Oleh Ibn Qayyim Al Jauziyah
Para ulama
saling berbeda pendapat, apakah di antara berbagai macam
dosa, ada dosa
yang taubatnya tidak diterima ataukah taubat dari dosa apa
pun diterima?
Menurut
Jumhur, taubat harus dilakukan untuk setiap dosa. Setiap
dosa memungkinkan
untuk dimintakan ampunan dengan bertaubat. Ada
pula golongan
yang mengatakan, bahwa taubat pembunuh tidak diterima.
Ini termasuk
pendapat Ibnu Abbas dan salah satu riwayat dari Ahmad.
Bahkan Ibnu
Abbas harus berdebat dengan rekan-rekannya, yang
mengatakan,
"Bukankah Allah telah befirman dalam surat Al-Furqan: 68-70,
'Dan, orang-orang yang tidak menyembah
sesembahan yang lain beserta Allah
dan tidak pula membunuh jiwa yang diharamkan
Allah...' sampai, 'kecuali
orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan
amal shalih, maka
kejahatan mereka diganti Allah dengan
kebajikan?"
Ibnu Abbas
menyanggah, "Ayat ini berkaitan dengan perbuatan di
masa
Jahiliyah. Pasalnya, ada beberapa orang musyrik yang dulu pernah
melakukan
tindak pembunuhan dan juga pernah berzina. Lalu mereka
menemui
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, seraya berkata, 'Apa
yang engkau
serukan itu benar-benar bagus. Andaikan saja engkau memberitahukan
kepada kami
tentang suatu tebusan dari apa yang pernah kami
lakukan'. Maka
turunlah ayat ini. Jadi, ayat ini berkenaan dengan diri
mereka.
Sementara dalam surat An-Nisa' telah disebutkan firman Allah,
'Dan, barangsiapa membunuh seorang Mukmin
dengan sengaja, maka
balasannya ialah Jahannam, ia kekal di
dalamnya dan Allah murka kepadanya dan
mengutukinya serta menyediakan adzab yang
besar baginya'.
Jika seseorang
mengetahui Islam dan syariatnya, lalu dia membunuh dengan sengaja,
maka
balasannya adalah Jahannam."
Menurut
golongan ini, karena membunuh orang Mukmin secara
sengaja tidak
bisa diterima dan tidak ada cara untuk meminta pembebasan
darinya,
apalagi mengembalikan nyawanya. Taubat dari hak manusia
tidak dianggap
sah kecuali dengan salah satu dari dua cara ini. Sementara
keduanya tidak
bisa lagi dilakukan oleh pembunuh. Berbeda dengan harta,
yang sekalipun
pemiliknya sudah meninggal dunia, maka orang yang
merampasnya
masih bisa menyampaikan manfaat harta itu kepada
pemiliknya
yang sudah meninggal, dengan cara menshadaqahkannya.
Mereka juga
berkata, "Kami tidak menolak pendapat bahwa syirik itu lebih
besar dosanya
daripada tindak pembunuhan, dan taubat dari syirik itu
masih bisa
dilakukan. Tapi taubat dari syirik ini berkait dengan hak Allah,
dan memohon
ampunan dari-Nya masih memungkinkan. Tapi kaitannya
dengan hak
manusia, maka taubatnya tergantung pada pengembalian hak
itu atau
meminta pembebasan darinya.
Jumhur yang
berpendapat bahwa taubat dari dosa apa pun bisa
diterima,
berhujjah dengan firman Allah,
"Dan, sesungguhnya Aku Maha Pengampun
bagi orang yang bertaubat,
beriman, beramal shalih kemudian tetap di
jalan yang benar." (Thaha:
82).
Jika pembunuh
itu bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka
Allah akan
mengampuni dosanya. Juga telah disebutkan dalam hadits
shahih dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, tentang orang yang pernah
membunuh
seratus orang kemudian bertaubat, dan ternyata taubatnya itu
diterima. Ada
beberapa hadits lain yang menyatakan hal yang sama.
Tentang surat
An-Nisa': 93, bahwa orang yang membunuh orang Mukmin
secara
sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, banyak nash
lain yang
senada dan yang di dalamnya disebutkan ancaman seperti itu,
seperti
firman-Nya,
"Dan, barangsiapa yang mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya, dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkan-Nya ke
dalam api neraka, sedang ia kekal di
dalamnya, dan baginya siksa yang
menghinakan." (An-Nisa': 14).
Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
"Barangsiapa membunuh dirinya sendiri
dengan sepotong besi, maka
besi itu akan menghunjam dirinya, dia kekal
dan dikekalkan di neraka
Jahannam."
Manusia saling berbeda tentang nash semacam ini. Di
antara mereka
ada yang mengartikannya menurut zhahirnya, bahwa
pelakunya akan kekal
di dalam neraka. Ini merupakan pendapat golongan
Khawarij dan
Mu'tazilah. Dalam hal ini pun mereka juga saling berbeda
pendapat. Khawarij
mengatakan, mereka itu sama dengan orang kafir, karena
yang kekal di
dalam neraka hanya orang kafir. Mu'tazilah
berpendapat, mereka bukan
orang-orang kafir, tetapi orang-orang fasik yang juga
kekal di dalam
neraka, jika mereka tidak bertaubat. Golongan lain
berpendapat, siapa
yang melakukannya yakin tentang pengharamannya, maka
dia tidak
mendapat ancaman ini (kekal di dalam neraka),
sekalipun dia tetap mendapat
ancaman masuk neraka.
Kemudian ada perbedaan pendapat tentang pembunuh yang
bertaubat
dan dia menyerahkan diri untuk dijatuhi hukuman
setimpal (qishash).
Apakah pada hari kiamat korbannya masih mempunyai hak
untuk menuntut
atas dirinya?
Satu golongan berpendapat, pembunuh itu tidak lagi
mempunyai
dosa yang harus ditanggungnya di hadapan korban pada
hari kiamat,
sebab memang hukum qishashlah
yang harus
diterapkan kepadanya.
Hukuman merupakan tebusan bagi pelakunya. Dengan cara
itu seakanakan
dia telah memenuhi hak warisan korban terhadap ahli
warisnya
dengan cara mengorbankan dirinya. Sebab tidak ada
bedanya apakah
seseorang memenuhi hak orang lain lewat dirinya atau
wakilnya.
Golongan lain berpendapat, korban telah dizhalimi dan
kehilangan
hak-haknya. Sementara dia juga tidak tahu apa yang
terjadi setelah dia
dizhalimi, sekalipun kemarahan ahli warisnya dapat
dipadamkan. Tapi
manfaat apa yang diperoleh korban? Hak dalam pidana
pembunuhan itu
ada tiga macam: Hak Allah, hak korban dan hak waris.
Hak Allah tidak
terpenuhi kecuali dengan taubat. Hak ahli waris bisa
terpenuhi dengan
meminta pelaksanaan hukuman sehubungan pembunuhan itu.
Ada tiga
pilihan untuk ini: Pelaksanaan qishash, ampunan tanpa
disertai tebusan
harta, dan tebusan harta. Sekalipun ahli waris sudah
menerima tebusan
dari pembunuh, hak korban belum terpenuhi secara total.
Sebab bagaimana
mungkin haknya sudah terpenuhi, jika ini merupakan
salah satu dari
tiga cara pemenuhan hak? Andaikata korban dapat
berkata, "Jangan-lah
kalian membunuhnya, karena aku akan menuntutnya sesuai
dengan hakku
pada hari kiamat, namun nyatanya mereka membunuhnya,
apakah dengan
begitu hak korban dianggap gugur?
Yang benar dalam masalah ini menurut hemat saya, dan
Allah le-bih
mengetahui mana yang benar, jika pembunuh bertaubat
sebagai pemenuhan
terhadap hak Allah, dan dengan suka rela dia menyerahkan
dirinya kepada
ahli waris, agar dengan begitu dia dapat memenuhi hak
korban, maka dua
hak telah dia penuhi. Kini tinggal hak korban yang
belum terpenuhi, yang
tentunya Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Namun
ampunan Allah
yang diberikan kepada pembunuh sudah dianggap sebagai
pengganti dari
hak korban, sebab apa yang dialaminya juga tidak bisa
dihalangi dengan
membunuh pembunuhnya. Taubat yang sebenar-benarnya
sudah cukup
untuk menghapus dosa di masa lampau dan hal ini
menjadi pengganti dari
kezhalimannya, sehingga dia tidak dijatuhi hukuman
karena
kesempurnaan taubatnya. Hal ini seperti orang kafir
yang pernah
memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membunuh orang
Muslim. Namun
jika kemudian dia masuk Islam dan Islamnyabagus, maka
Allah akan
memberikan pengganti kepada korban yang dibunuhnya dan
mengampuni
orang kafir yang masuk Islam itu, karena keislamannya.
Dia tidak
dihukum karena pernah membunuh orang Muslim secara
zhalim. Taubat
yang menghapus dosa sebelumnya, sama seperti Islam
yang menghapus
dosa seseorang sebelum masuk Islam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan