Catatan Popular

Sabtu, 15 Ogos 2015

KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 26 : I'TISHAM



IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH



I'tisham artinya berpegang teguh. I'tisham ini ada dua macam:
I'tisham kepada Allah dan i'tisham kepada tali Allah. Firman-Nya,

"Dan, berpeganglah kalian kepada Allah. Dia adalah pelindung kalian,
maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong." (Al-
Hajj: 78).

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah
kalian bercerai berai." (Ali Imran: 103).

I'tisham merupakan kata aktiva dari ishmah (perlindungan), yang
berarti berpegang kepada sesuatu yang melindungimu dan menjagamu
dari sesuatu yang ditakuti atau dihindari. Maka terkadang benteng juga
bisa disebut awashim, karena ia berfungsi menjaga dan melindungi.
Poros kebahagiaan kehidupan di dunia dan di akhirat adalah berpegang
atau berlindung kepada Allah dan kepada tali Allah. Tidak ada keselamatan
kecuali dengan dua perlindungan ini. Berpegang kepada tali Allah
artinya berlindung dari kesesatan. Sedangkan berpegang kepada Allah
artinya berlindung dari kebinasaan. Orang yang berjalan kepada Allah
seperti orang yang sedang meniti suatu jalan menuju ke tempat tujuannya.
Berarti dia membutuhkan penunjuk jalan dan keselamatan dalam
perjalanannya. Dia tidak akan sampai ke tujuan kecuali dengan dua cara
ini. Adanya petunjuk sudah cukup untuk menjaganya agar tidak tersesat
dan sekaligus memberinya petunjuk jalan yang harus dilalui, begitu pula
persiapan, kekuatan dan peralatan yang dapat melindunginya dari penghalang
di tengah perjalanan.
Berpegang kepada tali Allah mengharuskan seorang hamba untuk
mendapatkan petunjuk dan keharusan mengikuti dalil. Sedangkan berpegang
kepada Allah mengharuskannya memiliki kekuatan, persiapan dan
peralatan serta perangkat yang mendukung keselamatannya di jalan.
Karena itu ungkapan orang-orang salaf tentang berpegang kepada tali
Allah ini bermacam-macam. Tapi yang pasti setelah mereka mengisyaratkan
kepada makna ini.
Menurut Ibnu Abbas, artinya berpegang kepada agama Allah.
Menurut Ibnu Mas'ud, artinya jama'ah. Dia berkata, "Hendaklah
kalian mengikuti jama'ah, karena jama'ah adalah tali Allah yang diperintahkan-
Nya. Apa yang kalian benci dalam jama'ah dan ketaatan, masih
lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam perpecahan."
Menurut Mujahid dan Atha', artinya membuat perjanjian dengan
Allah. Sedangkan menurut Qatadah dan mayoritas mufassir, artinya adalah
Al-Qur'an.
Ibnu Mas'ud mengatakan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah tali Allah, cahaya yang terang
benderang, obat penyembuh yang bermanfaat, perlindungan bagi
siapa yang berpegang kepadanya dan keselamatan bagi siapa yang
mengikuti-nya."

Ali bin Abu Thalib mengatakan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam tentang Al-Qur'an,

"Ia adalah tali Allah yang kokoh, dzikir kepada Dzat Yang Maha
Bijaksana, jalan yang lurus, yang tidak luntur karena hawa nafsu,
yang tidak berbeda bacaannya, tidak berubah karena banyak yang
menolak dan tidak membuat para ulama merasa kenyang."

Muqatil berkata, "Artinya, berpeganglah kepada perintah Allah dan
ketaatan kepada-Nya, janganlah kalian berpecah belah seperti orangorang
Yahudi dan Nasrani."

Di dalam Al-Muwaththa' disebutkan dari hadits Malik, dari Suhail bin
Abu Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Sesungguhnya Allah meridhai tiga perkara bagi kalian dan memurkai tiga
perkara bagi kalian. Dia meridhai bagi kalian: Jika kalian menyembah-Nya
dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, berpegang kepada tali
Allah semuanya dan menyampaikan nasihat kepada orang yang diangkat
Allah menjadi wall urusan kalian. Dia murka bagi kalian: Kata-mengatai,
menghambur-hamburkan harta dan banyak bertanya." (Diriwayatkan
Muslim).

Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan, bahwa i'tisham kepada tali
Allah artinya menjaga ketaatan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-
Nya. Dengan kata lain, taat kepada-Nya secara tulus, karena Allah memerintahkannya
dan mencintainya, bukan karena mengikuti tradisi atau
karena alasan tertentu. Inilah makna iman dan mencari pahala di sisi Allah
seperti yang diisaratkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sabdanya,
"Barangsiapa puasa Ramadhan karena iman dan mencari pa-hala di sisi
Allah, dan siapa yang mendirikan shalat pada lailatul-qadar karena iman
dan mencari pahala di sisi Allah, maka dosa-dosanya diam-puni."
Sedangkan i'tisham kepada Allah artinya tawakal, berlindung, pasrah,
memohon agar Dia menjaga dan memelihara. Di antara buah i'tisham
adalah pertolongan Allah terhadap hamba. Menurut pengarang Manazilus-
Sa'irin, i'tisham kepada Allah artinya melepaskan diri dari segala sesuatu
selain Allah:


I'tisham kepada Allah ini mempunyai tiga derajat:

1. I'tisham-nya orang-orang awam, yaitu mereka yang berpegang kepada
pengabaran, dengan meyakini janji dan ancaman, mengagungkan
perintah dan larangan, yang melandaskan mu'amalah kepada keyakinan
dan keadilan. Dengan kata lain, orang-orang awam itu berpegang
kepada pengabaran yang disebutkan dari Allah, menerimanya secara
utuh tanpa ada penentangan, dengan penuh iman, yang membuat
mereka mengagungkan perintah dan larangan, membenarkan janji dan
peringatan. Mereka melandaskan mu'amalah kepada keyakinan dan
sama sekali tidak ada keraguan.
Ada yang berkata, "Ahli nujum dan tabib menganggap bahwa jasad
manusia tidak akan dibangkitkan lagi. Saya katakan, 'Itu terserah apa
pendapatmu. Kalau memang pendapatmu benar, aku pun tidak mera-sa
rugi, karena kerugian itu akan menjadi milikmu'." Keadilan yang
menjadi dasar mu'amalah mereka, maksudnya adil dalam bermu'amalah
dengan Allah dan dengan manusia. Adil dalam ber-mu'amalah dengan
Allah ialah melakukan ubudiyah sesuai dengan haknya, tidak
memberikan sifat-sifat Uluhiyah yang tidak semestinya, tidak bersyukur
kepada selain-Nya atas nikmat-nikmat yang diterimanya dan tidak
menyembah selain-Nya.
Dalam atsar Ilahy disebutkan, "Aku, jin dan manusia berada dalam
pengabaran yang besar. Akulah yang menciptakan, namun selain-Ku
yang disembah. Akulah yang memberi rezki, namun selain-Ku yang
disyukuri."
Dalam atsar lain disebutkan, "Wahai anak Adam, kamu tidak adil kepada-
Ku. Kebaikan-Ku turun kepadamu namun keburukanmu naik kepada-
Ku. Apakah kamu menyukai nikmat, padahal Aku tidak membu-tuhkan
kamu, dan kamu membuatku murka karena kedurhakaan, padahal kamu
membutuhkan Aku. Malaikat yang mulia senantiasa naik kepada-Ku
melaporkan amalmu yang buruk."
Sedangkan adil dalam bermu'amalah dengan hamba, ialah
memperlakukan mereka dengan cara yang dia pun suka jika
diperlakukan seperti itu.
Yang dikatakan tentang i'tisham-nya orang-orang awam ini pada hakikatnya
juga merupakan i'tisham-nya orang-orang yang lebih khusus dari
orang-orang yang khusus. Tapi masalah ini tidak perlu dipermasa-lahkan.

2. Adapun i'tisham-nya orang-orang khusus ialah dengan memutuskan.
Artinya menjaga kehendak dan menahannya, menolak hal-hal yang
berkaitan dengan selain Allah dan membaguskan akhlak. Hal ini juga
disebut dengan istilah "Berpegang kepada tali yang kokoh".
Menolak segala kaitan (dengan selain Allah) harus dilakukan secara
lahir dan batin. Tapi prinsipnya adalah memutus kaitan batin. Jika
kaitan batin diputuskan, maka kaitan zhahirnya tidak akan berbahaya.
Jika ada harta di tanganmu, namun harta itu tidak ada di hatimu, maka
ia tidak akan berbahaya, sekalipun jumlahnya banyak.
Al-Imam Ahmad pernah ditanya, "Apakah seseorang bisa disebut orang
zuhud jika dia memiliki seribu dinar?" Dia menjawab, "Bisa, tapi dengan
syarat, dia tidak merasa senang karena jumlah itu semakin bertambah,
dan tidak sedih jika ia semakin sedikit. Karena itu para shahabat adalah
orang-orang yang paling zuhud, meskipun di tangan mereka ada harta
benda yang melimpah."

3. Adapun i'tisham-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang
yang khusus ialah dengan menyambung. Artinya menyambung hubungan
dan mendekatkan diri kepada Allah secara sendirian tanpa
perantaraan apa pun.
Pada tingkatan ini ada kehendak, cinta, pengagungan, ketakutan, pengharapan
dan tawakal. Dalam hubungan antara hamba dan Rabb-nya
hampir tidak ada perantara dan pembatas sedikit pun. Di sini hamba
memenuhi seruan dengan senang hati dan penuh cinta, bukan karena
terpaksa, seakan ada keterpaduan antara hati yang mencintai dan ruh-nya,
lalu menyatu dengan kekasihnya.

Tiada ulasan: