraan orang lain. Dan akal pikiran pemuda ini kalau luput bagiku, niscaya tiada akan aku peroleh lagi, baik dengan langsung atau dengan perantaraan.

Yang keempat: mencabut yang putih dari janggut, karena menjaga dari tua. Dan: “Telah dilarang Nabi saw daripada mencabut yang putih daripadanya. Dan bersabda ia: “Yang putih itu adalah nur bagi orang mu’min”. Mencabut yang putih itu adalah searti dengan mencatnya dengan warna hitam. Dan sebab makruhnya ialah yang telah tersebut dahulu. Dan yang putih itu adalah nur Allah Ta’ala. Benci kepadanya berarti benci kepada nur.

Yang kelima: mencabut janggut atau sebahagian daripadanya yang dapat merusakkan dan menjadikan kepala pening.
Yang demikian itu makruh dan merusakkan bagi bentuk muka. Mencabut bulu di bawah bibir bawah itu adalah bid’ah, di mana bulu itu tumbuh pada kedua belah bibir bawah itu. Seorang laki-laki yang datang pada khalifah Umar bin Abdul-‘aziz, sebagai saksi di dalam suatu perkara, maka ditolak kesaksiannya itu, karena dia adalah mencabut bulu di bawah bibirnya, Umar bin Khaththab dan Ibnu Abi Laila qadli madinah menolak menjadi saksi orang yang mencabut janggutnya. Adapun mencabut pada permulaan tumbuh karena akan menyerupai dengan anak muda-belia, maka termasuk diantara mungkar besar. Karena janggut itu adalah perhiasan bagi laki-laki. Bahwa Allah Ta’ala mempunyai malaikat-malaikat yang bersumpah: “Demi Allah yang telah menghiasi putra-putra Adam dengan janggut”. Janggut itu adalah sebahagian dari tanda kesempurnaan kejadian. Dengan janggut itu dapat dibedakan laki-laki daripada wanita. Ada orang yang mengatakan, dalam satu ta’wil yang tidak begitu terkenal (gharib), bahwa janggut, yang dimaksud pada firman Allah Ta’ala: “Tuhan menambah ciptaanNya sebagaimana yang dikehendakiNya”. S 35 Faathir ayat 1. Berkata para sahabat Al-Ahnaf bin Qais: “Kami ingin membeli untuk Ahnaf janggut walaupun dengan harga 20 ribu”. Berkata Qadli Syuraih: “Aku ingin mempunyai janggut, walapun dengan harga 10 ribu”. Bagaimana janggut itu tidak disukai, padahal padanya tanda kebesaran seseorang dan memandang kepada orang itu dengan pandangan pengetahuan, kemuliaan, ketinggian, di dalam majlis-majlis, segala wajah menghadap kepadanya, didahulukan di dalam rombongan dan dipeliharakan kehormatannya. Orang yang mencaci akan ditentang dengan janggut, kalau yang dicaci itu mempunyai janggut. Ada yang mengatakan: “Bahwa penduduk sorga itu terdiri dari anak-anak muda belia, selain Harun saudara Musa as. Dia mempunyai janggut sampai ke pusatnya sebagai keistimewaan dan kelebihan baginya.

Yang keenam: pengguntingan janggut sebagai persediaan akan kemampuan atas kemampuan, untuk penghiasan bagi wanita dan membuat-buat. Berkata Ka’ab: “Akan ada pada akhir zaman beberapa kaum, yang menggunting janggutnya seperti ekor merpati dan mengusahakan alas kakinya seperti arit. Mereka adalah orang yang tiada berbudi”.

Yang ketujuh: menambahkan pada janggut, yaitu menambahkan pada bulu tudung dari dua pelipis, yakni dari rambut kepala sehingga melewati tulang rahang dan berkesudahan kepada setengah pipi. Dan yang demikian itu melaini keadaan orang-orang yang suka kepada perbaikan.

Yang kedelapan: menyisir janggut itu karena manusia. Berkata Bisyr: “Pada janggut itu ada kejahatan, yaitu menyisirkannya karena manusia dan membiarkannya tersia-sia karena melahirkan zuhud”.

Yang kesembilan & yang kesepuluh: memandang pada hitamnya dan pada putihnya dengan pandangan “ujub” (perasaan bangga). Dan itu adalah tercela pada seluruh bahagian badan, bahkan pada seluruh budi pekerti dan perbuatan, sebagaimana akan datang keterangannya. Inilah yang kami maksudkan menyebutkannya dari segala macam penghiasan dan kebersihan itu. Dan telah berhasil diperoleh dari 3 hadits dari hadits-hadits mengenai tubuh manusia, 12 perkara: 5 daripadanya mengenai kepala: yaitu membelah (menyebak) rambut kepala, berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung (istinsyaq), menggunting kumis dan bersugi: 3 pada tangan dan kaki, yaitu memotong kuku, membasuh belakang anak-anak jari dan membersihkan daki yang di bawah kuku: 4 pada tubuh, yaitu mencabut bulu ketiak, mengandam, berkhitan dan beristinja’ dengan air. Dan telah ada hadits mengenai dengan semuanya. Apabila adalah maksud Kitab ini membentangkan kesucian zhahiriyah, bukan kesucian bathiniyah, maka kami cukupkan hingga ini saja. Dan hendaklah dipahami bahwa semua yang jijik dan kotoran pada bathin yang wajib dibersihkan, adalah lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Dan akan datang penjelasannya pada “Rubu’ Yang Membinasakan” serta memperkenalkan jalan-jalan menghilangkannya dan mensucikan hati daripadanya insya Allah ‘Azza Wa Jalla !. Telah tammat kiranya Kitab Rahasia Bersuci dengan pujian kepada Allah dan dengan pertolonganNya. Dan diiringi –Insya Allah Ta’ala oleh Kitab Rahasia Shalat. Segala pujian bagi Allah Yang Maha Esa. Dan rahmat Allah kepada penghulu kita Muhammad dan kepada tiap-tiap hamba yang pilihan

Tiada ulasan: