IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH
Salah satu di
antara persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in
ialah riyadhah,
yang artinya melatih jiwa pada kebenaran dan keikhlas-an.
Pengarang Manazilus-Sa'irin
berkata, "Riyadhah artinya melatih jiwa
untuk menerima
kebenaran." Hal ini bisa mengandung dua pengertian:
Pertama,
melatihnya untuk menerima kebenaran, jika kebenaran ini disodorkan
kepadanya,
yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan mau-pun
kehendaknya.
Apabila kebenaran ini ditawarkan kepadanya, maka dia
langsung
menerimanya. Kedua, menerima kebenaran dari orang yang
menawarkan
kepadanya. Firman Allah,
"Dan, orang yang membawa kebenaran
(Muhammad) dan
membenarkannya, mereka itulah
orang-orang yang bertakwa." (Az-
Zumar:
33).
Kebenaranmu
saja tidak cukup, tapi harus ada kebenaranmu dan
pembenaranmu
terhadap orang-orang yang benar. Sebab sebenarnya
banyak orang
yang benar, tetapi mereka tidak mau membenarkan karena
takabur,
dengki atau sebab lainnya.
Riyadhah ini ada tiga tingkatan:
1. Riyadhah-nya
orang awam, yaitu mendidik akhlak dengan ilmu,
membersihkan
amal dengan keikhlasan dan memperbanyak hak dalam
mu'amalah.
Mendidik
akhlak dengan ilmu artinya menata dan membersihkan
akhlak sesuai
dengan pranata ilmu, sehingga seorang hamba tidak
bererak,
zhahir maupun batinnya kecuali dengan pranata ilmu,
sehingga semua
gerakannya itu selalu ditimbang dengan timbangan
syariat.
Membersihkan
amal dengan keikhlasan artinya membebaskan semua
amal dari
pendorong untuk kepentingan selain Allah yang mengotori-nya.
Ini merupakan
istilah lain dari menyatukan kehendak.
Memperbanyak
hak dalam mu'amalah artinya memberikan hak Allah
dan hak hamba
secara sempurna seperti yang diperintahkan.
Jika tiga
perkara ini dirasakan berat, maka pelaksanaannya merupakan
riyadhah. Apabila sudah terbiasa, maka ia akan menjadi akhlak
dan
perilaku.
2. Riyadhah-nya
orang-orang khusus, yaitu dengan mencegah perpisahan,
tidak menoleh
ke tahapan yang telah dilewatinya dan
membiarkan
ilmu mengalir terus.
Mencegah
perpisahan artinya memotong sesuatu yang memisahkan
hatimu dari
Allah secara keseluruhan, menghadap kepada-Nya secara
utuh, hadir
bersama-Nya dengan segenap hati dan tidak menoleh
kepada
selain-Nya.
Tidak menoleh
ke tahapan yang telah dilewati artinya tidak menganggap
ilmu yang
dimiliki sudah cukup dan baik, tetap mencari tambahan,
merasa
khawatir andaikata kedudukan dirinya justru menjadi penghambat
untuk
melanjutkan perjalanan berikutnya. Yang sudah ada
harus di jaga,
dan seluruh kekuatannya harus digunakan untuk mencapai
tingkat-an dan
tahapan yang lebih tinggi lagi. Siapa yang tidak
mempunyai
tekad untuk maju terus, berarti dia sedang mundur tanpa
disadarinya.
Sebab tabiatnya tidak mengenal istilah berhenti di tempat.
Yang ada
adalah maju ke depan ataukah mundur ke belakang. Orang
yang
benar-benar melaku-kan perjalanan tidak akan menoleh ke
belakang dan
tidak ingin mende-ngar panggilan kecuali yang datang
dari arah
depan dan bukan dari arah belakang.
Membiarkan
ilmu mengalir terus artinya pergi bersama orang yang
mengajak untuk
mencari ilmu, kemana pun perginya dia ikut di belakangnya,
ke mana pun
berlari, dia tetap mengikuti. Hakikatnya adalah
pasrah kepada
ilmu dan tidak menentangnya, rasa maupun keadaan.
Teruslah
berjalan bersama ilmu ke mana pun ia pergi. Tapi yang wajib
dilakukan
adalah mempersatukan ilmu dengan keadaan dan
membuatnya
menga-tur keadaan serta tidak berbenturan.
Tentu saja
semua ini sulit dilakukan kecuali orang-orang yang benarbenar
memiliki tekad
yang kuat dan benar, karena itulah yang demiki-an
ini disebut riyadhah
(latihan). Selagi jiwa dilatih terus dan dibiasakan,
maka
lama-kelamaan akan berubah menjadi akhlak.
3. Riyadhah-nya
orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang
yang khusus
ialah dengan membebaskan kesaksian, naik ke tingkat
penyatuan,
menolak penentangan dan memutuskan segala bentuk
penukaran.
Membebaskan
kesaksian mengandung dua pengertian: Membebaskannya
agar tidak
menoleh ke yang lain, dan membebaskannya agar
tidak perlu
melihatnya. Sedangkan naik ke tingkat penyatuan artinya
mening-galkan
makna-makna perpisahan lalu beralih ke penyatuan
dzat. Meno-lak
penentangan artinya apa yang bertentangan dengan
salah satu
ke-hendaknya atau kehendak Allah. Memutuskan segala
bentuk
penukaran artinya membebaskan mu'amalah dari kehendak
untuk
mendapatkan pengganti atau imbalan. Dengan kata lain,
menjadikan
Allah sebagai sesembahan, sekalipun yang menyembah-
Nya tidak
mendapat imbalan apa-apa, karena memang menurut Dzat-
Nya Allah
layak untuk disembah dan tidak perlu menuntut atau
meminta imbalan
dari-Nya.
Namun ada yang
berpendapat, memperhatikan imbalan ini sangat
penting bagi
orang yang beramal. Jadi yang menjadi permasalahan adalah
perhatian
terhadap imbalan ini dan kejelasannya. Orang yang mencintai
secara tulus
dan tidak peduli terhadap imbalan, ternyata justru
mengharapkan
imbalan yang lebih besar dan dia mengejarnya. Imbalan
yang lebih
besar ini adalah kedekatan dengan Allah, melakukan perjalanan
hingga sampai
di sisi-Nya, tidak menyibukkan diri dengan hal-hal selainNya,
menikmati
cinta dan kerinduan untuk bersua dengan-Nya. Ini semua
merupakan
imbalan yang diharapkan orang-orang yang khusus
mengharapkannya
dan sekaligus merupakan tujuan mereka. Tidak ada
yang tercela
dalam hal ini. Bahkan ibadah mereka yang paling sempurna
ialah jika perhatian
mereka terhadap imbalan ini semakin besar.
Memang meminta
imbalan yang berkisar di kalangan makhluk, berupa
kedudukan,
harta, kekuasaan, tempat tinggal dan hal-hal lain yang serupa
dengan ini
merupakan sikap yang tercela. Terlebih lagi jika memang
hanya itulah
tuntutannya.
Tapi jika
tuntutan mereka adalah Dzat Yang Mahaagung, kedekatan
dengan-Nya,
kenikmatan cinta dan kerinduan bersua dengan-Nya,
maka tidak ada
yang tercela dalam ubudiyah ini dan tidak ada yang dianggap
kurang.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Apabila kalian memohon kepada
Allah, maka mohonlah surga Firdaus
kepada-Nya, karena Firdaus itu merupakan
pertengahan surga dan surga
yang paling tinggi. Di atasnya ada 'Arsy
Allah Yang Maha Pengasih,
dan dari sana sungai-sungai surga
memancar."
Sebagaimana
yang diketahui, surga Firdaus ini adalah tempat orang-orang
yang lebih
khusus dari orang-orang yang khusus. Memohon agar
termasuk
golongan mereka bukanlah sesuatu yang tercela dalam
ubudiyah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan